Lubang Hitam Ketiadaan | Cerpen F. Ilham Satrio
Aku Berada di peron bersama calon penumpang lain yang berdiri dan duduk, dan sesekali melihat arloji atau jam di ponsel. Sepertinya kami memang benar-benar pasrah untuk dilingsirkan sang waktu. Aku tak menampik harapanku bahwa kau akhirnya turut serta. Bersama barisan urban lainnya tanpa merasa gasal dengan judul undangan ‘Mati Bersama Untuk Hidup Yang Lebih Baik’ yang kuselipkan di bawah pintu indekosmu dua hari yang lalu.
Hanya saja, sepertinya aku salah duga. Kau tak datang dengan pakaian terbaikmu. Langkah kakimu yang selalu berayun cepat itu membuat cardigan birumu dihalau angin, begitu juga dengan rambut ikalmu. Kau datang menjinjing tote bag hitam kesayangan, yang sudah satu paket dengan pakaianmu sehari-hari. Aku membayangkan kau memakai gaun berbalut satin berwarna ungu, dengan rambut ikal sebahumu yang tergerai. Namun, kedatanganmu sudah cukup membatalkan fantasiku tentang betapa seribu kali lembut kulitmu tak akan berkurang ketika bertemu satin.
Beberapa langkah dari tempatku berdiri, kau rentangkan kedua lenganmu. Wangi tubuh dan parfum yang telah menjadi bagian imanen dalam diriku, senyum yang telah kulihat jauh sebelum aku lahir ke dunia, dan bola mata yang tak pernah menua itu, kini berada dalam dekapanku. Barangkali untuk yang terakhir kalinya.
“Aku ingin mati dengan cara seperti ini,” erat kedua lenganmu mengapit tubuhku, semakin dalam wangi tengkuk lehermu mencari-cari jalan buat berdiam di celah-celah otakku. “Tak ada salahnya mati sambil berpelukan, kan?” bibirmu menempel di bahuku, pelukanmu mengendur.
“Aku kira kita akan mati dengan cara yang aneh, seperti mati ketika menelan bakso urat atau saat buang hajat,” kubalas sembari mengecup keningmu.
“Itu sih mati sial atau gara-gara kena kutuk.”
“Tahun 2345, 78 persen penduduk New York mati dengan cara yang tak lazim. Kebanyakan dari mereka mati saat tengah membuang ingus. Kita hanya berjarak tiga tahun saja sejak survey itu dibuat.”
“Itu artinya mereka benar-bernar terkutuk.”
“Dan nyawa mereka terletak di lubang hidung.”
Tawamu mengundang beberapa pasang mata. Aku tak pernah melarang. Biarlah, memang jutaan mata itu mesti terkaruniai oleh kehadiranmu. Termasuk untuk yang terakhir kalinya, di peron ini, sebelum nyawa kita sama-sama hinggap di Lubang Hitam Ketiadaan.
Kau duduk di bangku yang sudah kusiapkan. Sengaja kutinggalkan tas dan jaket katunku di sana. Lalu aku tetap menggenggam jemarimu. Kau tetap menggenggam jemariku. Kupikir, memang tak ada cara mati yang lebih romantik lagi dari ditemukannya pasangan di dasar jurang dengan tangan mereka yang masih bergandengan, meski kedua tubuhnya sama-sama hancur. Tapi itu cerita yang sungguh lampau. Dan hanya akan menjadi dongeng tentang cinta sehidup-semati untuk bocah-bocah kasmaran.
Ibu pernah mendongengiku kisah itu. Kisah tentang seorang lelaki yang mencintai kekasihnya hingga ia rela melakukan apa saja demi sang kekasih, berikut restu kedua orangtuanya agar mereka dapat hidup bersama-sama sampai tua. Itulah kisah tentang buyutku, nenek dari ibu, yang entah bagaimana di umurku saat itu, lima tahun lebih dua bulan, aku tak tergerak untuk menanyakan asal keberadaanku. Barangkali aku terpukau oleh kisahnya, dan betapa seringnya ibu memakai kata cinta, bahkan setelah ia tak lagi bersama ayah.
