Lockdown dan Nestapa Kaki Lima
Lockdown dan Nestapa Kaki Lima
Oleh: Farkhan Evendi, MAP.
Sejak pertama kali teridentifikasi di Wuhan (Tiongkok), virus corona (Covid-19) mengalamami penyebaran yang sangat cepat hingga lebih dari 121 negara di dunia. Virus ini telah menjadi pandemi global, banyak negara menghadapinya dengan memberlakukan berbagai kebijakan. Jika melihat atau membaca pemberitaan mengenai virus corona akhir-akhir ini, ada satu kata yang sering terdengar, kata tersebut adalah lockdown, dan sudah diterapkan dibeberapa negara sejak mewabahnya virus corona hingga saat ini.
Virus corona yang menyebar dengan cepat membuat pemerintah berbagai negara harus mengeluarkan keputusan lockdown. Negara yang pertama kali menerapkan kebijakan lockdown adalah Tiongok, tepatnya di kota Wuhan dimana wilayah tersebut merupakan titik awal virus corona ini ditemukan. Lalu disusul Itali, Filipina, Prancis, Turki, Saudi Arabia, Malaysia dan kini Indoensia, yang juga mulai ramai mewacanakan kebijakan lockdown.
Namun, fundamental ekonomi Indonsia yang dinilai belum sekuat Malaysia maupun Filipina, patut dipertimbangkan jika kebijakan lockdown diterapkan. Semisal ketika beberapa hari belakangan ini terjadi panic buying dibeberapa daerah, pemerintah tidak punya pencegahan apapun. Jika lockdown benar diterapkan, maka daerah yang pertama kali terkena kebijakan ini adalah DKI jakarta, sebab Jakarta merupakan episentrum wabah corona di Indonesia. Namun hal tersebut kemudian melahirkan dilemma, sebab mayoritas aktivitas bisnis sebagian besar teradi di Jakarta, sentra bisnis bisa terganggu dan usaha mikro kecil dan menengan (UMKM) bisa terkena dampak paling parah.
Pendemi corona disadari ataupun tidak akan membawa konsekuensi kerusakan ekonomi yang tak terbayangkan, terutama pada masyarakat kelas menengah kebawah yang kebanyakan usahanya mengandalkan pendapatan harian entah sebagai penjualan makanan maupun minuman dipingir jalan.
Lockdown adalah upaya penyelamatan manusia diatas ekonomi
Jika pemerintah pusat dan pemerintah daerah bersepakat menerapkan lockdown harus dihitung cermat biaya yang diperlukan untuk misalnya keperluan 2 minggu selama masa lockdown tersebut.
Disisi lain, jika lockdown tidak dilakukan dan langkah penanganan dengan cara memberikan himbauan melakukan social distance seperti pola saat ini, tentu juga beresiko karena tidak segera terjadi perubahan prilaku yang diinginkan dari social distance tersebut.
Kita berpacu dengan waktu, dikhawatirkan sebagai pendemi terlambat dalam mencegah penyebarannya, akibatnya Indonesia bisa saja mendapat juara angka kematian tertinggi karena virus corona tersebut. Dan akan mendapat kritik dunia sebagai negara yang mengabaikan kemanusiaan. Karena tidak menempatkan jiwa manusia diatas segalanya.
Fenomena lockdown ini menyebabkan kota-kota besar di berbagai negara mati. Itu semua dikarenakan masyarakat dilarang pergi keluar rumah, banyak ruang publik ditutup, roda perekonomian tidak berputar sebagaimana biasanya, tentu saja situasi semacam ini berdampak pada perekonomian sosial.
Pemerintah harus hati-hati apabila mau mengambil langkah lockdown. Pasalnya, masyarakat miskin akan menjadi pihak yang paling terdampak dengan kebijakan ini, Pendapatan kalangan menengah bawah pastinya akan terdampak bahkan jauh lebih besar tekanannya dibandingkan kelas atas jika lockdown dilakukan. Para pedagang kaki lima, dan buruh harian lepas (BHL) di perusahaan sektor jasa dan perdagangan juga akan mengalami penurunan pendapatan.
