MK Tolak Uji Formil UU Cipta Kerja, Komnas Perempuan Soroti Perlindungan Hak Pekerja
Berita Baru, Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruh permohonan uji formil terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2023 yang menetapkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi UU. Putusan ini menegaskan bahwa UU tersebut tetap memiliki kekuatan hukum mengikat, meskipun proses pembentukannya dianggap cacat formil oleh sejumlah pihak.
Namun, MK melalui Putusan No. 168/PUU-XXI/2023 mencabut dan merevisi 21 pasal yang berkaitan dengan hak-hak pekerja, termasuk penggunaan tenaga kerja asing, perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), outsourcing, pengupahan, pemutusan hubungan kerja (PHK), dan ketentuan pesangon.
“Keputusan MK ini menunjukkan adanya kemajuan dalam memenuhi hak-hak dasar pekerja, seperti pengupahan yang layak, tambahan hari istirahat, hingga mekanisme PHK yang harus melalui musyawarah mufakat,” ujar Komisioner Komnas Perempuan, Theresia Iswarini, Kamis (28/11/2024).
MK juga memutuskan untuk mengeluarkan klaster ketenagakerjaan dari UU Cipta Kerja dan memandatkan pembentukan undang-undang ketenagakerjaan baru. Komnas Perempuan menyambut langkah ini sebagai peluang untuk memperbaiki aturan yang selama ini merugikan pekerja. “Komnas Perempuan berharap aturan baru dapat memprioritaskan pemenuhan hak asasi pekerja, termasuk hak-hak perempuan pekerja yang menghadapi kondisi dan kerentanan khusus,” tambah Theresia.
Komnas Perempuan mencatat lima isu utama dalam klaster ketenagakerjaan yang perlu diperhatikan, di antaranya perlindungan parsial untuk perempuan pekerja, fleksibilitas upah yang menurunkan standar hidup layak, diskriminasi terhadap pekerja disabilitas, jam kerja panjang, dan kurangnya perlindungan bagi pekerja migran.
UU Cipta Kerja juga dinilai belum memberikan perlindungan memadai bagi pekerja informal, sektor yang sebagian besar diisi oleh perempuan. Komnas Perempuan menyoroti tingginya risiko kekerasan, pelecehan, dan eksploitasi terhadap pekerja rumah tangga dan pekerja rumahan. “Pekerja informal sering kali tidak diakui sebagai pekerja dalam kebijakan nasional, meskipun mereka memenuhi unsur sebagai pekerja. Ini harus menjadi perhatian dalam aturan baru yang lebih inklusif,” jelas Komisioner Veryanto Sitohang.
Di sisi lain, UU Cipta Kerja juga dinilai masih abai terhadap hak maternitas dan tidak menyediakan langkah pencegahan maupun penanganan kekerasan seksual di tempat kerja. Bahkan, istilah “penyandang cacat” yang digunakan dalam UU dinilai dapat menguatkan stigma negatif terhadap disabilitas.
Untuk memperbaiki situasi ini, Komnas Perempuan merekomendasikan pembentukan aturan baru yang menjamin hak asasi pekerja dan memperbaiki ketentuan bermasalah dalam UU Cipta Kerja. Pemerintah juga diharapkan memberikan perlindungan lebih bagi pekerja informal, pekerja migran, dan perempuan pekerja. “Pemerintah harus menjadikan aturan baru ini sebagai momentum untuk memperbaiki kondisi pekerja, terutama perempuan yang selama ini rentan terhadap pelanggaran hak,” pungkas Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani.
Komnas Perempuan menegaskan pentingnya menjadikan hak pekerja sebagai prioritas utama dalam kebijakan baru untuk menciptakan keadilan dan perlindungan yang lebih baik di dunia kerja.