Buah memang tak bakalan jatuh terlalu jauh dari pohonnya. Sehari sebelum ia yakin dengan pilihannya, ayah berpesan padaku, “Apalah hidup ini, nak? Selain hal paling sial yang bisa kita terima dari sebuah pengulangan abadi? Esok aku ingin merubah hidupku. Siapa tahu aku bisa menjadi ayah yang lebih baik, untuk seorang anak sepertimu kelak.” Dan ia pun ditelan kelokan menuju tangga ke lantai dasar apartemen. Ibu tak menangis melihatnya pergi. Dari situlah aku tahu bahwa ada cara yang lebih baik ketimbang menunggu kematian dengan cara –sebut saja keseharian macam apa pun yang sedang kau jalani dan membuatmu ingin segera disambar petir —Anubis datang menjemputmu.
Aku tahu kau tak pernah percaya sepenuhnya alasanku semata ‘meneruskan tradisi keluarga’ semacam ini dan kau lebih setuju ‘memperbaiki dunia dan memulainya dari nol’. Ayah dan ibu adalah kesalahan penghitungan. Mestinya, ibu kembali dari masa depan dengan rentang jarak sepuluh puluh tahun kalender lunar dari ayah. Ibu tahu bahwa formulanya salah, dan ia tak bisa menahan diri untuk tidak jatuh cinta pada ayah. Mereka menikah dan ayah baru diberi tahu oleh ibu setelah aku berumur lima tahun, bahwa ibu, di masa lalu, adalah bibi ayah.
Namun, entah kenapa aku merasa tak perlu bersikeras tentang alasanku yang sebenarnya. Sebab, kau tahu, aku sendiri tak yakin betul kebenaran dengan model apa pun itu, bisa dipertanggungjawabkan secara layak. Satu hal yang membuatku yakin hingga detik ini, adalah aku benar-benar sedang menggenggam jemarimu. Kau merasakannya, sekali lagi kukatakan, kau merasakannya, dan kau tak pernah melepaskan genggaman tanganku. Kau menggenggam tanganku lebih erat.
Ghalibnya sebuah tiket akan membawamu ke suatu tempat. Kedua tiket di tanganku tak akan membawaku dan kau ke mana pun, atau ke ‘sesuatu’ yang bisa disebut sebagai tempat. Kau tahu bahwa tempat selalu mensyaratkan ruang, dan ruang mensyaratkan waktu. Kita akan menuju ke ketiadaan. Mungkin aku akan bertemu dengan ayahku sesampainya ‘di sana’. Kau juga bisa bertemu dengan ibu dan adikmu.
Lambat-laun, getas mesin kereta merayap dibawa angin. Kau menyandarkan tubuhmu, “Bersiaplah. Kereta beberapa menit lagi mungkin tiba dan kita akan meninggalkan peron ini, dunia ini, untuk selamanya,” kataku. Kau hanya menggeliat, lalu melingkarkan lenganmu di pinggangku.
“Kau tahu, kini aku sungguh merasa abadi,” balasmu. Matamu berkaca-kaca, kurebahkan wajahmu di dadaku, membuat bajuku terasa basah.
“Kita hanya akan menjadi tiada untuk sementara. Kita akan memulai lagi dari nol, kau tahu itu, kan?” kataku, kupijit-pijit punggung jemarimu. Aku tak mengira kau menitikkan air mata untuk sesuatu yang kita sepakati jauh hari sebelum kita bertemu sebagai sepasang kekasih.
“Aku tidak sedang bersedih. Berjuta-juta orang di masa lampau mencari cara untuk pulang menuju Sang Tiada dengan susah payah. Terkadang agama membawamu padaNya, terkadang kau disesatkan sebelum menapaki jalan pulang. Dan sekarang, berjuta tahun setelahnya, kita disediakan jalan kembali menuju Sang Muasal tanpa perlu menjadi nabi atau padri saleh terlebih dulu dan menderita karenanya. Bukankah ini suatu anugerah?”
***
Di papan pengumuman, sebuah layar plasma yang ketipisannya menyamai sehelai rambut milik wanita yang rajin menginap di salon kecantikan, memberitahu hidung lokomotif kereta yang akan kami naiki telah menyentuh bibir stasiun. Butuh lima belas detik bagi badan gerbong tiba dan butuh dua detik pintu utamanya terbuka supaya kami bisa masuk ke dalam gerbong.
