Omnibus Law Cipta Kerja: Mengancam Lingkungan Hidup dan Agraria?
Omnibus Law Cipta Kerja:
Mengancam Lingkungan Hidup dan Agraria?[1]
Oleh: Luluk Nur Hamidah, M. Si., MPA
(Anggota DPR RI Komisi IV)
Baru-baru ini dunia hukum di Indonesia diramaikan oleh suatu konsep dalam perundang-undangan yang dapat dibilang anyar, yaitu Omnibus Law. Sebagai suatu konsep dalam menjalankan pemerintahan di Indonesia, Omnibus Law diucapkan oleh Presiden Joko Widodo dalam Pidato pertama pasca dilantik sebagai Presiden untuk periode 2019-2024.
Konsep ini digunakan Presiden Jokowi dalam rencana penyederhanaan atas kendala kebijakan (beleid) yang njelimet, overregulated dan memakan waktu lama. Dalam istilah fungsional yang dilokalkan, konsep ini kerap disebut “UU Sapu Jagat” atas keampuhannya diantara UU lainnya.
Sebagai sebuah konsep hukum, omnibus law diartikan secara leksikal sebagai “… A single bill containing various distinct matters, usu. drafted in this way to force the executive either to accept all the unrelated minor provisions or to veto the major provision” (Bryan A. Garner: 2009).
Jika diterjemahkan secara bebas ke dalam bahasa Indonesia yaitu sebuah UU yang mengatur dan mencakup berbagai materi muatan yang berbeda-beda (hukumonline.com: 2019). Kendati istilah ini tidak dikenal dalam sistem perundang-undangan di Indonesia sebagaimana diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) dan UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang perubahan atas UU tersebut. namun, tidak ada larangan secara eksplisit dalam UU di atas bagi pembentukan omnibus law dalam fungsinya mengakomodasi beberapa materi muatan sekaligus.
Tentu saja, sepanjang materi muatan yang diatur dalam omnibus law tidak bertentangan dengan UU P3 dan perubahannya di atas. Dalam hal ini, omnibus law dipahami sebagai salah satu metode dalam membentuk paket kebijakan yang mendorong pertumbuhan ekonomi.
Digunakannya metode Omnibus Law oleh Pemerintah tidak dapat dilepaskan dari “hajatan” untuk menunjang iklim investasi demi percepatan pertumbuhan ekonomi dalam visi Indonesia Maju. Karenanya, UU Sapu Jagat ini akan menyetuh berbagai regulasi yang berkaitan dengan tercapainya hajatan tersebut. Hingga kini, sebagaimana ditargetkan dalam masa 100 hari kerja pasca dilantik pada 20 Oktober 2019, Jokowi telah menandatangani Surat Presiden Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law tentang Perpajakan. Menyusul RUU omnibus law lainnya seperti RUU Cipta Lapangan Kerja, yang kerap disingkat menjadi “RUU Cilaka”, mengingat potensi ancaman kerusakan terutama dalam bidang lingkungan hidup yang mungkin dihasilkan dari RUU ini. Belakangan RUU berubah Namanya menjadi RUU Cipta Kerja.
Sebagai sebuah inisiatif kebijakan dari pemerintah, RUU ini memang tidak berangkat dari ruang hampa. Realitas perekonomian Indonesia menjadi “asbabul wurud” atau faktor yang melatar belakangi lahirnya RUU Cipta Kerja ini. Dalam konteks global, kondisi ketidakpastian dan perlambatan ekonomi dunia turut mendoroong lahirnya insiatif pemerintah dalam menyusun RUU Cipta Kerja ini dengan metode omnibus. Begitu juga dalam konteks nasional, pertumbuhan ekonomi di kisaran 5% dalam 5 tahun terakhir, realisasi Investasi 2019 Kuartal III yang hanya sebesar Rp. 601, 3 Triliun masalah ketenagakerjaan, dimana terdapat 7,05 juta orang pengangguran. Muculnya perlambatan ekonomi dalam negeri tersebut ditengarai berasal dari overlapping regulasi, rendahnya efektivitas investasi dan besarnya jumlah UMKM namun tidak produktif.
