Melihat Dari Bawah: Tidak Maksimalnya Penerapan PPKM Darurat
Opini: Bakhru Tohir
(Pegiat di GUSDURian dan Gubuk Tulis)
Yang bisa saya lakukan memang hanya melihat dari bawah. Perlu banyak data dan effort yang besar kalau harus melihat secara luas dan holistik tentang plus minus penerapan PPKM Darurat yang sudah akan berakhir ini.
Kalau kita melihat data peningkatan kasus positif dan kematian harian, rasa-rasanya tidak ada yang bisa diharapkan dari penerapan PPKM darurat. Padahal secara teori kalau orang sudah dibatasi interaksinya selama 2 minggu pasti angka penularan berkurang, tapi trend harian berkata sebaliknya.
Saya juga sempat berpikir begini “kalau teori bahwa yang positif hari ini adalah orang yang terpapar seminggu yang lalu, lalu kenapa hari ini kasus positifnya masih sangat banyak padahal seminggu yang lalu sudah diterapkan PPKM?”. Bukankah pertanyaan saya ini masuk akal. Memang apa yang terjadi saat PPKM minggu lalu. Hmm pasti ada yang tidak beres. Jadi kesimpulan jamak orang yang mengatakan bahwa PPKM ini tidak maksimal memang bukan omong kosong.
Meskipun nantinya tetap akan ada orang yang berargumen bahwa data yang kita lihat hari ini bukanlah hasil sebenarnya hari ini, itu hasil pengumpulan data beberapa hari lalu yang baru terpublish. Saya tahu resiko itu, namun saya coba membatasi untuk tidak membahas itu karena sekali lagi saya hanya ingin melihat ini dari bawah, yang sederhana-sederhana saja. Untuk mengklarifikasi data penambahan kasus harian benar real atau delay publish, hal ini perlu data yang sangat banyak dan tentu saya akan kelelahan kalau mengerjakan sendiri.
Tidak Ilmiah
Hal yang pertama kali saya lihat dari penerapan PPKM adalah penutupan jalan. Ini di daerah tempat saya tinggal, Bojonegoro, entah kota lain.
Breakdown atas aturan yang dirilis pemerintah pusat oleh pemerintah daerah adalah penutupan jalan dari pukul 5 sore sampai tengah malam. Aturan ini sudah banyak yang mengkritik, bahkan oleh mereka yang tidak akrab dengan sains pun sanggup mengkritik, umumnya mereka bilang begini “la emang covid hanya lewat selepas jam 5?”.
Selain penutupan jalan, saya melihat ada beberapa warung yang diportal dengan diberi garis polisi. Ada juga tukang parkir yang saya temui memberikan keterangan kalau tempat makan yang ia jaga sudah diobrak aparat 2 kali dan itu membuat tempat itu memangkas waktu operasional.
Selain hal-hal yang barusan saya sebutkan, tidak terlalu signifikan terlihat bagaimana penerapan aturan selama PPKM ini, karena semua masih berjalan dengan normal, wajar dan seperti hari-hari biasa.
Sehingga, akhirnya saya bisa mengatakan apa yang terlihat dan rasakan tentang penerapan aturan selama PPKM ini memang kurang ilmiah. Apalagi upaya-upaya ini dilakukan untuk melawan virus, sesuatu yang melihatnya saja perlu pendekatan empiris saintifik.
Saya memang bingung, kenapa penerapan PPKM hanya seperti ini. Apakah hanya mengejar “yang penting jalanan terlihat sepi?”
Buat saya penutupan jalan tidak perlu diberlakukan, karena penutupan satu jalan, masih ada jalan lain yang bisa dilewati oleh orang yang memang niat jalan-jalan. Saya pernah membuktikan sendiri hal ini. Sekitar pukul 7 malam, saya memesan makanan via ojek online, tentu jalanan protokol sudah ditutup jam segitu, dan apa hasilnya?, tukang ojek sukses menjalankan misi membeli makanan dan bisa mengantarkan sampai di rumah, gak ada sama sekali keluh kesah jalanan susah karena ditutup semua. Kalau ini kita terapkan pada orang yang emang ingin keluar rumah, buat mereka ya tinggal keluar saja. Saya juga masih biasa melihat beberapa kawan bisa nongkrong ceria saat PPMK ini via instastory mereka.
Aturan hanya menutup jalan memang tidak ilmiah karena sangat bertentangan dengan cara virus corona bekerja.
