Kota yang Lekas Menghilang dan Akan Kita Lupakan | Puisi-Puisi Ilham Rabbani
Kota yang Lekas Menghilang
dan Akan Kita Lupakan[1]
1.
Tunggulah di perbatasan,
Azale.
Di sini,
kota-kota akan mati
dan menghilang.
Waktu terburu,
tubuh penuh
warna ungu.
Usia bergerak
serupa perkabelan dari tiang
ke tiang—arus tercepat
melebihi cahaya
dan terputus
tiba-tiba.
Kesedihan
telah jadi korselet
tanpa perbaikan,
tanpa instalasi ulang.
Diri dililit kata-
kata dari meja kerja; kawat
kawat dan lengkung pipa;
tagihan lampu, air bersih, pajak bangunan
dan sekomplotnya.
2.
Tunggulah di stasiun, di kotamu
yang asing itu,
Azale.
Orang bermigrasi, akan
seperti burung-burung,
dari satu ingatan, ke ingatan
(pedih) yang lainnya.
Di kotamu,
orang-orang
akan meraba
pantat kuda kembali—
sebab di kota sebelumnya,
kota kami,
kota yang akan
dilupakan—hanya tertinggal
bunyi aluminium diketuk,
botol plastik diremuk,
atau suara styrofoam dicacah
sisa-sisa peribadatan
dari tubuh yang me-nguwantuk
dan kurang di-peyuk.
3.
Kota kami
akan lekas menghilang,
Azale.
Laut meninggi,
daratan merundukkan diri.
Tunggulah di kotamu—
kita akan berjumpa
dalam durasi yang lebih
lambat; dalam usia yang lebih
muda; dan dalam balut biola
di tenang taman kota.
“Peralihan musim
mungkin akan tiba
seratus
tahun lagi.”
Yogya, 2023
Tembakan Benito
di Riuh Palio[2]
1.
Ia mendengar
ringkik kuda-kuda
seperti sebaris
nyanyian kematian
saja.
Ia juga mengingat
lagu-lagu masa kecil
yang dinyanyikan
seorang perempuan—
persis sayup di sisi
telinga sebelah kiri—
di tepi
arena pacuan
kuda ini.
“Elizabeth, Elizabeth!
ia-kah perempuan
di masa
silam itu?”
Ia memercayai
kematian sebagai lintasan—
perjalanan bagi yang mati
untuk hidup
(se)sekali lagi.
2.
Kembali ia mendengar
bahkan bisikan para mafia
seperti sebaris
nyanyian kematian
tiba-tiba.
“Tembaklah, Benito,
tembaklah!”
bisik Elizabeth
dalam sandiwara
koboi-koboian
yang tengah
mereka perankan.
3.
Ia tahu, malaikat
sesedap-wangi sampo
di riuh Palio itu, adalah nama
lain dari suara
yang merayap
di liang telinga
ke curam liang aroma.
“Tus!”
Bahkan ringkik kuda
telah jadi sebaris
nyanyian kematian
saja.
Yogya, 2023
Silsilah Setelah Kirana[3]
1.
Belasan tahun
setelah penyulutan itu,
ia melihat
bekas-bekas luka
serupa gambar pohon silsilah—
dirangkai ingatan
satu-satu—
pada kulit putih
kegadisannya.
“Kapan aku
setinggi dan sekuat
ia?” pikirnya
suatu kala.
2.
Pendaratan sabuk
atau pecut, waktu-waktu itu
toh sama saja
bagi paha—
mungkin ia berangan
kakinya diamputasi,
biar nanti
tiada surga lagi
di kedua
telapak kakinya.
3.
“Tak ada yang baik
di sini. Hanya api-api—
mungkin
sepercik neraka—
menolak minggat
dari susur-
galur kita,”
kata Kirana.
Dua balita—
yang entah beribu-
bapak siapa—
hanya ber-hahahoho
setelah menyimak cerita
perihal surga
dari guru
ngaji mereka.
“Di surga,
aku mau
punya papa!
Hahaha.
Yogya, 2023
(Mengenang) Penambang
di Bukit Selatan[4]
Terowongan itu:
pertama-tama,
ia gali
ke lambung bukit;
dan kedua,
ke lambung
penggali yang melilit.
Yogya, 2023
Nyanyian dari Pengungsian[5]
1.
Tanah Air, Tanah Air …
Kemuliaan bagi orang-
orang dan para pahlawan
pembebasan kita.
Ia mengulang
larik demi larik
Patrio ao Morte.
Hidupnya
hanya mimpi-
mimpi buruk setelah pembakaran.
Ada aroma kulit Apaa
yang lepuh dan mengabu,
begitu saja.
2.
Ia bisa mengingat
api di Kota Dili
sejelas maut, menampakkan muka
di lahan-
lahan terbuka.
Ia yang berumah
pada hutan dan gunung-gunung,
telah mendapati
peluru ditanam di lereng-lereng—
di hutan itu,
anak-anak
mendengar tembakan
seperti letusan petasan.
“Kita akan melihat
kembang-kembang api
kuning-kemerahan
malam nanti,
Sebastiao!”
3.
Tanah Air, Tanah Air …
Kemuliaan bagi orang-
orang dan para pahlawan
pembebasan kita.
Patrio ao Morte
terus dinyanyikan, di sepanjangLorosae—antara lagudan bayang peluru hantuterus berkejarandari Atambuake tempat-tempat terpencil,ke tempat-tempat terdekatdari kerlap malam buta:nyala lilinpengungsian mereka.
Yogya, 2023
Ilham Rabbani, penulis kumpulan esai Perihal Sastra & Tangkapan Mata (2021) dan buku kajian Sastra, Kedaruratan, Pahlawan (2022). Alumnus Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Ahmad Dahlan (UAD) dan Magister Sastra, Universitas Gadjah Mada (UGM).
Selain menjalani serangkaian pendidikan formal, pada tahun 2016 tercatat pula sebagai alumnus “Kelas Esai”, Program Sekolah Menulis yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Daerah Istimewa Yogyakarta (BBY). Terlibat dalam pengelolaan kelompok belajar sastra Jejak Imaji di Yogyakarta sejak tahun 2015 hingga hari ini.
Aktif memublikasikan tulisan-tulisan berupa puisi, esai, resensi, laporan jurnalistik, dan kritik sastra akademik di jurnal-jurnal nasional. Selain pernah mendapatkan sejumlah penghargaan, tulisan-tulisannya juga tayang di media massa cetak dan daring seperti Koran Tempo, Suara NTB, Lombok Post, Koran Sindo, Merapi, Minggu Pagi, Basabasi.co, Bacapetra.co, Beritabaru.co, Sastramedia.com, Dialektikareview.org, Kibul.in, Jejakimaji.com, SKSP-Literary.com, Cerano.id, Haripuisi.com, Lensasastra.id, Omong-omong.com, Mata Budaya, Kreativa, dan lain-lain.
[1] dari cerpen “Kota yang Berumur Panjang” karya Tjak S. Parlan.
[2] dari cerpen “Pacuan Kuda” karya Robbyan Abel Ramdhon.
[3] dari cerpen “Kirana dan Ibunya” karya Bulan Nurguna.
[4] dari cerpen “Para Penambang” karya Kiki Sulistyo.
[5] dari cerpen “Suara dari Perbatasan” karya Irma Agryanti.