Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Kontekstualisasi Islam Pembebasan di Indonesia | Moh. Sobirin Al-Haq
sumber gambar: wallpaperfire

Kontekstualisasi Islam Pembebasan di Indonesia | Moh. Sobirin Al-Haq



Moh. Sobirin Al-Haq


Islam merupakan agama mayoritas di Indonesia. Bagaimana peran umat beragama, khususnya orang islam dalam menghayati nilai agamanya serta implementasinya dalam konteks sosial? Di mana berbagai persoalan sosial, ekonomi, dan politik yang menyeruak di negeri ini. 

Islam pembebasan, memahami islam pembebasan perlu merujuk pada sejarah kenabian Muhammad Saw. terlebih dahulu sebelum pada konsepsi dari pemikir islam kontemporer. Muhammad adalah nabi yang ditunjuk untuk mengajak umatnya menyebarkan agama yang ramah dan agama yang membebaskan – selain misi Muhammad untuk menyempurnakan akhlak umat manusia, khususnya orang-orang yang beriman.

Prinsip islam sebagai agama pembebasan ini termaktub dalam Al- Qur’an, sebagaimana islam yang memiliki prinsip al-adalah, al-hurriyah, atau al-tasamuh. Al-adalah ialah prinsik keadilan yang dijunjung tinggi oleh Nabi dan diperjuangkan Nabi sejak dahulu. Prinsip keadilan islam ialah prinsip yang memberikan hak secara proporsional dan profesional kepada setiap warga, apapun agamanya. Sedangkan, konsep al-hurriyah adalah konsep pembebasan, konsep ini juga bisa dilihat secara economics, di mana prinsip islam dalam bidang ekonomi hendaknya memberikan kebebasan dan membebaskan kepada setiap orang, sehingga kaum yang lemah mendapat hak secara adil dari kaum mustakbirin.

Sedangkan, al-tasamuh ialah prinsip moderat. Moderat dalam berbagai hal dan kepentingan. Moderat adalah sikap yang tidak memihak dan lebih memberikan kebebasan ekspresi kepada siapapun. Misal yang akhir ini menjadi perbincangan di Indonesia ialah konsep moderasi beragama. Moderasi beragama memberikan ruang dan peluang yang sama kepada setiap pemeluk agama untuk mengelola peribadatannya dengan aman dan nyaman.

Meskipun, faktanya, kerap kali masih ada ketidak-moderataan dari berbagai kalangan karena ketidakdewasaan dalam memahami nilai agama dan kemanusiaan. Hal itu lah yang mengakibatkan beberapa orang dan kalangan masih merasa benar sendiri hingga melakukan pelarangan pendirian rumah ibadah umat lain.

Selain itu, dalam semangat pembebasan dalam meyakini dan menjalani keyakinannya masing-masing, sebelum Ramadan juga disajikan seteru kebijakan Menteri Agama atas pelarangan/ pengelolaan pengeras suara masjid atau surau. Kebijakan itu lantas ramai dan disambung-sambungkan dengan konteks di luar kebijakan yang menggelikan. Dari sana, sebenarnya masih ada soal dalam kemerdekaan beragama kita di Indonesia.

Kembali mengulik islam sebagai agama pembebasan. Ada surat yang cukup mempresentasikan semangat islam sebagai agama pembebasan yakni surat Al-Ma’un. Pada surat itu dijelaskan dengan lugas tentang prinsip pembebasan dalam islam. Di mana, prinsip pembebasan islam sangat tegas menyebutkan bahwa orang-orang yang menghardik anak yatim dan tidak memberi makan orang fakir miskin ialah mereka yang mendustakan agama. 

