Kurangi Dampak Perubahan Iklim, TCI Selenggarakan Dialog Multipihak
Berita Baru, Jakarta – Mengurangi dampak perubahan iklim, Think Climate Indonesia (TCI) menyelenggarakan dialog multipihak di Hotel Aryaduta Menteng, Jakarta, pada Kamis (25/8).
Diskusi yang mengusung tema “Mendukung Upaya Pembaruan NDC Indonesia guna Mengurangi Dampak Perubahan Iklim” ini dibagi menjadi dua sesi: sesi untuk kebijakan dan implementasi Nationally Determined Contribution (NDC) dan sesi berbagi cerita baik dari tapak.
Pada sesi pertama, berbagai kebijakan dan implementasi yang sudah pemerintah lakukan dipaparkan oleh Direktur Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas Medrilzam dan Peneliti pada Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi Organisasi Riset Hayati dan Lingkungan I Wayan Susi Dharmawan.
Medrilzam menyuguhkan banyak data tentang apa saja yang sedang masyarakat dunia hadapi terkait perubahan iklim. Ia bahkan menegaskan, sebenarnya ancaman tersebut tidak saja datang dari satu pintu.
Selain perubahan iklim, ungkapnya, ada dua ancaman lainnya, yaitu polusi dan hilangnya keanekaragamaan hayati.
“Sayangnya, kita sering melupakan dua yang lain. Kita lupa pada persoalan polusi dan keberadaan aneka ragam hayati, padahal ketiganya ini kan terhubung satu sama lain,” jelasnya.
Dari 99% bencana hidrometeorologi hingga NZE 2060
Untuk ancaman yang pertama, Medrilzam menjelaskan 98 – 99 % bencana yang terjadi di Indonesia adalah bencana hidrometeorologi. Artinya, ancaman dari perubahan iklim sudah mendesak, di depan mata.
Dalam rentan 2020 – 2024, kerugian yang diprediksi akan ditanggung negara akibat bencana tersebut mencapai Rp544 triliun.
“Ini jumlah yang besar ya. Maksudnya, ancaman climate change ini bukanlah isapan jempol!” kata Medrilzam.
Untuk menanggulangi persoalan ini, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) enam strategi transformasi ekonomi. Salah satunya ekonomi hijau.
“Untuk menghadapi situasi seperti ini, kita membutuhkan lompatan-lompatan besar atau bahasanya anak-anak ekonomi itu, kita butuh adanya transformasi ekonomi,” tuturnya.
Ekonomi hijau, lanjut Medrilzam, memiliki dua tulang punggung, yang keduanya penting untuk diperhatikan oleh segenap pemangku kebijakan, yakni pembangunan rendah karbon dan pembangunan berketahanan iklim.
“Dan untuk pembangunan berketahanan iklim, ini ada 4 prioritas ya, yaitu laut dan pesisir, air, pertanian dan kesehatan. Tulang punggung ekonomi hijau ini penting diperhatikan agar masyarakat bisa tahan terhadap bencana,” jelasnya.
Tujuan dari ekonomi hijau ini tidak lain adalah untuk mencapai target peningkatan 6% Pendapatan Nasional Bruto yang sempat jatuh akibat COVID-19.
Selain itu, ia juga mengatakan, ekonomi hijau sangat membantu untuk bisa Net Zero Emission (NZE) pada 2060, meskipun target ini ambisius.
“It is very ambitious, tapi bagaimanapun kita tetap harus melangkah maju,” tandasnya dalam diskusi yang dipandu oleh Valerina Daniel ini.
Lima tantangan penurunan emisi
Ketika medrilzam lebih pada isu kebijakan dan implementasi, maka Wayan pada isu penelitian. Ia menyampaikan, untuk menanggulangi dampak perubahan iklim di Indonesia, berbagai pihak harus mendasarkan pertimbangannya pada penelitian.
Dari penelitian yang Wayan lakukan, ada lima (5) tantangan yang Indonesia hadapi untuk menurunkan emisi. Pertama, sektor energi Indonesia masih bergantung pada sumber karbon.
“Kita tidak bisa memungkirinya ya, sumber energi kita masih menggunakan fosil,” katanya.