Oleh karena latar belakang tersebut, RUU CIpta Kerja yang disusun Pemerintah dengan menggunakkan metode omnibus dimaksudkan sebagai “Langkah strategis mewujudkan Visi Indonesia 2045”, yaitu:
- Negara Maju dengan Ekonomi Berkelanjutan (Sustainable Economy)
- Lima Besar Ekonomi Dunia
- Keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah (Middle Income Trap)
- Tingkat kemiskinan mendekati 0%
- PDB mencapai USD 7 Triliun, peringkat ke-4 PDB Dunia
- Tenaga Kerja berkualitas
Dalam mewujudkan visi tersebut diatas, Pemerintah memiliki “PR” dalam mengatasi hambatan-hambatan ekonomi berupa: a) Daya saing rendah, dimana tingkat kemudahan berusaha dan daya saing Indonesia dengan negara lain di dunia, menunjukkan bahwa Indonesia masih relatif tertinggal dibandingkan dengan beberapa negara tetangga, khususnya Singapura, Malaysia, dan Thailand;[2] b) Perlambatan Pertumbuhan Ekonomi; dan c) Pertumbuhan ekonomi antar-daerah kurang merata.
Padahal, menurut Price Waterhouse Coopers (PWC) maupun Bank Dunia (World Bank), perekonomian Indonesia berpotensi menjadi 4 (empat) besar dunia pada tahun 2050 dengan dimilikinya hal-hal berikut:
- Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah;
- Bonus demografi yang sangat besar sehingga mampu menyediakan jumlah tenaga kerja yang sangat produktif;
- Jumlah penduduk yang besar adalah potensial pasar yang besar;
- Perbaikan infrastruktur yang kian memadai untuk menjangkau seluruh wilayah Indonesia.
Dalam rangka memaksimalkan potensi yang dimiliki Indonesia tersebut, serta demi meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan visi Indonesia 2045, terdapat 80 undang-undang dengan 1.201 Pasal yang terdampak oleh RUU Cipta Kerja ini. Dari sejumlah UU dan Pasal tersebut, kemudian dikelompokkan menjadi 11 klaster pembahasan yaitu:
- Penyederhanaan Perizinan (52 UU, 1034 Pasal)
- Persyaratan Investasi (14 UU, 22 Pasal)
- Ketenagakerjaan (4 UU, 57 Pasal)
- Kemudahan & Perlindungan Hukum (4 UU, 4 Pasal)
- Kemudahan Berusaha (8 UU, 18 Pasal)
- Dukungan Riset dan Inovasi (2 UU, 13 Pasal)
- Administrasi Pemerintahan 2 UU, 13 Pasal)
- Pengenaan sanksi
- Pengadaan Lahan (5 UU, 18 Pasal)
- Investasi & Proyek Pemerintah (Norma Baru)
- Kawasan Ekonomi (4 UU, 40 Pasal)
Masalah Lingkungan Hidup dan Agraria
Diantara problem utama dari 11 klaster tersebut, sebagaimana yang menjadi bidang Komisi IV DPR RI, adalah masalah lingkungan hidup dan agraria sebagai fokus sorotan atas RUU Cipta Kerja ini. Misalnya beberapa masalah yang berkaitan dengan perizinan yang menjadi aspek administrasi lingkungan seperti Izin lokasi & Tata Ruang, izin lingkungan, Izin Mendirikan Bangunan (IMB) & Sertifikat Laik Fungsi (SLF).
Selain itu juga dari aspek pengenaan sanksi, baik administrasi, pidana, dan perdata lingkungan dimana RUU ini seolah memberikan keringanan khusus berupa privilege dengan menghapus sanksi pidana atas pelanggaran, dan menggantinya hanya dengan sanksi administrasi dan/atau perdata.
Padahal, jauh sebelumnya pada paruh akhir abad ke-20, para pemimpin dan intektual dunia telah mengenalkan suatu konsep ekonomi yang jauh lebih lestari bagi lingkungan hidup manusia di planet ini, ketimbang praktik ekonomi modern yang dirasa terlalu eksploitatif, yaitu konsep ekonomi berkelanjutan. Kesadaran ini muncul terkait dengan meningkatnya tingkat ketidaksetaraan, baik di antara maupun di dalam negara; konsentrasi sumber daya dan kekuasaan hanya di tangan sedikit pihak; pengucilan ekonomi, sosial, politik dan ekonomi; ketidakstabilan ekonomi; tingkat eksploitasi sumber daya alam yang meningkat; dan hilangnya keanekaragaman hayati dan budaya.
Dalam perkembangannya kemudian, konsep tersebut disebut sebagai pembangunan berkelanjutan (sustainable development), yaitu sebuah gagasan ekonomi dan pemerintahan yang bersifat affirmative terhadap kelestarian lingkungan hidup. Dengan konsep ini pemerintah dan pelaku ekonomi atau pasar (market) didorong untuk patuh menjalankan prinsip-prinsip lingkungan hidup, diantaranya:
- Pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development): sebagai soft law, Konvensi Internasional: Word Commision on Environment and Development (WCED), KTT Bumi di Rio 1992 dan di Indonesia UU 32/09 Pasal 2 dan penjelasannya.
