Mencari HMI yang Lain
Opini: Ang Rijal Anas
Sebagai organisasi yang lahir dua tahun pascakemerdekaan Indonesia, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sudah banyak melahirkan kader dalam beragam bentuk. Ada yang progresif, pasif hingga ada yang harus dipaksa untuk mengikuti kegiatan di Komisariat. Meminjam kata senior-senior: itulah dinamika organisasi.
Begitu juga apa yang dikhawatirkan oleh M. Qasim Mathar dalam artikelnya “HMI Sudah Tiada” (Harian Fajar, 14/8/2021) yang antara lain menyoroti kiprah lembaga, organisasi politik yang berlabel “I”. Bahkan ia berseloroh dengan berani: “Label ‘I’ telah banyak menipu kita.” Dalam konteks ini, “I” yang ia maksud tentu saja Islam.
Tentu ini kritik yang kontruktif bagi kokohnya HMI sebagai organisasi. Tetapi perlu diingat, kritik yang kurang lebih sama sebenarnya sudah berulang kali dilontarkan oleh publik kepada HMI. Apa respon PB HMI soal kritik ini? Sampai saat ini saya belum melihat respon resmi PB HMI. Tentu kita berharap PB HMI merespon kritik ini, langsung lewat kerja-kerja dan aktivismenya sebagai organisasi dengan tujuan mulia: terwujudnya insan cita itu.
Di akhir tulisannya, Qasim Mathar menyarankan agar HMI segera menemukan objek yang hilang yakni “Islam yang sebenarnya”. Di sinilah salah satu kerancuan pandangan Qasim Mathar. Ia lupa bahwa “Islam yang sebenarnya” itu sangatlah abstrak. Abstrak, karena “Islam yang sebenarnya” hari ini, sudah berkamuflase menjadi Islam Nusantara, Islam Berkemajuan, hingga Islam radikal. Semua organisasi, lembaga telah membentuk “Islam yang sebenarnya” versi mereka sendiri. Tak terkecuali “Islam yang sebenarnya” dari “mazhab” HMI ini.
Masalahnya
Survival of the fittest, begitu kata Herbert Spencer seorang filsuf Inggris. Sebuah keharusan sejarah, apabila HMI ingin terus bertahan dalam gempuran “I” yang lain. HMI harus sudah mulai beradaptasi dengan perubahan zaman, kosmopolitasime, inklusifitas dan multikulturalisme dunia. Walau HMI sudah membuka cabang di luar negeri, itu bukan jaminan bahwa HMI mampu memahami warna-warni dunia. Saya ragu, itu hanya menjadi riak-riak wadah bertulis “silaturaHMI” kader di luar negeri.
Penilaian publik pada kondisi HMI hari ini tak lepas dari sepak terjang kader-kader HMI yang hari-hari banyak disorot publik. Akhirnya, kita ramai-ramai mengkritik bahkan menghujat HMI. Bagi saya itu adalah sebuah kewajaran, perlu dan mendesak. Untuk mengeluarkan HMI dari jurang kebekuan yang makin dalam.
Kebekuan ini terjadi karena HMI lupa akan beberapa hal yang menjadi pilar penting: pertama, keilmuan dan pembacaan realitas. Dalam HMI kita tentu familiar dengan slogan: iman, ilmu, amal. Itu pilar yang harus dijunjung HMI. “Amal-amal” kader HMI inilah yang menjadi sorotan utama, tertutama yang tidak sesuai dengan iman dan ilmu itu.
Baru-baru ini kader HMI, Aziz Syamsuddin menjadi pesakitan di KPK. Peristiwa ini menambah rentetan panjang kader HMI yang melaksanakan “amal” yang tidak sesuai dengan iman dan ilmu itu. Satu kerugian bagi institusi yang konon dalam materi tafsir Nilai Dasar Perjuangan (NDP)-nya dengan tegas mengatakan: insan cita yang pengabdi, yang bertanggung jawab juga kepada kepentingan orang banyak, bukan hanya diri sendiri.
Qasim Mathar berharap kader HMI, bisa berbuat lebih banyak, lebih out of the box dan mampu berpikir melampaui zaman. Tindakan yang mampu menggerakkan dan gerakan yang mampu memproduksi, produksi yang mampu “menghasilkan” kemanfaatan bagi publik dan kepentingan luas, sesuai NDP itu.
Mencari “I” yang Lain
Kata “I” dalam akhiran HMI menjadi multitafsir. Pencarian makna dari kata “I” sebenarnya jauh sebelum zaman pagebluk ini menjamah kita. Syahdan, frase “I” ini kerap menjadi bumerang bagi HMI sendiri. Para kritikus (intern-ekstern) dan organisasi lain kerap menyerang HMI dari “sisi kanan” ini.
