Mengatasi Tuntas Karhutla, Masih Mungkinkah?
Mengatasi Tuntas Karhutla, Masih Mungkinkah?
Oleh, Henri Subagiyo
(Direktur Eksekutif ICEL)
Karhutla terjadi lagi, pasca kejadian 2015 yang berturut-turut berhasil ditekan hingga tahun 2018 dan akhirnya masif terjadi lagi 2019 ini. Kecepatan pemerintah dalam aksi memadamkan api selama ini memang patut diapresiasi. Mulai dari sistem monitoring adanya hotspot hingga pemadaman dilapangan ketika api muncul. Tapi kondisi lapangan, mobilisir sarpras pemadaman hingga kecukupan sarpras bisa dipastikan menghadapi kendala serius jika Karhutla terjadi secara serentak di beberapa provinsi. Oleh karenanya, semua memahami bahwa pencegahan dan pemulihan yang berefek pada penguatan kerentanan lahan adalah opsi terbaik, khususnya di areal gambut. Namun patut dicatat bahwa masih banyak kendala yang dihadapi pemerintah sendiri, khususnya pada aspek kebijakan dan pendekatan.
Harmonisasi Fungsi Lahan Gambut dalam RTRW
Upaya melakukan harmonisasi fungsi gambut (lindung dan budidaya) dalam RTRW hingga saat ini masih mengalami kendala. Salah satunya adalah konsistensi. Rencana tata ruang yang menjadi rujukan bagi pengambilan kebijakan atas semua aktifitas pembangunan, termasuk perizinan belum mampu menjadi faktor korektif sekaligus kompas dalam aktifitas pembangunan. Sebagai contoh, RTRW Provinsi Riau yang hanya mengadopsi 0,43% dari total 4.9 juta Ha lahan gambut di daerah tersebut dimana separuhnya adalah fungsi lindung (Jikalahari 2019). Alhasil dapat dipastikan arah pembangunan daerah tersebut tidak akan presisi dengan faktor kerentanan gambut yang ada. Persoalan lain, dalam proses penetapan RTRW tersebut ditengarai adanya “bypass” terhadap proses KLHS yang harusnya disetujui terlebih dahulu oleh Menteri LHK. Pada situasi seperti ini tidak hadir upaya korektif dari pemerintah sendiri sehingga digugat oleh masyarakat ke pengadilan melalui mekanisme judicial review. Hal ini menunjukkan egosektoral di internal pemerintah yang sempat diingatkan oleh Presiden Jokowi diawal kabinet kerjanya masih kental dan tidak ada “faktor pemecah kebuntuan” berupa organ maupun mekanisme pengambilan keputusan yang efektif di internal pemerintah ketika keputusan satu dengan lainnya berbenturan.
Koreksi Keterlanjuran Perizinan
Banyak izin usaha sesungguhnya telah dikeluarkan oleh pemerintah sebelum adanya penetapan fungsi gambut. Upaya tuntas untuk melakukan koreksi perizinan ini menghadapi persoalan, khususnya perlawanan dari pihak korporasi. Contohnya gugatan RAPP terhadap keputusan revisi RKU yang dilakukan oleh Menteri LHK hingga judicial review kelompok pekerja perkebunan terhadap ketentuan kewajiban penyesuaian RKU bagi kegiatan HTI yang dimenangkan oleh Mahkamah Agung, akibat kegagalan hakim dalam memahami fungsi hutan dan perbedaan antara tata ruang dalam kehutanan dengan rencana tata ruang wilayah.
Situasi dalam perizinan kehutanan tersebut belum ditambah dengan stagnasi koreksi di sektor perkebunan yang seharusnya dilakukan oleh Menteri Pertanian. Alhasil, upaya koreksi perizinan hanya menjadi beban dan jalan sunyi bagi Menteri LHK di tengah kentalnya paradigma investasi di kabinet kerja Jokowi.
Pegawasan dan Pemulihan Bekas Terbakar
Salah satu faktor penting dalam pencegahan Karhutla adalah pengawasan. Ketentuan hukum sudah jelas bahwa siapa yang mengeluarkan izin maka wajib melakukan pengawasan. Berbagai instrumen pengawasan mulai dari Amdal, izin lingkungan, hingga kewajiban self reporting pemegang izin telah ada. Sayangnya, upaya pengawasan ini terkendala oleh persoalan kalasik tentang kecukupan sumber daya pengawas di instansi pemberi izin, baik pusat dan daerah di tengah kuatnya keinginan menghadirkan banyak investasi. Bisa dipastikan bahwa jumlah izin yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak sebanding dengan kemampuan melakukan pengawasan, selain lemahnya skenario pengawasan. Padahal, pengawasan adalah salah satu pintu masuk penegakan hukum yang bersifat preventif sebelum pelanggaran yang ada mengakibatkan Karhutla. Pengawasan yang dikombinasikan dengan sanksi administrasi mulai dari teguran, paksaan pemerintahan untuk memperbaiki pelanggaran hingga suspensi dan pencabutan izin akan memperkuat sistem deteksi dini atas pelanggaran yang terjadi sebelum akhirnya berdampak pada terjadinya Karhutla.