Pedagang menggantungkan pendapatan dari hasil jualan mereka sehari-hari. Pedagang di pasar, tukang sayur, pedagang kaki lima, bahkan pedagang dengan toko yang lebih besar pun akan terkena imbas lockdown.
Kalaupun mereka boleh keluar rumah untuk berjualan, mereka tetap tak akan bertemu pembeli. Lalu apa artinya penjual ketika tak ada pembeli?
Begitu pula tukang ojek baik online maupun pangkalan, akan kehilangan pelanggan mereka. Tidak ada orang yang akan meminta untuk diantar ke suatu tempat karena ada larangan bepergian. Jika tak ada orang, maka tak ada pula uang yang masuk ke kantong mereka.
Seperti di lansir di sebuah media, berkaca pada Work From Home (WFH) yang sudah diterapkan saja, sopir ojek online, Ratijo (62), mengaku pendapatannya anjlok. Sebelum ada imbuan WFH, penghasilan pria paruh baya dari orderan penumpang bisa mencapai Rp.200 ribu per hari. Namun sejak diterapkannya WFH, kakek Ratijo mengaku penghasilannya menjadi tersendat.
Begitu pula yang dirasakan nasib sopir angkutan hampir mirip dengan nasib para tukang ojek. Mereka akan kehilangan penumpang. Kondisi ini berlaku untuk sopir taxi, bus, mikrolet, atau pun angkot. Jangankan untuk memberi setoran kepada pemilik armada, mendapat penumpang pun akan kesulitan karena orang-orang dilarang keluar rumah.
Irwansyah (31) salah satu sopir taksi konvensional di Jakarta mengaku cukup prihatin atas situasi di Jakarta akibat wabah virus corona saat ini. Ia ikut resah dibuatnya, bukan hanya khawatir tertular virus yang sudah membunuh ribuan jiwa itu, penghasilannya dari bekerja sebagai sopir juga sangat terdampak.
Bila terjadi Lockdown
Bila sampai terjadi lackdown, tentu saja ini harus dilakukan dengan ketegasan pemerintah melalui kebijakan yang juga mendukung ekonomi rakyat.
Saat Indonesia mengalami krisis moneter 1998, UMKM menjadi penyangga ekonomi nasional dengan menyerap tenaga kerja sehingga mampu menggerakkan perekonomian. Sementara 2008 di masa krisis keuangan global, UMKM tetap kuat menopang perekonomian. Namun, situasi sekarang menjadi berbeda karena sektor ini tetap tak bisa menahan krisis yang disebabkan Covid-19. Jika demikian, penggalangan solidaritas besar-besaran warga negara yang bergerak disektor bisnis harus segera dilakukan, suapaya perekonomian kita tetap stabil.
Hal ini juga menyangkut pada perekonomian pedagang, utamanya pedagang kaki lima yang tanpa lockdown sudah babak belur dengan kondisi ekonomi saat ini, efeknya penghasilan mereka berkurang sementara kebutuhan mereka sehari-hari untuk keluarga semakin terganggu.
Pemerintah seharusnya mengupayakan adanya intensif atau semacam bantuan langsung tunai (BLT) untuk menolong sementara kehidupan pedagang kaki lima, toh mereka selama ini sudah banyak membantu pemerintah dengan bekerja secara mandiri dan tidak bergantung pada pemerintah
Selain pemerintah pusat, juga dilakukan oleh pemerintah provinsi yang menyatakan darurat corona apabila sampai pada tahap lockdown atau minimal mengakui bahwa provinsinya sudah darurat corona seperti yang dilakukan oleh Gubernur Jatim Khofifah dan Gubernur DKI Jakarta, atau kota seperti Walikota Solo.
Pemerintah baik melalui instansi pemerintah maupun BUMN, bisa juga dengan mendorong pengusaha-pengusaha untuk gotong-royong bersama-sama menolong dan membela nasib pedagang seperti PKL dalam bencana social saat ini.
Lawan Corona, Selamatkan PKL!
Farkhan Evendi merupakan Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Bintang Muda Indonesia (BMI), organisasi sayap Partai Demokrat.