- Keadilan dalam satu generasi (Intragenerational Equity): keadilan yang ditujukan pada mereka yang hidup di dalam satu generasi.
- Keadilan antar-generasi (Intragenerational Equity): adil terhadap generasi sekarang dan adil pula terhadap generasi yang akan datang.
- Prinsip pencegahan (The Principle of Preventive Action): upaya meminimalisir munculnya risiko pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan.
- Prinsip kehati-hatian (The Precautionary Principle): mencegah pencemaran dengan memperkirakan secara seksama potensi timbulnya pencemaran.
- Prinsip pencemar membayar (The Polluter-Pays Principle): kebijakan ekonomi dalam rangka pengalokasian biaya-biaya bagi pencemaran dan kerusakan lingkungan.
Dengan menimbang kepada prinsip-prinsip lingkungan hidup tersebut, sebagaimana tertuang dalam berbagai instrumen hukum internasional dan telah diadopsi juga dalam hukum nasional RI, kami memberi penilaian terhadap RUU Cipta Kerja sebagai berikut:
- Secara umum, sifat berbahaya dari RUU ini ialah minimnya partisipasi masyarakat dalam mengontrol kebijakan terkait perizinan lingkungan.
- Menegasikan asas desentralisasi dengan hilangnya kewenangan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dalam masalah lingkungan hidup. Padahal kemampuan pemerintah pusat dari segi kuantitas dan akses ke daerah di seluruh Indonesia sangat terbatas.
- Menghilangkan Asas hablu minal ‘alam sebagai asas keseimbangan hidup manusia.
- Menguntungkan investor besar, tetapi melemahkan pelaku usaha kecil menengah.
- RUU ini bersifat eksploitatif dan berpotensi menimbulkan abuse of power, terutama dalam izin pertambangan. Misalnya dalam ketentuan Kegiatan Operasi Produksi yang terintegrasi dengan smelter (pengolahan dan pemurnian mineral, termasuk di antaranya batubara) diberi jangka waktu 30 tahun dan dapat diperpanjang setiap 10 tahun sampai dengan seumur tambang.
- RUU ini bersifat katastropik dengan dihilangkannya syarat izin lingkungan dan tidak diatur prosedur uji kelayakan lingkungan.
- RUU Cipta Kerja melemahkan Pasal 98 dan Pasal 99 UU No.32 Tahun 2009 yang mengatur sanksi pidana bagi pihak yang melakukan perusakan lingkungan hidup termasuk kebakaran hutan dan lahan (Karhutla).
- Pemerintah terlalu mementingkan investasi tanpa memperhatikan resiko dan ancaman lingkungan, serta keamanan kehidupan rakyat.
- Pengahapusan Kewajiban AMDAL, analisis risiko, pemantauan lingkungan hidup, dan kesanggupan penyediaan sarana dan prasarana penanggulangan kebakaran sebagai syarat izin usaha dan IMB, berisiko menyebabkan tragedi kerusakan lingkungan yang mungkin tidak dapat dipulihkan. Sebagai konsekuensi hukum misalnya, RUU ini juga turut menghapus sanksi kegiatan/usaha tanpa AMDAL sebagaimana diatur Pasal 109 UU Perkebunan.
- Masalah Lingkungan Hidup akan ditimbulkan oleh RUU Cipta Kerja juga melalui: a) perubahan izin lingkungan jadi persetujuan lingkungan; b) menutup ruang partisipasi publik; c) menarik kewenangan pemerintah daerah; d) menghapus prinsip strict liability; mengedepankan sanksi administratif ketimbang pidana
Aspek Hukum Lingkungan Hidup
Padahal, aspek penegakkan hukum lingkungan hidup dengan jalan retributive justice merupakan hal yang sangat penting dilaksanakan. Misalnya dalam jenis pelanggaran Perbuatan Melawan Hukum (PMH) sebagaimana diatur dalam Pasal 87 ayat (1) UU Lingkungan Hidup 2009 yang berbunyi: “setiap penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian kepada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu”.
Selain itu juga dalam bentuk Tanggungjawab Mutlak atau Strict Liability (SL), yang diterapkan pada setiap bahan/kegiatan yang dianggap berbahaya bagi lingkungan hidup (ultrahazardous activities or substance). Memang, di Indonesia, gugatan SL dianggap sebagai gugatan PMH, perbedaannya ialah bahwa didalam SL unsur kesengajaan atau kelalaian menjadi tidak perlu untuk dibuktikan oleh penggugat. SL diatur dalam UU Lingkungan Hidup 1982 Pasal 21, UU Lingkungan Hidup 1997 Pasal 35, UU Lingkungan Hidup 2009 Pasal 88.
