KPA: RUU Cipta Kerja Bukti Kemunduran Political Will Pemerintah
Berita Baru, Nasional – Pada 12 Februari pemerintah telah menyerahkan draft Omnibus Law atau RUU Cilaka dengan nama resmi RUU tentang Cipta Kerja.
RUU ini mendapuk ambisi besar dengan mendapuk 79 UU sekaligus yang dibagi ke dalam 11 klutser materi untuk dihapus, dipangkas atau direvisi.
Menyikapi hal tersebut, Konsorium Pembaruan Agraria (KPA) mengadakan konferensi pers, di Jakarta, Kamis (20/2) pukul 12.43 WIB.
Berdasarkan postingan yang diunggah di akun twitter @SeknasKPa, KPA menilai Omnibus Law sebagai alternatif yang membahayakan petani dan masyarakat adat serta menghambat realisasi reforma agrarian.
Menurut KPA, setidaknya ada lima masalah dalam RUU Cipta Kerja, yaitu:
- RUU Cipta Kerja memasukkan substansi controversial RUU Pertanahan (RUUP).
- RUU Cipta Kerja akan memperparah ketimpangan penguasaan tanah dan konflik agrarian di Indonesia.
- RUU Cipta Kerja mempermudah perampasan, penggusuran, dan pelepasan hak atas tanah atas nama pengadaan lahan untuk kepentingan infrastruktur dan bisnis.
- RUU Cipta Kerja mempercepat alih fungsi tanah pertanian di Indonesia dan jumlah petani akan semakin menyusut.
- RUU Cipta Kerja memperkuat kriminalisasi dan diskriminasi hak petani dan masyarakat adat.
Berdasarkan kelima pokok masalah di atas, KPA menyimpulkan bahwa RUU Cilaka bertentangan dengan konstitusi UUPA 1960 dan TAP MPR IX/2001.
RUU ini juga dianggap abai terhadap pemenuhan hak-hak rakyat atas sumber daya agraria yang telah dijamin dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Di mana masyarakat berhak mengelola hasil hutan untuk kebutuhan sehari-hari beserta penjaminan terhadap akses pemanfaatan.
“Kami memandang RUU Ciptaker adalah kemunduran jauh dari political will oleh pemerintah saat ini yang tengah berjanji menjalankan reforma agrarian untuk keadilan dan kemakmuran rakyat kecil. Dengan pertimbangan tersebut, kami menolak RUU Cipta Kerja yang tengah dibahas oleh pemerintah,” begitu tulis KPA dalam postingannya.
KPA juga menilai, munculnya RUU Cipta Kerja ini sangat rentan terhadap petani dan masyarakat adat serta memperlebar jalan investasi dan pembangunan besar-besaran.
“Tidak hanya itu, proses pengukuhan hutan hanya berdasar pada pendekatan penggunaan teknologi tanpa melibatkan masyarakat dan tanpa mempertimbangan kondisi penguasaan tanah di lapangan hanya akan mempermudah proses perampasan tanah milik petani dan masyarakat adat,” pungkasa KPA.