Mensos Risma Tolak Panti Jompo, The PRAKARSA: Tidak Realistis
Berita Baru, Jakarta – Menteri Sosial Tri Rismaharini menyatakan ketidaksetujuannya terhadap konsep panti jompo saat peringatan Hari Lanjut Usia Nasional (HLUN) 2024 di Aceh Utara, Selasa (29/5/2024). Menurutnya, panti jompo adalah model dari luar negeri yang tidak sesuai dengan budaya Indonesia dan bisa menjadi alasan anak untuk menolak merawat orang tua lanjut usia.
Namun, pernyataan Mensos ini mendapat kritik dari berbagai pihak. Herni Ramdlaningrum, Peneliti The PRAKARSA, menyebut pernyataan tersebut menunjukkan ketidakpahaman terhadap dinamika perubahan demografi dan struktur sosial ekonomi masyarakat Indonesia.
“Kehadiran panti lansia justru makin penting dengan adanya fenomena seperti meningkatnya populasi lansia dan generasi sandwich,” ujarnya pada Jumat (31/05/2024).
The PRAKARSA menilai pernyataan Mensos mengenai panti jompo sebagai budaya luar negeri kontraproduktif dan sempit. Menurut Herni, peraturan pemerintah sendiri telah mengatur keberadaan panti lansia melalui Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelayanan Sosial Lanjut Usia. “Pernyataan Mensos adalah bentuk ketidakpahaman pemerintah mengenai tantangan yang dihadapi sandwich generation, di mana anak menanggung dan merawat dua generasi, baik anak mereka maupun orang tua mereka yang lansia,” kata Herni.
Penelitian The PRAKARSA 2021 menunjukkan bahwa 66,3% kelompok usia produktif tinggal di rumah tangga tiga generasi. Dari perspektif gender, peran merawat orang tua lansia umumnya dilakukan anak perempuan, yang mengakibatkan rendahnya partisipasi perempuan di pasar kerja. Data BPS 2023 menunjukkan bahwa Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan hanya 60,18%, jauh lebih rendah dibandingkan pekerja laki-laki yang mencapai 86,97%.
“Menyalahkan masyarakat, khususnya kelompok usia produktif yang bekerja, dan menyatakan mereka tidak memiliki waktu untuk merawat orang tuanya bukan pernyataan yang tepat. Apalagi perempuan yang akhirnya selalu bertanggungjawab pada peran perawatan dalam rumah tangga,” tegas Herni.
Victoria Fanggidae, Wakil Direktur The PRAKARSA, menambahkan bahwa pemerintah seharusnya mengevaluasi dan memperbaiki keberadaan panti lansia yang ada saat ini. “Riset-riset The PRAKARSA mengenai lansia menunjukkan bahwa panti lansia masih sangat dibutuhkan. Ini karena banyak lansia tidak punya keluarga, atau hubungannya tidak harmonis dengan keluarga, atau keluarganya tidak mampu memberikan perawatan kesehatan yang dibutuhkan lansia,” ujarnya.
Namun, jumlah panti yang ada saat ini sangat terbatas sehingga daftar tunggu lansia untuk masuk panti seringkali sangat panjang. Panti yang ada pun banyak yang kelebihan kapasitas dan tidak memiliki fasilitas perawatan yang memadai maupun tenaga perawat yang cukup dan terlatih.
“Pemerintah tidak boleh jumud dalam mengembangkan program untuk mensejahterakan lansia. Dinamika yang terjadi harus direspon dengan cara-cara inovatif dan sesuai kebutuhan masyarakat,” ujar Victoria. Menurutnya, pemerintah justru seharusnya membangun kesan yang lebih baik mengenai panti lansia dan memastikan bahwa panti tersebut bukanlah tempat menelantarkan lansia, melainkan cara alternatif untuk menjamin kesejahteraan dan penghormatan bagi lansia.
Lansia memiliki hak untuk menentukan segala pilihan yang berkaitan dengan kehidupannya. Mereka berhak memilih tempat tinggal mereka dan siapa yang akan merawat serta menemani mereka di masa tua. “Rumah perawatan lansia dapat menjadi pilihan yang harusnya bisa disediakan oleh negara. Pendekatan hak harus menjadi landasan berpikir pemerintah. Pemerintah perlu menyediakan rumah perawatan dengan standar berkualitas dan dapat dijangkau oleh masyarakat,” tutup Victoria.