Dalam rumusan Pasal 35 UU Lingkungan Hidup 1997, pertanggungjawaban mutlak atau Strict Liability, yakni unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak sebagai dasar pembayaran ganti kerugian. Juga dalam konteks kebakaran hutan dan lahan, misalnya, Strict Liability terdapat dalam UU Kehutanan 1999 Pasal 49, dan PP No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan Pasal 30 ayat (1).
Urgensi kedua model pertanggungjawaban lingkungan tersebut merupakan upaya akhir penegakkan hukum lingkungan dalam melindungi dan melestarikan lingkungan hidup. Dihapusnya dua ketentuan tersebut dapat dikatakan mengantarkan kita kepada pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup di masa yang akan datang.
Bertentangan Dengan Tujuan Negara
Atas pertimbangan dan penilaian tersebut, maka penulis selaku salah satu anggota Komisi IV DPR RI, yang melihat adanya ancaman kelestarian lingkungan hidup dan agrarian oleh RUU Cipta Kerja, menegaskan bahwa:
- Penyederhanaan izin tidak sama dengan penghapusan. Adanya aturan perizinan tujuannya bersifat protektif, bukan mempersulit.
- Pendekatan ekonomis memang diperlukan, prinsip efisiensi yang menimbang manfaat yang diperoleh dan biaya yang akan dikeluarkan.
- Perubahan dan/atau penghapusan sejumlah ketentuan dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengancam keberlanjutan ekosistem atau lingkungan hidup di masa yang akan datang.
- Jika aspek pidana hilang, bagaimana pertanggungjawabannya di pengadilan?
- Aspek sanksi administrasi tidak menghapuskan pertanggungjawaban pidana. Bagaimana dengan Corporate Liability?
- Ditengah kesadaran lingkungan masyarakat Indonesia yang masih rendah, RUU Cipta Kerja berpotensi merugikan masyarakat Indonesia bahkan dunia di masa depan kelak.
- Sinergisitas antara pengaturan hukum dan kebijakan dengan wawasan lingkungan harus dikedepankan
- Pendekatan didasarkan pada hak lingkungan maupun hak masyarakat, inter-gernerasi maupun intra-generasi
- Mengedepankan paradigma eco-centrism
- Pendekatan melalui konsep sustainable development yang mengabungkan tiga pilar utama yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan hidup dinilai lebih bermanfaat.
Dengan demikian, sebagai anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa DPR RI, penulis menyatakan sikap atas RUU Cipta Kerja sebagai berikut:
- Masalah Lingkungan Hidup & Agraria bersentuhan langsung dengan terancamnya kelestarian kulliyat al-khams yang menjadi maqashid al-syari’ah yang menjadi salah satu dari 9 mabda siyasi PKB. Yakni, terpeliharanya jiwa raga, terpenuhinya kemerdekaan, terpenuhinya hak-hak dasar manusia seperti pangan, sandang, dan papan, hak atas penghidupan/perlindungan pekerjaan, hak mendapatkan keselamatan dan bebas dari penganiayaan (hifdzu al-Nafs), terpeliharanya agama dan larangan adanya pemaksaan agama (hifdzu al-din), terpeliharanya akal dan jaminan atas kebebasan berekspresi serta berpendapat (hifdzu al-Aql), terpeliharanya keturunan, jaminan atas perlindungan masa depan generasi penerus (hifdzu al-nasl) dan terpeliharanya harta benda (hifdzu al-mal).
- Komitmen PKB sebagai “Green Party” menegaskan bahwa keberpihakan terhadap kelestarian lingkungan hidup merupakan jalan perjuangan partai.
- Legislator PKB mendorong setiap elemen bangsa, khususnya pembuat kebijakan untuk merumuskan aturan yang mengarah pada terciptanya “baldatun thayyibatun wa rabbun ghafuur” yang menebar kasih sayang bagi semesta alam (rahmatan lil ‘alamin).
- RUU ini bertentangan dengan tujuan negara, Fraksi PKB wajib hukumnya menolak RUU ini. Sesuai dengan garis strategi perjuangan partai: Melayani Ibu Pertiwi, Bukan Melayani Investor.
[1] Disampaikan dalam kegiatan Diskusi Publik yang diselenggarakan oleh Radesa Institute pada Rabu, 26 Februari 2020 di Kantor DPP PKB, Jl. Raden Saleh Raya No. 9, Jakarta Pusat
[2] Survei S&P Global Ratings, Fitch Ratings, dan Moody’s Lihat dalam Naskah Akademik RUU Cipta Kerja