Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Libya

AS Kembali Pergoki Pesawat Tempur Rusia di Libya, Akankah Terjadi Perang Proksi?



Berita Baru, Analisa – Libya dulu pernah dikenal sebagai negara paling maju di benua Afrika. Mempunyai cadangan minyak terbesar di Afrika, Libya mulai terpuruk setelah penggulingan Gaddafi oleh para pemberontak yang didukung kekuatan udara NATO.

Setelah penggulingan Gaddafi, Libya mulai terpecah menjadi berbagai kelompok, faksi, gerombolan penjahat, hingga kelompok teroris.

Dan faksi terbesarnya adalah Pemerintah Kesepakatan Nasioal Libya (GNA) dan Tentara Nasional Libya (LNA). GNA dipimpin oleh Jenderal Fayez Sarraj, dan LNA dipimpin oleh Jenderal Fayez Sarraj. GNA berbasis di Tripoli, sementara LNA berbasis di Tobruk.

Dari pihak pendukung, pasukan dari LNA didukung oleh Rusia, sementara GNA didukung oleh Turki, AS dan PBB.

Kedua faksi itu terlibat dalam serangkaian bentrokan bersenjata setelah mengalahkan kelompok-kelompok kecil. Bentrokan antar keduanya pun semakin memanas pada bulan Juni ini.

Beberapa pertempuran besar hingga mengakibatkan puluhan hingga ratusan nyawa melayang, baik dari pihak GNA maupun LNA.

Pada pekan pertama bulan Juni, tepatnya 1 Juni, LNA dilaporkan berhasil memukul mundur pasukan GNA di kota Alasaba barat laut Libya. Kota Alasaba merupakan salah satu basis dari pasukan GNA. Namun, tak lama berselang, pada tanggal 3 Juni, perang hebat di Tripoli pecah.

Perang hebat itu dimenangkan oleh LNA. Dan atas kemenangan itu, LNA mulai percaya diri dan mulai membuka 2 kilang minyak terbesar di Libya pada tanggal 6 Juni, El Sharara dan El Feel. Kelompok-kelompok milisi kecil di Libya pun dikabarkan mulai menyatakan dukungannya pada LNA.

Lalu pada pekan kedua bulan Juni, tepatnya 8 Juni, LNA menyerang perusahaan artileri penuh, termasuk senjata howitzer buatan Turki, dua tank dan enam kendaraan perlindungan senjata dari GNA. Dalam serangan itu, dilaporkan bahwa setidaknya 40 pasukan Turki yang membantu GNA tewas.

Presiden Turki Erdogan lalu berkomunikasi dengan Presiden AS Trump untuk membahas situai di Libya. Dikutip dari Viva, Presiden Erdogan melakukan beragam cara untuk mempertahankan posisi politiknya di Libya dalam menghadapi kekuatan dari GNA.

“Perjanjian antara GNA dan LNA untuk memasuki kembali perundingan keamanan PBB adalah langkah pertama yang baik, sangat positif. Negosiasi cepat dan itikad baik sekarang diperlukan untuk mengimplementasikan gencatan senjata dan meluncurkan kembali pembicaraan politik intra-Libya yang dipimpin PBB,” ujar Menteri Luar Negeri AS Pompeo dalam jumpa persnya tanggal 10 Juni.

Memasuki pekan ketiga bulan Juni, tanggal 15 Juni, Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu mengklaim bahwa Rusia setuju untuk melakukan genjatan senjata di Libya yang sebelumnya dikabarkan terjadi Deadlock di kedua belah pihak. Dengan demikian, secara diplomatis, bisa dikatakan bahwa situasi di Libya pekan ini mulai tenang dan memiliki titik terang.

Akan tetapi, Kamis (18/6), Komando Afrika AS (AFRICOM) merilis sebuah citra satelit yang menunjukkan bahwa pesawat-pesawat tempur rusia mendarat di Libya. Setidaknya sudah ketiga kalinya AFRICOM memergoki pesawat-pesawat Rusia mendarat di Libya. 

“Keterlibatan berkelanjutan Rusia di Libya meningkatkan kekerasan dan menunda solusi politik,” ujar Brigjen Korps Marinir AS Bradford Gering selaku direktur operasi AFRICOM dalam rilis pers AFRICOM.

“Rusia terus mendorong pijakan strategis di sisi selatan NATO dan ini dengan mengorbankan nyawa Libya yang tidak bersalah,” imbuhnya.

Gambar yang dirilis oleh AFRICOM menunjukkan penyebaran Rusia setidaknya 14 pesawat tempur, termasuk pesawat tempur Su-24, pesawat tempur MiG-29, dan pesawat pengawal pencegat Su-35.

AS Kembali Pergoki Pesawat Tempur Rusia di Libya, Akankah Terjadi Perang Proksi?
Bukti baru pesawat tempur Su-24 Rusia aktif di Libya, 18 Juni. Sumber: AFRICOM
AS Kembali Pergoki Pesawat Tempur Rusia di Libya, Akankah Terjadi Perang Proksi?
Bukti baru jet tempur MiG-29 Rusia aktif di Libya, 18 Juni. Sumber: AFRICOM.

Selain itu, AFRICOM juga menyebutkan adanya keterlibatan pasukan militer swasta Rusia, yaitu Grup Perusahaan Militer Swasta Rusia (PMC) Wagner Group.

“Ada kekhawatiran pesawat Rusia ini diterbangkan oleh tentara bayaran swasta PMC yang tidak berpengalaman yang tidak akan mematuhi hukum internasional; yaitu, mereka tidak terikat oleh hukum tradisional konflik bersenjata. Jika ini benar dan pemboman terjadi, nyawa Libya yang tidak bersalah beresiko,” jelas Gering.