Sudah kepalang banyak uraian dari virolog tentang bagaimana virus ini bekerja. Jalan paling mudah untuk melawan virus dan tentu kita semua sudah hafal adalah dengan penerapan 3M. Harusnya yang dilakukan pemerintah adalah membuat masyarakat yakin bahwa kita harus benar-benar menerapkan 3M, membuat masyarakat sadar bahwa 3M itu penting dan perlu. penyekatan jalan adalah cara melawan virus dengan cara yang menyebalkan dan sia-sia. Kalau saja virus bisa tertawa, mungkin mereka sedang terbahak-bahak melihat tingkah kita.
Melawan Virus
Menurut saya, bukanlah penyekatan yang harus dilakukan, tetapi menertibkan siapa saja yang melanggar 3M. Selain itu memperkuat tracing dan isolasi.
Ada beberapa hal yang saya kira bisa diterapkan untuk memutus rantai penyebaran korona. Pertama, kita bisa memanfaatkan alam pikir masyarakat yang masih punya segan pada birokrat dan aparat. Yang perlu dilakukan hanya cukup dengan mengirim aparat untuk berjaga di pusat keramaian semisal pasar, supermarket dan ujung-ujung jalan. Tidak perlu terlalu susah memasang portal di jalan-jalan protokol.
Saya kira apabila ada aparat yang berjaga di sebuah pasar, pengunjung juga agak segan dan menerapkan protokol dengan ketat. Minimal, kerumunan akan sangat berkurang, tidak ada yang memakai masker untuk menutup leher dan memastikan semua pengunjung cuci tangan atau memakai hand sanitizer saat masuk dan keluar dari pasar.
Yang perlu dilakukan aparat cukup patroli dan memastikan bahwa warung atau tempat makan hanya melayani pesanan yang dibungkus. Tidak perlu memaksa warung untuk tutup jam 6, 7 atau 10. Apalagi sampai merazia, merampas, nyemprat-nyemprot, hah ra mashok blas. Karena buat apa nutup warung sampai jam 6 kalau siang-siang ada yang nongkrong di tempat itu.
Saya pernah mendengar keluhan kawan di laman facebook, ia ngomel karena tidak ada ojek online yang bersedia membelikan makan pukul 8 malam karena semua warung sudah tertutup. Untuk orang yang ngekos seperti kawan saya itu, kelaparan malam hari emang semakin menyebalkan kalau semua warung di malam hari sudah tutup.
Kedua adalah berkolaborasi dengan paramedis setempat untuk sering-sering melakukan swab dadakan, terutama untuk warung atau tempat makan yang nakal masih melayani makan di tempat. Toh harga alat swab juga murah.
Mungkin sebagian pedagang kopi akan menentang apa yang saya katakan barusan, karena kita tau semua bahwa tradisi ngopi di Indonesia adalah disambi dengan nongkrong, seperti ada yang kurang kalau kopi hanya dibungkus tetapi tidak ngobrol dan bercengkrama dengan teman. Tapi kita seharusnya bisa bijak untuk memilih mana yang penting dan genting.
Mungkin untuk sebagian orang, ngopi dan ngobrol itu penting, tapi itu tidak genting. Sementara yang jelas penting dan genting adalah kesehatan kita bersama.
Ketiga adalah tanggung jawab pemerintah. Bahwa kita tahu betul ada warga yang sangat terdampak dari penerapan PPKM, bukan hanya pemilik warkop yang sudah saya sebutkan di paragraf sebelumnya, tetapi seperti porter stasiun, pasti mereka menjadi sangat lesu. Bantuan pada mereka yang sangat terdampak harus benar-benar dipastikan sampai.
Dan yang tak kalah penting adalah konsep kerja yang koordinatif, bukan yang antar lini seperti kerja sendiri-sendiri. Perlu dikurangi kebiasaan kementrian ini bilang jangan bepergian keluar kota, tapi kementerian yang lain bilang berliburlah. Itu membingungkan.
Akhirnya, di posisi seperti ini kita harus melawan virus dengan cara yang lebih ilmiah. Kita perlu mendengar lebih banyak uraian orang yang memang punya keilmuan tentang virus ini. Dan bagusnya banyak Kyai yang mengajarkan untuk menjalankan himbauan ahli virus. Semoga pemangku kebijakan kita mengikuti…