Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Islam

Melihat Kembali Penyebaran Islam di Nusantara Bersama Lutfi Ghozali



Berita Baru, Tokoh – Islam tiba di Indonesia bukan tanpa sebab. Ada proses yang rumit di balik penyebaran Islam hingga ke Nusantara. Beberapa teori muncul ke permukaan, mencoba memberikan argumentasi yang paling logis untuknya.

Pandangan yang paling populer menyebut, Islam datang ke Indonesia melalui perdagangan. Para pedaganglah—entah yang dari India atau pun Timur Tengah—yang bertanggung jawab atas tersebarnya Islam di Nusantara.

Meski demikian, dalam gelar wicara Bercerita ke-104 Beritabaru.co, penulis buku Nyarkub Menyulam Silam Lutfi Ghozali tidak sependapat dengan teori tersebut. Ia mengatakan, pada masa itu, pedagang menempati kasta bawah, sedangkan berdakwah adalah tugas bagi mereka yang berada di kasta atas.

Dengan ungkapan lain, untuk menyebarkan Islam bukanlah kapasitas para pedagang. Jadi, ketika orang menyebut, Islam disebarkan lewat perdagangan, ini perlu dipertanyakan.

“Ada yang tidak tepat ya. Pedagang pada masa itu tidak memiliki kapasitas untuk menyebarkan Islam karena mereka tergolong kasta bawah,” kata Gus Lutfi, sapaan akrabnya, pada Rabu (21/9).  

Gus Lutfi lebih sependapat dengan dua teori lainnya: politik dan pernikahan. Yang paling masuk akal, ungkapnya, adalah teori politik dan kemudian disusul teori pernikahan. Islam tiba di Indonesia karena faktor politik dan berkembang melalui pernikahan.

Apa bukti Islam benar-benar ada di Nusantara?

Eksistensi Islam di Nusantara, menurut Gus Lutfi, bisa dibuktikan melalui tiga (3) hal secara umum: peninggalan berupa kitab-kitab, ageman, dan bangunan.

Ageman merujuk pada dua (2) model, yakni busana dan pusaka. “Dari ujung barat sampai timur nusantara, ada beragam busana dan pusaka yang kita miliki,” ungkapnya.

Adapun bangunan bisa berupa yang profan seperti keraton dan bangsal, dan yang sakral meliputi masjid dan makam. Semua unsur masjid dan elemen-elemen yang ada dalam makam masuk dalam kategori bangunan sakral yang menandai bahwa Islam benar-benar ada pada satu waktu di masa lalu.

“Dari peta bukti penyebaran Islam itu, banyak kajian sudah dilakukan kecuali yang di bagian makam. Soal makam ini masih jarang yang menyentuh, khususnya dari santri. Jadi, sebab itulah saya tertarik mendalaminya,” jelas Gus Lutfi.

Membaca masa lalu Islam dari nisan

Dalam diskusi yang ditemani oleh Al Muiz Liddinillah ini, Gus Lutfi juga bercerita tentang jenis dan spesifikasi nisan.

Dari segi jenis, nisan bisa dibedakan menjadi dua (2): nisan demak dan troloyo. “Ini teori umum ya. Tapi yang menarik dari ini adalah bahwa pembagian ini tidak sesederhana bahwa ini nisan demak dan ini nisan troloyo,” katanya.

Adapun dari segi spesifikasi, ada empat (4) model yang bisa dicermati, yakni berdasarkan darah atau keturunan, berdasarkan keilmuan, hierarki politik, tanda kematian.

Pertama merujuk pada tanda biologis. Suatu nisan di suatu tempat terhubung dengan nisan di tempat lain karena ada hubungan darah. Biasanya ada simbol khusus yang mengaitkan keduanya.

Kedua lebih pada relasi guru-murid. Seorang murid bisa saja berkelana ke suatu tempat yang jauh dari gurunya, tapi ketika meninggal nisan yang akan digunakan adalah nisan yang gurunya pakai.

“Dari pakem nisan seperti ini kan kita akhirnya bisa melihat bagaimana Islam dulu disebarkan ya,” tutur Gus Lutfi.

“Contohnya, ada itu makam di daerah Nganjuk yang nisannya sama dengan nisan di wilayah Ampel Denta. Dari situ, kita bisa menarik kesimpulan bahwa keduanya terikat dan ikatan yang paling masuk akal adalah guru-murid,” imbuhnya.

Ketiga menunjuk nisan yang dibedakan karena jabatan politik. Biasanya, urutannya begini: pembesar, keluarga utama, dan hierarki pejabat.

“Dari Nisan juga, kita bisa membaca hierarki politik,” kata Gus Lutfi dalam podcast bertema Menyulam Sejarah Islam dari Nisan Kuburan ini.

Terakhir condong pada apa pun yang tidak ada di tiga poin sebelumnya. Spesifikasi nisan yang ini sekadar sebagai tanda kematian.

Karena itu, bahan yang digunakan adalah kayu atau yang gampang rusak. Ini berbeda dari nisan-nisan sebelumnya yang bahannya dari batu, entah batu kaput maupun andesit.

“Soal batu apa yang digunakan, itu tergantung pada sumber daya alam yang ada. Di Ampel Denta, batu yang dipakai adalah kapur dan andesit, sedangkan di Giri Kedaton batu karang,” jelasnya.