Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Kemerdekaan
Ilustrasi: Indonesia Menalar.

Kemerdekaan: Sebuah Dilema tentang Kebebasan Lahiriah demi Kedaulatan Rakyat



Alfonsius Febryano Ade Putra *


Setelah merayakan hari kemerdekaan Indonesia yang ke 77 tahun, kita sebagai bangsa seolah di charge kembali semangat nasionalisnya melalui tiap perjumpaan yang kita alami di bumi Indonesia ini. Mulai dari dikumandangkannya lagu Indonesia Raya oleh regu-regu barisan di tiap institusi, hingga berseliwerannya nilai-nilai patriotik pada akun platform digital, tentu memuat suatu unsur, bahwa kemerdekaan ini merupakan satu ajakan penting untuk menata ulang kembali cara hidup kita bernegara secara lebih segar. Tak lupa pula dari kalangan rakyat yang mengisinya dengan pelbagai lomba bernuansa harmonis, juga pada pagelaran seni rupa dan tari di tiap-tiap sekolah sebagai perjumpaan wajah-wajah pelaku pendidikan, serta hadirnya bendera merah putih yang kala kita mengitari tiap-tiap jalan selalu setia berdampingan dengan teriknya mentari, menjadikan fenomena ini sebagai gambaran bahwa segala yang kita miliki dan alami di bumi pertiwi ini tak akan pernah ada, bila tanpa suatu ketulusan untuk berjuang menghayati hidup bernegara itu sendiri.

Pelbagai hal yang telah terjadi itu bukanlah karena kebetulan. Semua tak akan pernah terberi, jika kesadaran akan identitas kebangsaan belum diangkat kekhasannya dalam bingkai kebebasan. Sebab, di tengah isu publik yang kian hari berganti di tiap dramanya, kita tentu banyak menemukan cerita baru yang cukup menarik dalam hidup berbangsa dan bernegara kita. Sebut saja, dari sukacita finalis Timnas Indonesia U-16 di piala AFF, sampai pada lakon teka-teki kepolisian republik ini, semuanya terjadi lantaran tiap orang yang hidup di Indonesia telah memilih perannya secara bebas dan menunaikan itu sebagai sebuah cerita. Maka untuk itulah, momen kemerdekaan sepertinya perlu dijadikan sebuah cermin evaluasi terkait keputusan bebas kita hidup di negara berdaulat ini. Oleh karena itu, sudah bebaskah kita memilih peran di bumi Indonesia?

Dimulai dari kehendak bebas

Berbicara tentang bangsa tentu amat tidak begitu relevan, bila tak dimulai dengan memahami dimensi manusia itu sendiri sebagai satu partikel kecil dari himpunan yang kita sebut bangsa. Tak dapat kita pungkiri bahwa manusia adalah mahluk rasional, ia memiliki akal budi untuk menimbang pelbagai fenomena di luar dirinya, dan dapat menggunakan seluruh indranya secara ragawi untuk mengetahui hal-hal di sekitarnya, hingga secara rohaniah ia bahkan memiliki potensi untuk menentukan keputusan bagi dirinya, bisa sangat dipungkiri di sisi lain atau disetujui pada sisi yang berbeda, bahkan lebih ekstrem untuk mengatakan terserah. Sehingga dapat dikatakan, manusia memang memiliki intensitas positif untuk memungkinkan keputusan yang diambil bagi dirinya, dan ini menjadi suatu alasan mengapa manusia amat unik. Oleh karena manusia punya potensi memutuskan bagi dirinya, maka tak mengherankan manusia juga punya kemungkinan demi menghadirkan keputusan terlebih dahulu sebelum tiba pilihan atas dirinya, sehingga fenomena inilah yang dimaksudkan sebagai kehendak bebas.

Meminjam pikiran Lorens Bagus terkait kehendak bebas sebagai suatu fakultas dalam memutuskan suatu pilihan, belum begitu apik tanpa didukung konsepsi yang ditambahkan olehnya, yaitu: sebagai kekuatan makhluk rohaniah yang harus mengafirmasikan kebaikan (Lorens Bagus, 1992). Pasalnya, bila pemahaman akan kehendak bebas tak disertai dengan sisi rohaniah dari manusia, tentu seolah-olah membuat kehendak bebas akan sama halnya dengan penalaran liar semata.