Sementara itu, pada tanggal 17 Juni, Center for Strategic and International Studies (CSIS) juga merilis citra satelit yang membuktikan pesawat-pesawat tempur Rusia mendarat di Pangkalan udara Khadim dan Al-Jufra Libya.

Rilis gambar dari CSIS itu disertai dengan analisis yang ditulis oleh Brian Katz dari Program Keamanan Internasional CSIS Washington dan Joseph S. Bermudez Jr. yang merupakan rekan senior untuk analisis citra (non-residen) di CSIS.

Pangkalan Udara Al-Jufra merupakan pangkalan udara yang strategis. Pangkalan Al-Jufra kini berfungsi sebagai pusat logistik dan udara utama untuk kemajuan LNA ke Libya barat dan titik peluncuran untuk serangan Tripoli.

“Lapangan udara itu menampung beberapa skuadron angkatan udara Libya selama rezim Gaddafi, dan puluhan pesawat tetap ditinggalkan di sana. Pesawat Rusia dan tentara bayaran Wagner dilaporkan mulai beroperasi di Al Jufra pada 2019, dan kehadirannya diperluas pada 2020,” tulis CSIS.

Analisis citra CSIS Al Jufra mulai 6 Juni 2020 menampilkan luas dan dalamnya dukungan dan aktivitas Rusia.

AS Kembali Pergoki Pesawat Tempur Rusia di Libya, Akankah Terjadi Perang Proksi?
Gambaran utuh Pangkalan Al-Jufra dari citra satelit CSIS, 6 Juni 2020. Sumber: CSIS.

Selain itu, CSIS juga membuktikan adanya keterlibatan PMC Warner Group, disebutkan CSIS sebagai komponen inti dari intervensi Rusia di Libya.

“Aktivitas PMC Rusia melonjak pada musim panas 2019 untuk meningkatkan kampanye Haftar yang lesu di Libya barat dan memungkinkan serangan LNA terhadap Tripoli. Pada awal 2020, hingga 1.200 tentara bayaran Wagner berada di Libya, untuk kemudian didukung dari udara dengan kedatangan pesawat tempur Rusia,” tulis analisis CSIS.

AS Kembali Pergoki Pesawat Tempur Rusia di Libya, Akankah Terjadi Perang Proksi?
Kedatangan artileri dan PMC, 28 Mei 2020. Sumber: CSIS.
AS Kembali Pergoki Pesawat Tempur Rusia di Libya, Akankah Terjadi Perang Proksi?
Kedatangan Pantsir-S1 dan kendaraan dan peralatan tambahan, 28 Mei 2020. Sumber: CSIS.

Lebih lanjut, dalam analisis dari CSIS, intervensi Rusia di Libya dan penyebaran pasukan PMC mendapatkan keuntungan signifikan dalam hal memperluas wilayah LNA sambil memperkuat posisi geostrategis Rusia di negara itu. Akan tetapi hal itu juga mengungkapkan batas-batas pendekatan perang proksi yang dipimpin PMC.

“Serangan Haftar dan PMC Wagner terhadap Tripoli memicu eskalasi besar-besaran dari Turki, yang dengan sendirinya mengerahkan pasukan proksi, termasuk ribuan pejuang Suriah, untuk menghentikan kemajuan LNA pada awal 2020. Dengan Moskow masih menyangkal kehadiran Rusia dan operasi di Tripoli, Turki dan GNA telah menekan serangan balik mereka dan, pada pertengahan Juni 2020, telah mengambil kembali sebagian besar kemajuan LNA dari awal tahun ini, termasuk posisi kritis di Tarhuna, Sirte, dan Bani Walid.”

Sementara itu, AFRICOM dalam rilis beritanya menyebut bahwa Rusia merupakan pedagang senjata nomor satu di Afrika. AFRICOM juga mengklaim bahwa Rusia terus mengambil untung dari kekerasan dan ketidakstabilan di seluruh benua.

“PMC yang didukung pemerintah Rusia, seperti Wagner Group, aktif di enam belas negara di seluruh Afrika. Diperkirakan ada sekitar 2.000 personel Grup Wagner di Libya,” tulis rilis berita AFRICOM.

Lebih lanjut, Direktur Urusan Publik AFRICOM Chris Karns geram atas campur tangan Rusia di Libya.

“Rusia tanpa henti menempel pada narasi penolakan tidak masuk akal di media … Sulit untuk menyangkal fakta. Campur tangan Rusia dan penutupan aktivitas di Libya terlihat dan menunda kemajuan. Kemajuan yang layak diterima rakyat Libya,” tegas Karns.

Dengan kegeraman dari AS setelah mememergoki pesawat tempur dan pasukan militer swasta dari Rusia, sangat mungkin akan terjadi perang proksi antara seperti yang diamati oleh Brian Katz dan Joseph S. Bermudez Jr.

Hubungan antara Rusia dan AS sendiri sedang kurang baik. Beberapa konflik politik dan militer terjadi baru-baru ini, termasuk insiden jet tempur Rusia mencegat dua pesawat pembom B-52 milik AS yang terbang di atas Laut Okhotsk, di lepas pantai timur jauh Rusia, Jumat (19/6), dilansir dari Reuters, yang mengutip Kementerian Pertahanan Rusia.

Akan tetapi, perang bukanlah sesuatu perkara remeh-temeh. Selain itu, mengutip Maisie Junardy dalam Man’s Defender (2017), politik modern lebih mengedepankan taktik dan diplomasi, tawar-menawar dan timbang-menimbang, berusaha mencari pemecahan yang paling adil, agar tidak harus berperang.