Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Mahfud Sebut Amandemen Konstitusi Kewenangan MPR

Mahfud Sebut Amandemen Konstitusi Kewenangan MPR



Berita Baru, Jakarta – Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan bahwa amandemen UUD adalah kewenangan MPR. Menurutnya, sampai saat ini pemerintah belum bersikap karena tidak punya kewenangan.

“Resminya pemerintah tidak bisa mengatakan setuju perubahan atau tidak setuju perubahan. Pemerintah dalam hal ini hanya akan menyediakan lapangan politiknya,” kata Mahfud MD saat menjadi keynote speech di acara Diskusi Konstitusi yang diselenggarakan oleh Integrity Lawfirm, Kamis (26/8)

Dalam diskusi yang bertajuk ‘Urgensi Amandemen Konstitusi di tengah Pandemi: Untuk Kepentingan Siapa?’ Mahfud menyarankan untuk disampaikan ke MPR/DPR.

“Kita jaga, kita amankan. Itu tugas pemerintah. Adapun substansi mau mengubah atau tidak itu adalah keputusan politik, lembaga politik yang berwenang,” ungkapnya.

Mantan Ketua MK itu memaparkan, perubahan konstitusi merupakan wewenang dari MPR yang mewakili seluruh rakyat, yang kaki-kaki kelembagaannya ada di DPR, Partai politik, DPD, dan lain-lain.

Sehingga, lanjutnya, berbagai kekuatan atau aspirasi di dalam masyarakat tentunya disalurkan disalurkan ke dalam kaki-kaki kelembagaan yang disediakan oleh konstitusi itu.

Menurut Mahfud, pemerintah tidak ikut campur, pemerintah tidak menyatakan setuju atau tidak setuju, karena sebenarnya perubahan itu tidak perlu persetujuan pemerintah.

Namun Guru Besar Hukum Tata Negara ini menggaris bawahi, karena konstitusi itu adalah produk resultante politik, maka di dalam sepanjang sejarah Indonesia tidak ada, hampir tidak ada, sebuah produk konstitusi itu yang selalu dianggap bagus. Begitu dilahirkan langsung dikiritik bahwa ini salah.

Menurut Mahfud, konstitusi itu resultante, produk kesepakatan berdasar situasi sosial politik ekonomi dan budaya pada saat di buat.

“Mungkin sekarang sudah ada perubahan sosial politik ekonomi dan budaya sehingga perlu berdiskusi lagi untuk mempersoalkan. Saya kira itu bukan wewenang pemerintah. Tetapi akademisi boleh membahas itu, baik dan buruknya, tidak dilarang,” ujar Mahfud.

Beberapa pembicara pada diskusi tersebit diantaranya, Wakil Ketua MPR, Arsul Sani, Guru Besar Hukum Tata Negara dan Senior Partner Integrity Law Firm, Denny Indrayana, Ketua PSIK Indonesia, Yudi Latief dan Akademisi STHI Jentera, Bivitri Susanti.