Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Mempertanyakan Manfaat Proyek Food Estate di Kalteng dan Sumut
Diskusi “Food Estate di Kalimantan Tengah dan Sumatera Utara, Sekadar Proyek atau Bermanfaat secara Berkelanjutan bagi Petani?

Mempertanyakan Manfaat Proyek Food Estate di Kalteng dan Sumut



Berita Baru, Bogor – Kelompok masyarakat sipil kembali menggelar diskusi untuk membahas proyek food estate yang baru-baru ini digencarkan pemerintah di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah dan Provinsi Sumatera Utara.

Diskusi yang digelar secara virtual tersebut bertajuk “Food Estate di Kalimantan Tengah dan Sumatera Utara, Sekadar Proyek atau Bermanfaat secara Berkelanjutan bagi Petani?”.

Dalam kesempatan tersebut Safrudin dari Save Our Borneo mengatakan, proyek food estate ini berpotensi gagal.

“Pemerintah optimis menargetkan 6-7 ton/Ha melalui program ini namun realisasinya kurang dari itu bahkan untuk mencapai target yang biasa petani raih sebesar 3-4 ton/Ha saja tidak mampu,” tutur Udin.

Terkait food estate untuk komoditi singkong yang sedang berjalan di Kabupaten Gunung Mas, Udin menyebut wilayah yang dibuka tersebut berstatus Hutan Produksi (HP) dengan tutupan hutan masih bagus dengan potensi kayu yang besar.

“Ketika hutan ini dibuka, yang menjadi pertanyaan kemana kayu-kayu yang memiliki nilai ekonomi ini akan dibawa? siapa yang akan mendapatkan keuntungan ini? Permasalahan lainnya bahwa proses pembukaan lahan yang sudah hampir 600 Ha ini tanpa didahului dengan kajian lingkungan sebagai dasar”, tukas Udin.

Sementara itu Sekretaris Eksekutif Yayasan Petrasa, Sumatera Utara Ridwan Samosir mengatakan, proyek food estate di Kabupaten Humbang Hasundutan dan Kabupaten Dairi adalah berada di dalam kawasan konsesi PT Toba Pulp Lestari (TPL) dan PT Gruti.

Lokasi dalam konsesi dua perusahaan besar tersebut menurutnya patut dikritisi karena rentan terjadi konflik agraria.

“Ini patut dikritisi karena Sumatera Utara termasuk salah satu provinsi yang sangat rentan terjadinya konflik agrarian,” kata Ridwan.

Membahas proyek food estate di Humbang Hasundutan seluas 1.000 Ha, petani hanya mendapatkan akses kelola sebesar 215 Ha, sedangnya 785 Ha lainnya akan dikelola oleh 10 perusahaan.

“Jadi, kalau selama ini sumber pangan kita berasal petani, maka dengan program food estate akan ada pergeseran aktor, penyedia pangan nasional mulai dialihkan kepada industri dan korporasi,” kritik Ridwan.

Pemerhati Lingkungan asal Kalimantan Tengah, Fatkhurohman, menitik beratkan sikapnya terkait proses Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) penerapan kawasan hutan untuk ketahanan pangan di Kalteng. Menurutnya, sejumlah fakta terkait pelaksanaan food estate di lapangan sangat bermanfaat bagi tim penyusun KLHS.

“Kami sangat terbantu dengan laporan dan data dari lapang karena dapat kami tuangkan dalam proses penyusunan KLHS. Harapannya proses deliberatif melalui KLHS ini dapat kita kawal bersama sehingga menjadi pembelajaran,” tegas Fatkhur.

Mantan Gubernur Kalteng yang saat ini menjabat sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Agustinus Teras Narang menilai proyek food estate yang digalakkan pemerintah tetap harus didukung, meskipun dengan berbagai catatan kritis terkait prinsip keberlanjutan.

“Program ini harus memenuhi aspek keselamatan ekologi, sosial budaya dan ekonomi masyarakat di lokasi pengembangannya. Selain itu, karena program ini melibatkan lintas kementerian, saya mencoba mendorong ada payung hukum yang jelas untuk mengatur semua pihak,” tegas Teras Narang.

Bahkan, Teras Narang menegaskan pentingnya sebuah Badan Otorita untuk mengawal pelaksanaan agenda tersebut, sehingga lebih fokus dalam membangun sinergi antara kementerian, pemerintah daerah dan masyarakat.

“Saya berpandangan kita harus tetap kritis yang konstruktif tentunya serta memiliki semangat untuk membangun kepentingan dan tujuan bersama,” pungkas Teras.