Memotret yang ada di Indonesia, sudahkah islam yang mayoritas ini mampu memayungi kepentingan orang banyak atau bahkan orang-orang yang tertindas? Dari sinilah pemikir Islam mengbangun ulang pemikiran Islam ke dalam konsep pembebasan yang khas. Seperti halnya Asghar Ali Enginer dari India merumuskan Islam sebagai teologi pembebasan, selanjutnya Hasan Hanafi dari Mesir juga dikenal dengan konsep kiri islamnya, Ziaul Haq dari Pakistan dengan konsep wahyu dan revolusi dalam islam, begitu pula dengan Ali Syari’ati sang revolusiner Iran.

Jika di Indonesia, kita juga menemukan pemikir-pemikir handal seperti Abdurrahman Wahid, Nurcholis Madjid, Dawam Rahardjo, Jalaluddin Rahmat, Daniel Dakhidae, bahkan Bung Karno sendiri. Bung Karno dengan buku Islam Sontoloyo mampu menggelitik orang-orang dengan pemahaman religi yang masih mendasar. Sontoloyo dari Bung Karno adalah kritikan kepada orang yang beragama dan mengabaikan nasib orang banyak atau dalam hal ke-Indonesiaan mengabaikan kepentingan revolusi itu sendiri.

Banyak sekali gagasan dan peninggalan islam sebagai agama pembebasan. Sudah sepatutnya negeri tercinta Indonesia ini mampu menangani krisis-krisis yang ada baik sosial, ekonomi, dan politik. Asghar melihat Islam sebagai agama yang mengandung semangat pembebasan. Oleh karena itu, Asghar mencoba untuk merevitalisasi nilai-nilai pembebasan Islam dan merumuskan Islam sebagai Teologi Pembebasan yang didasarkan pada dua hal. 

Pertama, analisis historis pembebasan yang pernah dilakukan Nabi Muhamad Saw. yang lahir untuk melakukan proses pembebasan manusia dari penindasan dan ketidakadilan. Struktur masyarakat Arab di mana Nabi Muhamad lahir waktu itu mencerminkan ketimpangan sosial. Ajaran Nabi Muhamad, ditolak semata-mata bukan karena ajarannya untuk menyembah Allah, tapi karena implikasi sosialnya yang akan secara radikal mengubah tatanan yang tidak adil itu. Selain itu, dalam sejarah, Nabi juga telah melakukan upaya-upaya radikal untuk memberi posisi yang layak pada perempuan, setelah sebelumnya posisi perempuan dalam budaya waktu itu berada pada tempat yang sangat rendah. 

Kedua, dari banyaknya ayat-ayat Al-Qur’an yang secara eksplisit mendorong proses pembebasan seperti ayat tentang pemerdekaan budak, kesetaraan umat manusia, kesetaraan jender, kecaman atas eksploitasi dan ketidakadilan ekonomi, dan lain sebagainya. Sebagian ayat perlu ditafsir ulang karena penafsiran yang ada saat ini terhadap sebagian ayat itu, menurut Asghar tidak sesuai lagi dengan semangat pembebasan awal, semisal ayat-ayat tentang keadilan jender. 

Begitu pula paradigma yang disodorkan oleh beberapa pemikir Islam kontemporer. Dawam Rahardjo dalam bisang ekonomi juga merumuskan ekonomi islam, sebagaimana juga termaktub dalam buku tebalnya Arsitektur Ekonomi Islam. Pengelolaan ekonomi islam harus berpatok pada maqosid al-syariah – atas kemaslahatan bersama. Sehingga ketimpangan ekonomi dan eksploitasi terhindarkan dan muncullah kesejahteraan.

Ramadan menjadi bulan yang istimewa untuk kita semua merefleksikan bahwa Islam di Indonesia memiliki spirit pembebasan kepada semua orang terkhusus kaum yang lemah. Praktik-praktik pembebasan dalam Islam penting untuk direalisasikan baik dalam kebijakan atau laku baik. Sesederhananya, agar semua orang merasakan nikmatnya memakan nasi yang sama dari jerih payah yang halal dan baik – serta bisa hidup sejahtera tanpa penindasan. []


Penulis adalah alumnus UIN Bandung, prodi Aqidah dan Filsafat, dan pegiat pemikiran islam transformatif