Aku di sisimu, bersama dua puluh orang lainnya, seolah terhisap ke dalam gerbong. Kau tetap menggenggam jemariku sampai tiba pada bangku pilihanmu yang kau tunjuk begitu saja dengan ujung telunjukmu yang lancip. Bangkumu melayang tiga puluh sentimeter dari atas lantai, “Aku ingin meluruskan kakiku,” kau menyetel tuas indikator tekanan gravitasi lebih rendah pada tepi bangku dan membuat bangku itu melayang mendekati lantai, “tak enak rasanya mati dalam keadaan pegal.”
Di dalam kereta, karena tak ada yang bisa dilihat di jendela dari dalam sebuah wahana yang berlari hampir menyamai kecepatan cahaya, aku membuka tasku dan mengeluarkan undangan yang belum sempat kubagikan. Dua undangan kubuat berbeda dari yang lain. Satu undangan untuk ibuku dan satu undangan untuk ayahmu. Dua sisanya untuk musuhku. Kupikir bertemu musuhku kelak akan menyadarkan isi kepala mereka. Akan tetapi kau melarangku, “Di mana letak asyiknya kematian jika orang yang kau benci toh akan bertemu lagi denganmu?” kukira ada benarnya. Lebih baik mereka tinggal di bumi, di neraka yang mereka buat sendiri sementara surga belum rampung mereka idam-idamkan.
Tak lama kemudian, seorang kondek—maksudku, sebuah robot yang menggantikan peran seorang kondektur, berjalan menghampirimu. Suara seperti rengekan bayi terdengar dari roda-roda di kakinya, robot kasihan ini tampaknya kekurangan pelumas. Jika saja ia manusia, mungkin ia akan melaksanakan mogok massal, persis seperti apa yang dilakukan orang-orang pemberani ratusan tahun yang lalu.
Kau mengambil secarik tiket dari saku celanamu dan memasukkannya ke celah mirip bibir pada wajah robot itu. Aku melakukan hal serupa setelahnya, dengan menambahkan empat lembar undangan yang tak jadi kuberikan. Robot ini tak akan mengeluh jika aku memasukkan celana dalamku ke mulutnya sekalipun. Mungkin, inilah kelebihan robot yang membuat kepala perusahaan kereta merekrutnya sebagai pegawai. Kau pernah bertanya ke mana para kondektur itu setelahnya. “Mereka diberi rumah sebagai gantinya oleh perusahaan,” kataku. Air mukamu tampak bingung, “Rumah,” kubuat lambang tanda kutip dengan kedua jemari, “artinya dipensiunkan, dikembalikan lagi ke rumahnya masing-masing.”
***
Tak terasa kau dan aku sampai di jurusan itu: Lubang Hitam Ketiadaan. Dan sesungguhnya, ia bukan tempat sama sekali. Bukan pula satu tujuan. Ia hanya alasan, namun tak kurang lengkap sebagai alasan. Seperti dahulu, orang-orang menganggap semesta raya ini hadir sebagai bukti keberadaan Alasan itu. Sedikit-banyak hal tersebut memang tak berubah berjuta tahun setelahnya. Aku hanya bisa berumpama, dengan menamakannya sebagai ketiadaan yang melahirkan keadaanku dan keadaanmu, keadaan hidup dan semesta raya ini.
Tampaknya aku harus berhenti menulis surat ini sebelum semuanya berubah menjadi kotbah.
Kau pun menutup ujung pulpenmu dan melipat suratmu. Sengaja aku tak melipat suratku. Aku ingin ia tampak simetris dan rapi dan aku tak mahir membuatnya sedemikian rupa hanya dalam beberapa detik. Aku tahu kau akan menemukan surat ini. Kau memilih kembali ke masa lalu dari Ketiadaan yang hendak kau tuju. Aku pun demikian. Mungkin, aku akan membaca suratmu di sebuah surat kabar yang, kata orang-orang, bukan berbentuk seperti tablet yang disambungkan ke sebuah slot di belakang lehermu, melainkan sebuah kertas lebar yang perlu digenggam dengan kedua tangan untuk membacanya. Atau, entahlah. Apakah kau pernah berpikir untuk bertemu lagi denganku, di kehidupan yang amat lampau kelak?
Cahaya terang menyilaukan berpendar dari jendela. Ia berpendar dan terus berpendar hingga menelan semesta yang berada dalam jangkauannya. Cahaya maha cahaya, suara angin nan menggelegar, yang melahap waktu, ruang, dan kita.
F. Ilham Satrio lahir di Cimahi, 1989. Kadang-kadang menulis blognya: sanstempsmort.wordpress.com