Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store
sumber: istimewa

Pancasila yang Selalu Relevan Sepanjang Zaman



Oleh: Miftahul Fahmi


Pancasila selalu seksi dibahas di negeri yang dipenuhi oleh banyak pemikiran-pemikiran yang senantiasa berpartisipasi dalam mewujudkan Indonesia yang sejahtera. Pancasila selalu dikaji di kampus, di sekolah, dan di luar sana. Sejauh mana nilai Pancasila diterapkan atau dikontekstualisasikan pada saat ini.

Zaman digital seperti banyak arus informasi yang bergerak cepat melengkapi pemahaman kita akan peradaban. Sumber informasi atau pengetahuan di dunia maya itu mengajak kita berpikir lebih keras dalam menggali kebijaksanaan dalam berbangsa. Di tengah derasnya informasi, kerap juga kita temukan hoaks dan kebencian.

Hoaks dan kebencian pastilah ada sebagai wujud hidup yang dinamis. Sebagaimana Tuhan menciptakan hitam dan putih. Tapi tentu hidup ini tidak sekedar hitam putih bagi kita yang ingin menggali sejatinya nilai kehidupan itu.

Sebagaimana kita memandang gagasan-gagasan kebangsaan yang termaktub pada ideologi. Mengapa para pendiri bangsa ini memilih Pancasila, bukan ideologi lain? Menurut hemat penulis, para perumus Pancasila bagaikan peracik jamu atau koki gado-gado. Mereka melakukan pengkajian akan ideologi-ideologi asing yang disaring dan dipadukan dengan ideologi kebudayaan yang sudah ada sejak zaman dahulu.

Pancasila adalah ideologi atau paradigma baru yang utuh memotret karakteristik bangsa Indonesia. Bangsa yang terdiri dari berbagai suku, ras, dan etnis. Pancasila mengandung perpaduan nilai kebudayaan, kemanusiaan, kesejahteraan, keberagaman, dan pembebasan. Mungkin nilai-nilai itu juga ada pada ideologi lain seperti sosialisme atau isme-isme lainnya.

Tapi Pancasila ini berbeda dengan yang lain. Ia kelihatan sakti dan mencoreng pada jati diri bangsa. Kelima silanya adalah azimat bagi keberagaman dan kemanusiaan kita. Kelima silanya adalah integrasi dari nilai ketuhanan hingga nilai kemanusiaan.

Pancasila mengayomi semua agama atau bahkan semua ekspresi keberagamaan. Pancasila juga memiliki nilak pembebasan yang mungkin tidak ada pada ideologi lain. Semangat pembebasan pada Pancasila adalah semangat akan nilai saling tolong menolong dan solidaritas.

Di tengah maraknya paham radikalisme yang anti Pancasila, karena dianggap Pancasila bukan lah ideologi islam dan sekularisme yang hendak memisahkan agama dan negara, Pancasila masih sangat relevan. Kaum radikal menghendaki agar bangsa ini bercerai, dengan jargonnya yang anti Pancasila dan khilafah. Begitu pula dengan sekularisme, sekularisme sangat berambisi untuk memisahkan agama dan negara.

Pada kaca mata Gus Dur, dua kepentingan itu dipecahkan oleh Pancasila karena beberapa alasan. Pertama, Pancasila menempatkan ketuhanan sebagai sila pertama. Hal ini dekat dengan paradigma teokratis, tetapi minus penetapan syariah sebagai dasar negara. Karena sila ketuhanan ini, syariah dilindungi oleh negara, meskipun dalam konteks undang-undang (qanun) bukan konstitusi (dustur). 

Ketiadaan dimensi doktrinal dari agama tertentu membuat ketuhanan dalam Pancasila tidak mewakili sektarianisme, sebagaimana dikhawatirkan sistem sekular. Mengapa? Karena ketuhanan yang ditegakkan Pancasila ialah nilai-nilai ketuhanan modern, berisi penghormatan terhadap kemanusiaan, kebangsaan, demokrasi, dan keadilan sosial. Hal ini tentu tidak terlintas di benak kalangan sekuler yang melihat Islam dari kesempitan pandangan kelompok radikal. 

Kedua, nilai-nilai Pancasila ternyata mencerminkan nilai-nilai Islam. Bagi Gus Dur, keagungan Islam di abad modern ini disebabkan oleh pandangan dunia (weltanschauung) yang dibangun oleh tiga nilai, yakni demokrasi (syura), keadilan (‘adalah), dan persamaan (musawah). Demokrasi merujuk pada kehidupan politik non-otoriter. Keadilan mengacu pada pemerataan ekonomi, dan persamaan merujuk pada kesetaraan warga di hadapan hukum. Gus Dur memaknai rahmat bukan hanya kasih sayang yang abstrak, melainkan kesejahteraan. 

Ketiga, karena Islam adalah “agama kesejahteraan”, maka bentuk suatu negara menjadi urusan sekunder, ketika bentuk itu bisa mencapai tujuan kesejahteraan. Dalam hal ini Gus Dur menggunakan kaidah tujuan dan cara pencapaian (al-ghayah wa al-wasail). Selama sebuah tujuan bisa dicapai maka bentuk dari cara menjadi sekunder, tentu dengan catatan cara itu tidak bertentangan dengan tujuan.

Dari ketiga alasan itulah, Pancasila masih teramat sakti untuk kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila adalah ideologi yang tepat untuk memoderasi ideologi lain yang ingin masuk dan menyerobot ke Indonesia. Pancasila adalah jantung dari kehidupan berbangsa di Indonesia.

Penulis adalah pegiat di Forum Kajian Pancasila dan Kebangsaan