Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Vizlat Bianka | Puisi-Puisi AR Renhoran
Ilustrasi: edgarpavia

Vizlat Bianka | Puisi-Puisi AR Renhoran



Dedes

bakar dupa menyala
jasadku jadi abu
lingsir ke sungai
lima helai melati
terpacak dekat telinga

wajahmu moksa

imprimatur, bintang maria
di batu-batu kutulis rindu

shalom

lima lembar kenangan
mati satu tinggal empat
kupegang bulat-bulat

aih aih…
matiah aku
ditinggal wangimu

Sleman, 2021

Viszlat Bianka

1/
malam kesekian
di pinggir sungai danube
saudara berdiri menatap bulan
segelas palinka di tangan kiri saudara
hawa berembus
suara gadis-gadis melewah 

bawah rimbun pohon randu alas
saudara coba merayu
di hadapan wajahnya yang rembulan
cuaca mendung
lampu-lampu meremang
ia pergi
“bianka, bianka, bianka”
saudara memanggilnya
ia enggan menoleh

2/
sunyi
langit kota budapest
seumpama terpal
seratus kunang-kunang
menyanyikan tembang kerinduan
saudara menengadah
keharibaan wajah bulan sayu
ada bianka di sana
yang ayu, yang berseri-seri

ia menjelma arimbi
saudara pangling
lenyap bayang-bayang
duka apa yang merasuki
mata saudara berkaca-kaca
air-mata-air-mata-air
kata-kata terlalu pekat

3/
di bawah langit budapest yang kering
gelas di tangan saudara ikut kering
beringsut pula hati saudara
lalu saudara pulang
dengan dada yang coba lapang
bergumam

“viszlat, bianka…”

Sleman, 2021

Maria

ya maria,
lepas asar aku menantimu
di depan pintu gereja
sebab diskusi kita belum selesai

musim semi
mengandam langit-langit
lalu kita singgah
di beranda rumahmu

aku menyesap teh hijau
sedang kau terus mengunyah kalimat
katamu cinta tak punya agama
aku tersedak
ketakutan menyumbat kerongkongan

ya santa,
apa dosaku
kau lalu diam
kau suruh aku beristigfar
minta ampun

lampu rumah baru menyala
cahaya menyelubungi kepala
seperti daun membungkus ranting
melebat dan merambat
kepalaku menjelma hutan hujan

aku pamit
“selamat malam”
“alaika salam,” jawabmu

Bukit Tinggi, Mei 2022

Kepada Ibu

di pelukmu yang laut
aku menjelma dada ombak

di matamu yang arus
aku serupa buih,
terombang-ambing

di dadamu yang pasang
aku tak pernah jua surut

(Bantul, Januari 2019)

Kereta Pondok Cina

ditindih petang
simpang margonda sunyi
pukul 6 lewat 15,
depok dikepung malam
kereta melambat

kenangan berputar di kepala,
ubahnya layar tancap
bukan soal leto,
bukan pula nemesis
cokelat, bangku tepi danau, perpisahan
mengatup bunga-bunga adas

masinis memainkan mystery train
udara mengetuk kaca jendelakereta berhentipintu terbuka, hati terkunci

stasiun pondok cina
gadis kecil tidur di kardus
tak berbantal, tak berselimut
tak ada siapa-siapa
tidur yang lelap
lelap sekali

Depok, Agustus 2021

Amnelaat

dalam lebat pohon-pohon
amnelaat berjalan maju
telanjang kaki,
pikul saloi
dalam saloi ada kehidupan
untuk anak-anak kami

tangan kanannya yang ibu
gandeng anak laki
sedang yang perempuan
jalan duluan di muka
tidak selamanya perempuan
di belakang

diajari anaknya
makan pakai tangan
tangan sendiri
jangan boleh disuap orang

makin dalam, makin hutan
amnelaat tetap jalan maju
telanjang kaki,
dia jalan pikul saloi
dalam saloi ada kehidupan
untuk masa depan kami

Bantul, Januari 2019

Kerudung Fateema

kerudung putih di kepala fateema
menghampar padang sabana
orang bilang, perempuan berkerudung itu suci
pantang diganggu
namun, tidak dengan fateema
ia digauli berikut kerudung di kepalanya

saban malam, lepas isya
para serdadu datang bergiliran
mereka menggagahinya macam binatang
bercak darah mengepil di kerudung fateema
putih campur merah
mereka melangiskan noda di badan
pakai kerudungnya

orang bilang, tuhan mendekap fateema
melalui kerudung itu
tapi kenapa tangan tuhan diam saja
kala ia diperkosa?

fateema bergeming,
lebih baik mencari lindung
daripada menghakimi tuhan
sebab tuhan tidak menidurinya

di luar rumah, di lincir jalan
orang-orang mengumpat
“buka saja kerudungmu,
pelacur gila!”
fateema menolak
ia membalas, “ saya bukan pelacur
saya masih waras
kerudung ini menutupi kepala
bukan otak saya”.

Bogor, 2021


AR Renhoran adalah penulis dan pegiat literasi yang berasal dari Kota Tual, Maluku. Ia gemar menulis puisi sejak duduk di bangku SMP sampai saat ini. Kumpulan puisinya “Magrib Langit Arafura” terbit pada 2019. Saat ini ia bermukim di Sleman, Yogyakarta dan aktif di Rumah Baca Komunitas (RBK) dan Radio Boekoe.