Umumnya, kesulitan dalam memahami kehendak bebas kerap kali disepelekan pada diskusi etika publik akhir-akhir ini. Karena memang kita lebih sering memakai penyampaian intelek dalam memilih satu pertimbangan etis di sekitar kita, ketimbang menentukan otonomi secara jujur pada kebebasan itu sendiri. Contoh yang dapat diambil ketika knalpot motor yang bising lewat di hadapan kita, kebanyakan justru lebih memilih untuk menyalahkan pemilik knalpot tersebut, ketimbang yang menjual knalpot bising itu. Untuk itulah, dengan mengambil pikiran Aristoteles (384-322 SM) kita akan menjumpai gagasan bahwa keputusan intelek cukup mempengaruhi keputusan bebas kita. Menurutnya, intelek manusia ini dibagi ke dalam dua bentuk yaitu: pasif sebagai yang menerima bahan dari indra dan aktif sebagai yang menghubungkannya atas dasar ide-ide (Van der Weij, 1988). Sehingga apa yang diketahui oleh indra akan diolah secara aktif melalui ide-ide yang akan muncul karenanya. Jadi, ketika mata melihat nilai angka dari anggaran suatu pembangunan (pasif), melalui pertimbangan inteleknya ia akan menghadirkan ide-ide. Baik ide itu dipergunakan demi kepentingan dirinya atau menepati nilai pembangunan itu sesuai angka dari anggaran itu digelontorkan (aktif). Hal inilah yang menjadi titik pembeda, jika disandingkan dengan kehendak bebas. Dalam pemikiran Immanuel Kant (1724-1804) terkait kehendak bebas, ia menyimpulkan gagasan akan kehendak bebas, sebagai otonomi diri manusia yang berlangsung atas dasar tanggung jawabnya pada keputusan untuk memilih kebaikan tertinggi (Lili Tjahyadi, 1991). Maka, sebelum manusia tahu nilai angka dari suatu anggaran itu ditetapkan, manusia telah terlebih dahulu memutuskan bahwa akan memakai itu seturut otonominya demi kebaikan tertinggi yang diperlukan bagi kedewasaan moralnya. Sehingga, dengan didukung pada otonomi diri itu, kedua pilihan telah terjawab melalui penyesuaian akan nilai tertinggi bagi hidupnya. Untuk itu, dengan membatinkan seluruh sikap otonomi dirinya, melalui pertanyaan apa kebaikan tertinggi diri ini yang hendak dikejar, maka pilihan apapun itu akan dijawab dari dirinya sesuai muatan nilai sebagaimana ia perlukan bagi kedewasaan moralnya sendiri.

Dilema kebebasan dalam kedaulatan rakyat

Di sisi lain, ketika otonomi diri sudah ada pada diri kita, melalui penghayatan akan kebaikan tertinggi itu, kebebasan kita tentu tak dapat bertumbuh tanpa adanya perpaduan di antara kebebasan orang lain. Untuk itulah, peran kebersamaan dalam keterikatan, menjadi suatu perpaduan yang dibutuhkan, demi kekayaan yang khas akan kehendak bebas itu sendiri. Maka kebersamaan dalam keterikatan itulah yang kita namakan hidup bermasyarakat. Di Indonesia pun, peran kebersamaan itu amat dijunjung tinggi. Bahkan terdapat slogan bercerai kita runtuh bersama kita teguh sebagai suatu modul demi mempererat kebersamaan itu pada bingkai nasionalisme itu sendiri. Walau demikian, hal ini justru berbanding terbalik dari harapan, ketika keterikatan akan hidup bersama sebagai warga negara, dihadapkan pada taraf kedaulatan rakyat atau biasa kita sebut demokrasi. Pasalnya, negeri yang menjunjung tinggi kebebasan warga negara ini, malah menjadikan kita ‘bablas’ dalam menunaikan amanat kebaikan tertinggi seturut pemikiran Kant. Alhasil, nuansa dilematis terpampang di hadapan kita. Mulai dari kebijakan publik yang kian tak menentu arahnya ke mana, dan hukum sebagai praksis justifikasi transparan dilancarkan secara terselubung demi menunaikan kepentingan, tentu ini adalah problem dari tata cara penghayatan kehendak bebas yang serampangan.

Tak terpungkiri pula di kalangan rakyat, aspirasi dapat ditunggangi oleh karena kepentingan. Tak juga mengherankan, akses hukum yang begitu transparan membuat kita pun bebas membawa gugatan atas permasalahan sesama kita yang berkekurangan ke meja hijau. Sehingga daripada itu, arah kehendak bebas secara otonom demi kebaikan tertinggi itu seolah hilang dan tak memiliki gema pada nadi kemerdekaan itu sendiri. Atas dasar fenomena itulah seluruh momen kemerdekaan tahun ini, perlu di re-charge atau dengan kata lain didalami lagi motivasi terdalamnya. Bukan hanya dengan menonton tayangan patriotik dan mengikuti perlombaan 17 Agustus, dan setelah itu bubar. Tetapi menjadi satu jeda dalam perjalanan berbangsa dan bernegara, yang secara reflektif perlu ada, serta dibuka kemungkinannya untuk arah Indonesia yang lebih segar. Baik secara akhlak maupun akal sehat, maupun dari tata krama hingga pedagogi.


* Penulis adalah pegiat isu etika publik dan penikmat filsafat barat, khususnya diskusi terkait humanisme serta diskursus tentang metafisika.