Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Amandemen UUD 1945

Gagal Paham Rencana Amandemen Konstitusi Kala Pandemi



Opini – Rencana amendemen UUD 1945 berguling kembali setelah 20 tahun lalu. MPR menggulirkan isu tersebut dan DPD dengan resmi membuat tim khusus untuk mengelola gagasan-gagasan amandemen UUD 1945.

Gagasan ini hadir seiring dengan mencuatnya isu mengenai peran MPR dalam memilih Presiden, yakni perpanjangan periode masa jabatan Presiden/Wakil Presiden menjadi 3 periode serta MPR menyusun GBHN untuk kemudian dijalankan oleh Presiden.

Persoalan itu dikaji secara mendalam oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), sebagaimana terlansir dalam portalnya pada 28 Juni 2021 dengan judul “Amendemen Konstitusi Kala Pandemi: Minim Urgensi Darurat Partisipasi”.

Ambisi melakukan amendemen UUD 1945 kala pandemi ini dinilai sangat tidak layak. Banyak tugas rumah dalam menangani pandemi dan hal lain yang belum terselesaikan. Rencana ini dinilai menurunkan kualitas demokrasi di Indonesia.

Jika meninjau usulan MPR dengan pemilihan presiden kembali melalui MPR sebagaimana di masa lalu, maka usulan itu akan berdampak pada kembalinya praktik masa silam yang sebetulnya telah dihapuskan saat UUD 1945 diamandemen dulu.

Praktik masa lalu yang ingin dikembalikan tersebut antara lain pemilihan Presiden oleh MPR, Presiden sebagai mandataris MPR, MPR menetapkan haluan Negara, dan Presiden bertanggung jawab pada MPR atas pelaksanaan haluan negara.

Mengutip jajak pendapat Indikator Politik Indonesia (2020) yang menyebutkan semakin menurunnnya kualitas demokrasi Indonesia, maka inisiatif MPR di atas merupakan sebuah upaya yang perlu ditolak. Dari sanalah PSHK memandang usulan amendemen terbatas UUD 1945 tersebut adalah bentuk korupsi terhadap hasil reformasi sehingga pantas ditolak dengan alasan berikut.

Pertama, merusak demokrasi. Pemilihan presiden ke MPR adalah langkah mundur dan menurunkan kualitas demokrasi. Secara historis, Indonesia memiliki sejarah kelam saat Presiden pada masa Orde Lama dan Orde Baru dipilih oleh MPR.

Kedua, merusak sistem presidensial. Upaya mengembalikan MPR sebagai penyusun GBHN untuk kemudian dilaksanakan oleh Presiden akan sangat merusak sistem presidensial kita. Dalam sistem presidensial tidak ada norma hukum yang dapat memerintahkan presiden selain ketentuan yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan. Bila MPR kembali sebagai penyusun GBHN maka yang akan tercipta adalah inkonsistensi.

Dengan model MPR sebagai penetap GBHN, maka sistem presidensial Indonesia sesungguhnya bergerak ke arah parlementer. Sebab presiden tidak lagi bertanggung jawab terhadap rakyat tapi kepada MPR. Siapa pemegang komando pembangunan menjadi sumir karena posisi presiden akhirnya hanya sebagai pelaksana GBHN dan tidak memiliki agenda sendiri.

Ketiga, merusak kedaulatan rakya. Pasal 37 UUD 1945 mengatur bagaimana mekanisme untuk melakukan amendemen terhadap UUD 1945. UUD 1945 bukannya tidak dapat diubah. Namun perubahan UUD 1945 sebagai konstitusi tidak hanya berdasarkan aspek formal saja.

Ada aspek materiel dan kejelasan ketentuan-ketentuan apa saja yang akan diubah. Proses diskusi dan pembahasan kepada publik mengenai materi perubahan bahkan harus terlaksana dan mengkristal menjadi kesimpulan-kesimpulan untuk dituangkan dalam perubahan UUD 1945, sebelum mulai masuk ke dalam mekanisme formal.

Namun apa yang terjadi saat ini justru sebaliknya. Substansi perubahan UUD 1945 tidak pernah dipublikasikan secara resmi hanya berdasarkan sosialisasi yang dilakukan MPR. Poin-poin perubahan yang diusulkan MPR dan DPD jelas bukan agenda rakyat karena mekanisme partisipasi untuk melibatkan publik dalam usulan amendemen tidak pernah jelas.

Amendemen konstitusi seolah hanya praktik yang hanya melibatkan elite sehingga apa yang menjadi kebutuhan hukum masyarakat yang berhubungan dengan konstitusi tidak pernah terlihat utuh. Akibatnya, wajar apabila timbul pertanyaan mengenai gagasan untuk mengembalikan pemilihan Presiden oleh MPR, menghidupkan kembali GBHN, dan masa jabatan Presiden 3 periode yang bertolak semata dari kehendak elite dan hanya melibatkan kepentingan aktor-aktor partai politik yang agendanya memang soal kekuasaan.

Keempat, itu tidak mendesak. Legislator saat ini seharusnya fokus pada pelaksanaan fungsi pengawasan terhadap kebijakan pemerintah dalam menanggulangi pandemi yang saat ini sudah berkepanjangan. Selain itu, pemerintah dan legislator juga harus cermat dalam mengalokasikan dan menggunakan anggaran negara. Proses amendemen UUD 1945 sangat memerlukan anggaran, waktu, sumber daya manusia, dan partisipasi publik yang sangat luas, sementara pandemi membatasi semua hal tersebut.

Ditambah lagi preseden proses pembentukan UU yang lahir pada saat pandemi memiliki kualitas partisipasi publik yang buruk. Sebut saja pembentukan UU No. 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, UU No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, dan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Jika dalam proses legislasi saja ruang partisipasi tidak mampu dibuka lebar, apalagi pada proses perubahan konstitusi yang merupakan hukum tertinggi. Jadi tidak ada urgensi melakukan amendemen konstitusi di masa pandemi, bahkan cenderung berbahaya bagi demokrasi Indonesia.

Berdasarkan empat (4) alasan tersebut PSHK mendesak agar MPR termasuk DPR dan DPD agar tidak memaksa melakukan amendemen UUD 1945. DPR seharusnya fokus melakukan fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran untuk mendukung penanganan penyebaran COVID-19. Adapun DPD seharusnya fokus untuk memastikan konstituennya di daerah agar mendapatkan layanan dan kebutuhan dasar di tengah perjuangan melawan penyebaran COVID-19.

Di daerah-daerah yang saat ini sudah terbuka mengungkapkan tidak memiliki kesanggupan anggaran untuk melakukan pembatasan mobilitas di wilayahnya, yang sebenarnya merupakan solusi penanganan COVID-19.
Usaha melakukan amendemen UUD 1945 saat publik sedang berjuang melawan pandemi COVID-19 merupakan refleksi bagaimana kekuasaan digunakan untuk melanggar, alih-alih mewujudkan kesejahteraan rakyat.