Kedua, tingginya pertumbuhan jumlah kendaraan di sektor transportasi. Ketiga, jumlah penduduk Indonesia yang menunjukkan tren peningkatan dari tahun ke tahun.
“Per 20 tahun, ada tambahan sekitar 60 juta populasi. Ini jumlah yang besar, sehingga persiapannya juga harus matang, mulai dari penyediaan pangan, energi, dan sebagainya,” jelas Wayan.
Keempat, aspek tata kelola belum berjalan secara maksimal dan kelima, belum optimalnya pembiayaan perubahan iklim dari sumber dalam negeri.
Yang lebih penting dari kebijakan dan implementasi
Pada sesi I, Direktur Eksekutif Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) Bejo Untung juga diberi panggung untuk menyampaikan seminarnya.
Ia menggarisbawahi beberapa hal yang tidak disampaikan oleh Medrilzam dan Wayan, yakni pihak yang menjembatani antara level pusat dan level tapak.
Bejo Untung mengatakan, antara apa yang terjadi di level makro pemerintahan dan level mikro masyarakat atau tingkat tapak sering terselip jurang pemisah.
Di titik ini, jembatan mutlak dibutuhkan, setidaknya untuk menerjemahkan apa keinginan pusat kepada mereka yang di tapak. Jembatan yang Bejo maksud tidak lain adalah para lembaga think tank dan organisasi masyarakat sipil.
“Tantangan kita juga adalah mendorong agar lembaga-lembaga think tank dan CSO bisa bekerja di level mikro, tapak. Ini penting untuk mencari tahu, apakah isu-isu di level kebijakan dan riset seperti sudah disampaikan oleh Pak Medril dan Pak Wayan sudah bisa dipahami oleh mereka yang di level tapak atau di tingkat komunitas, mengetahui aksi yang konkret justru ada di tingkat tapak. Ini yang bisa kita jembatani sebagai lembaga think tank dan CSO,” jelasnya.
Sesi II dan cerita baik dari bawah
Pada sesi II, tiga (3) narasumber memantik diskusi, antara lain Staf Khusus Gubernur Kalimantan Timur Stepi Hakim, chairman Inobu Bernadinus Steni, dan anggota Kelompok Tani Mekar Bakti Balikpapan Suin.
Stepi Hakim memaparkan beberapa strategi yang Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) ambil untuk menuju Kaltim berekonomi hijau, seperti deklarasi Kaltim Hijau, pembangunan berkelanjutan Kaltim pada 2015, dan masterplan perubahan iklim pada 2016.
Bila Stepi bicara di tingkat kebijakan, maka Steni di level praktik pendampingan di tapak. Steni berbagi tentang problem-problem yang tengah dihadapi oleh para petani di Kalimantan.
Persoalan tersebut meliputi, musim kering yang berjalan lebih lama, kalender lokal yang terganggu karena perubahan iklim, gangguan langsung pada tanaman, dan banjir bandang.
“Untuk musim kering yang berjalan lambat, ini mengancam proses siklus petani kelapa sawit untuk pemupukan, sehingga sering terlambat,” ungkap Steni dalam dialog yang dipandu oleh Laode M. Syarif, Direktur Eksekutif KEMITRAAN.
“Dan yang menjadi tantangan juga adalah soal banjir bandang. Banjir bandang masih sering terjadi di Kalimantan dn ini bisa menyapu bersih tanaman para petani,” imbuhnya.
Adapun Suin cenderung berbagi kisah tentang pengalaman kecilnya dulu ketika baru tiba di Balikpapan. Dia adalah saksi hidup adanya pergeseran pola respons dari masyarakat terhadap hutan, yang mulanya eksploitatif menjadi penuh kasih.
Perlu diketahui, acara yang ditayangkan langsung melalui kanal Youtube PATTIRO ini digawangi oleh lima lembaga think tank di Indonesia yang tergabung dalam TCI Forum. Mereka adalah Yayasan Inobu, World Resources Institute (WRI) Indonesia, KEMITRAAN (Partnership for Governance Reform), Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO), dan Yayasan Kota Kita.
Sebagai forum dialog untuk mendorong aksi iklim yang nyata dan efektif berbasis pengetahuan, keahlian, dan riset ini, TCI didukung penuh oleh International Development Research Center (IDRC) dan Oak Foundation selama periode 2020 – 2023.