Dengan melekatkan Islam pada HMI ini, secara otomatis ke mana, di mana, mau apa, dan segala macam yang berkait dengan HMI itulah yang akan dinilai sebagai ekspresi keislaman dari HMI. Walau kader HMI kerap melakukan tindakan-tindakan di luar cita-cita NDP yang suci itu.
Inilah jugalah salah satu kelemahan, jika sesuatu selalu dinukil “atas nama agama”. Atau selalu disematkan nama salah satu agama. Cara berpikir teologi semacam ini kerap menjadi “buah simalakama”. Di satu sisi kita berniat untuk menggalang persatuan, perjuangan, dan “kemenangan” di atas perjuangan sesama umat beragama. Namun, akibat buruk yang ditimbulkan oleh sematan-sematan semacam itu juga tak kalah merugikan.
Kekhawatiran HMI yang menyimpang dari khittah perjuangan yang kerap ditampilkan, membuat citra dan eksistensi organisasi kader ini kian menyusut. Mengutip pernyataan Mahfud MD: “bahwa gaung organisasi kader di HMI sampai hari ini belum mampu dibuktikan dalam level kepemimpinan nasional (presiden).” Karena belum apa-apa berpotensi memakai rompi oranye KPK.
Ini adalah indikasi bahwa juga kader-kader yang dibanggakan oleh senior-senior di stan-stan pendaftaran LK-1 itu hanyalah penarik simpati, dan kita harus hati-hati dalam mengikuti jejak langkah tokoh-tokoh itu. Boleh jadi tokoh-tokoh yang ditampilkan itu yang kemudian hari menjadi pesakitan di lembaga antirasuah.
Oleh karena itu, agar beban agama tidak terlalu berat menerima dosa-dosa manusia. Dalam “I”-nya HMI kita harus segera melahirkan wacana baru. Revisi “I” itu bisa menjadi Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI), Himpunan Mahasiswa Ilmu (HMI) atau yang lebih sesuai dengan zamannya Himpunan Mahasiswa Informasi-Internet (HMI) dengan realitas baru distrupsi informasi yang melanda dunia ini.
Menimbang HMI yang Lain
Himpunan Mahasiswa Indonesia kelihatannya lebih ringan dari segi beban teologisnya. Sebab, frase Indonesia bisa dikait-kelindan dengan masalah perpolitikan dan pemerintahan. Karena kader HMI jangan ditanya kelihaiannya dalam berpolitik. Cek saja satu-satu politisi yang sering berdebat dan melempar senyum di billboar raksasa pinggir jalan itu. Bisa dipastikan dia pernah dikader.
Himpunan Mahasiswa Indonesia juga lebih bisa mewakili kekinian kita sebagai bangsa. Isu pluralisme, multikulturalisme, dan isme-isme yang lain membuat HMI harus bertaruh dalam wacana diskursus yang lebih plural dengan meninggalkan “atas nama agama” tertentu. Kondisi ini lebih ringan seperti yang saya jelaskan tadi. Agar beban agama tak terlalu berat. Karena munculnya ateisme dan spiritualis baru itu, salah satunya akibat agama-agama mapan terlalu banyak dibebani oleh masalah-masalah “dunia” pemeluknya. Sialnya, agama dan pemeluk agama tidak bisa menyelesaikan masalah itu.
Himpunan Mahasiswa Ilmu, wacana ini juga menarik untuk dipertimbangkan. Kemampuan kader HMI dengan bacaan-bacaan filsafat yang tebal itu jangan ditanya lagi. Dari kata pengantar sampai catatan kaki dihafal oleh kader-kader. Potensi ini sebenarnya harus dimanfaatkan oleh HMI. Agar kritik-kritik semacam yang dilontarkan oleh Qasim Mathar tidak berpotensi untuk diucapkan.
Agar kader HMI juga tak melulu harus dibebani dengan agenda politik praktis dan diskusi-diskusi soal politik bangsa dan kiprah senior-seniornya di bidang politik. Oke, sampai sini pahamkan bagaimana progres yang harus diperimbangkan HMI ke depan.
Himpunan Mahasiswa Informasi-Internet. Beban berat memang di zaman medsos ini. Di mana semuanya harus kita ungkap ke publik. Termasuk hanya duduk-duduk nongkrong di warung kopi itu. Karena hasrat eksistensi dan pengakuan, jempol ini terasa ringan untuk meng-upload kegiatan itu.
Di saat informasi meluber ini –manusia seakan hilang separuh jiwanya—meminjam sentilah Iqbal Aji Daryono soal down-nya media sosial yang mengakibatkan pundi-pundi harta Mark Zuckerberg nyungsep.
Nah, dengan kelihaian jari-jari keder HMI di dunia maya, apa tak mungkin kita mereview “I” di akhir HMI itu? Jawabannya pasti mungkin.
Penulis adalah Pustakawan di Kalikuma Library