Pemerintah hendaknya bisa membagi tugas pengawasan terkait kepatuhan Karhutla secara bersama-sama antara KLHK, Kementan dan daerah (provinsi maupun kab/kota) sehingga tidak bertumpu hanya pada satu instansi saja. Hal demikian juga terhadap aksi pemulihan yang harus dilakukan oleh pemegang izin yang arealnya terbakar. Menteri LHK dapat memerankan sebagai koordinir dalam pengawasan terintegrasi tersebut mengingat dibekali oleh kewenangan oversight dan secondline enforcement berdasar UU PPLH.
Restorasi Gambut
Upaya melakukan restorasi gambut melalui BRG masih banyak diwarnai oleh faktor koordinasi dan persoalan kelembagaan. Rencana restorasi yang ada belum dapat menjadi faktor koordinasi yang efektif antar instansi pemerintah. Sebagai contoh terkait dengan supervisi. Hingga saat ini BRG berhasil melakukan supervisi pelaku usaha di sektor kehutanan seluas 9,4% dari total target pada sektor ini seluas kurang lebih 1,2 juta Ha. Sedangkan supervisi pada sektor perkebunan seluas 39,3% dari total target kurang lebih 555 ribu Ha. Persoalan persepsi antara supervisi dengan pengawasan izin antar instansi ditengarai menjadi kendala, selain isu apakah BRG berwenang masuk ke areal konsesi atau tidak. Inisiatif MoU antara BRG dengan Kementan untuk kegiatan supervisi di areal perkebunan, pada satu sisi menunjukkan suatu kemajuan dalam supervisi, namun disisi lain menggambarkan adanya realitas kerumitan-kerumitan birokrasi dan kewenangan yang ada pada banyak instansi, termasuk di sektor kehutanan. Masih banyak diperlukan sinergi antara rencana pemulihan yang ditetapkan oleh KLHK dengan supervisi yang dilakukan BRG. Pasalnya, Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan LH, KLHK sendiri telah menyatakan bahwa 3,1 juta Ha areal gambut di konsesi telah berhasil direstorasi (29/1/19) padahal supervisi baru bisa dilakukan pada 114 ribu Ha. Kedepan perlu dilakukan pengecekan kembali apakah areal yang telah direstorasi maupun supervisi tersebut terbakar kembali tahun ini dan apa faktor penyebabnya. Kegiatan restorasi yang dilakukan oleh KLHK dengan supervisi yang dilakukan BRG sebaiknya juga diletakkan pada satu irama koordinasi mulai proses perencanaan pemulihan hingga penetapan pulih suatu restorasi gambut secara bersama-sama.
Secara kelembagaan, BRG yang ditugasi melakukan koordinasi dalam restorasi gambut sebagaimana dalam Perpres 1/2016 belum dibekali instrumen yang memadahi, yaitu kewenangan melakukan koordinasi hingga membagi tanggungjawab restorasi melalui rencana aksi, penentuan target dan evaluasi capaian bersama. Idealnya, keberhasilan atau kegagalan restorasi seharusnya dipandang sebagai keberhasilan atau kegagalan bersama antar instansi pemerintah terkait, pusat maupun daerah sehingga muncul sinergi kuat dalam percepatan program restorasi di masing-masing instansi. Hal ini dikarenakan orisinalitas tanggungjawab restorasi sesungguhnya masih melekat pada peraturan perundang-udangan yang ada di sektor masing-masing dan BRG dimandatkan untuk mengoordinasikannya. Seyogyanya, rencana restorasi yang saat ini telah ada di BRG dapat diperkuat menjadi rencana aksi yang ditetapkan oleh Presiden agar menjadi alat ukur kinerja setiap instansi. BRG bertugas selain mengawal juga melakukan evaluasi.
Semoga langkah dan upaya terbaik saat ini dapat terus diperbaiki ke depan. Evaluasi seluruh inisiatif yang bersifat penguatan dalam pencegahan dan pemulihan perlu dilakukan untuk perbaikan yang lebih mendasar di tengah kepercayaan publik atas gencarnya wacana investasi yang ada.