Korona dan Logika Unik Masyarakat Perdesaan
Oleh: Tiktin Khotimah
(Mahasiswi Program Studi Sosiologi Universitas Trunojoyo Madura)
Hampir seluruh bagian dunia saat ini sedang mengalami kepanikan dan kecemasan dengan adanya virus yang merajalela, salah satunya Indonesia. Virus ini ditemukan pertama kali di sebuah kota di Tiongkok, tepatnya di kota Wuhan, Provinsi Huabei.
Virus yang gejalanya hampir mirip dengan flu ini menyebar begitu cepat dan bisa menyerang siapa saja seperti lansia, orang dewasa, anak-anak, bayi, ibu hamil, dan ibu menyusui. Ia telah menewaskan hampir 50 bahkan 100 orang per-hari. Berdasarkan kabar yang beredar, virus ini berasal dari penjualan hewan liar (kelelawar) dan makanan ekstrem yang banyak dikonsumsi oleh penduduk sana. Virus ini disebut Virus Korona atau Covid-19.
Perkembangan Covid-19 di Indonesia sangat cepat. Menurut pakar kesehatan, Covid-19 lebih kuat bertahan hidup di daerah yang memiliki suhu rendah dan kering. Covid-19 juga mewabah di negara-negara dengan kondisi suhu kelembaban udara yang sebaliknya, bahkan negara Indonesia menempati peringkat pertama se-Asia Tenggara dengan kasus positif Covid-19.
Berbagai kebijakan dibuat oleh pemerintah Indonesia demi menekan penyebaran virus tersebut. Kebijakan yang dikeluarkan yaitu menerapkan adanya PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dan lockdown. PSBB berarti pembatasan segala kegiatan tertentu dalam suatu wilayah misalnya, sekolah, kerja, ibadah, dan kegiatan lainnya. Adapun lockdown yaitu penguncian atau karantina di wilayah daerah tersebut dan bahwa setiap orang harus tinggal di tempat mereka (rumah) kecuali ada kepentingan yang sangat penting dan diizinkan oleh pihak setempat. Namun dengan adanya perarturan baru, tidak semua masyarakat setuju atau sepihak dengan hal tersebut. Banyak masyarakat yang menolak secara mentah-mentah mengenai semua aturan dan anjuran dari pemerintah.
Pada masa pandemi seperti saat ini, saya mengalami kehidupan antara dua lingkungan yang berbeda, yaitu tinggal di pedasaan dan di perkotaan. Yang pertama saya akan berbagi sedikit pengalaman hidup di lingkungan pedesaan di masa pandemi. Sangat dipahami, tidak banyak orang desa yang mau mendengar dan memperhatikan kabar buruk suatu kondisi pandemi saat ini. Ketika mendapati ada pihak yang memiliki anggapan situasi sedang tidak baik-baik saja, mereka langsung mengklaimnya sebagai “lebai”.
Mengetahui ini, saya berpikir bahwa telah terjadi sesat pikir (logical fallacy) atau ngawur di masyarakat perdesaan. Sesat pikir biasanya terjadi ketika seseorang memikirkan dan membuat logika—dilanjut mengolah dan memproses berbagai informasi—dengan cara yang tidak sistematis atau tidak urut. Akibatnya, ia memproduksi hasil yang tidak jelas.
Keadaan seperti ini sebenarnya yang bahaya dan tidak baik. Bisa juga memungkinkan terjadinya penghambatan dalam penyampaian sosialisasi pengetahuan dan medis kesehatan tentang kewaspadaan di masa pandemi Covid-19. Contoh sesat pikir yang ada di masyarakat desa adalah sering mengatakan “jarene” ketika ada masyarakat lainnya memberitahu tentang covid-19.
Dari masalah tersebut bisa dikategorikan sebagai sesat pikir Argumentum Ad Populum yakni ketika masyarakat menyakini suatu argumen atau pernyataan dianggap benar karena mayoritas orang juga menyakininya. Masyarakat pedesaan terkenal dengan ciri paguyuban, biasa berkumpul santai dengan membahas masalah pertanian dan juga diselip masalah berita yang lagi viral, hingga suatu hari saya tidak sengaja mendengarkan obrolan para tetangga yang asyik kumpul di teras rumah. Kurang lebih isi obrolannya seperti ini:
A: Tahun ngarep onok suntik vaksin, lho! (Tahun depan ada suntik vaksin lho!)
B: Oh iyo yo (oh iya ya)
A: Iyo jarene seh ngono. Ne berita kok nayangno iku terus (iya katanya sih gitu. Di berita kok menayangkan itu terus)
Kemudian ada juga sesat pikir yang hampir sama dengan sesat pikir Non Sequitur. Hal ini terjadi ketika masyarakat lain memberi argumen atau informasi tentang sesuatu hal yang tepat dan benar, tetapi informasi tersebut diserap atau diterima dengan kesimpulan yang salah oleh lawan bicaranya. Contohnya sebagai berikut:
A: Berjemur di bawah matahari itu bisa menyehatkan karena tubuh bisa memperoleh vitamin D
Kemudian informasi ini diserap oleh ibu B dan mengatakan, “Sering berjemur di bawah sinar matahari sekitar 10 menit bisa membuat tubuh kita kebal dan terbebas dari virus Corona!” Dari Ibu B ini mengolah argumen dan memberikan kesimpulan yang salah.
Selain itu banyak masyarakat yang menganggap bahwa orang desa tidak akan terpapar virus covid-19 karena pekerjaannya sebagai petani yang seharinya bekerja di ladang dan di bawah terik panas matahari, berbeda dengan orang kota yang pekerjannya di kantor selalu ber-ac dan jarang terkena sinar matahari (kurang sehat karena tidak mengeluarkan keringat). Ini pun termasuk sesat pikir yang banyak terjadi dan lumrah di masyarakat. Berikut contoh sesat pikir yang bisa dibilang konspirasi yang sangat banyak dilakukan di masyarakat:
A: Sue-sue kok bosen merhatekne covid (lama-lama kok bosan memerhatikan Covid-19).
B: Lahyo podo pak, iki mboh kepiye beritane kok jer covid wae, ngko loro biasa diarani covid, masuk angin diarani covid, jan –jane covid ki piye?. Ngko lha di gawe-gawe mbek pihak kesehatane. (Iya, sama Pak, tidak tahu kenapa beritanya selalu korona terus, nanti sakit biasa disebut covid-19, masuk angin dicap covid-19, lalu covid-19 yang sebenarnya ini bagaimana? Nanti dibuat-buat sama pihak kesehatan)
A: Elaiyo nasib e wong cilik jer dibodoni terus (Iya, nasib orang kecil dibohongi terus)
B: Wes sue aku ga percoyo mbek covid ket awalan, yo ngono mergo di gawe-gawe mbek pihak duwuran, terkadang onok seng gae kesempatan cek oleh bantuan. (Sudah lama aku tidak percaya dengan korona sejak awal karena dibuat-buat sama pihak atasan, terkadang ada yang membuat kesempatan supaya dapat bantuan)
Dari obrolan di atas kita bisa menggolongkannya sebagai konspirasi yang bisa memengaruhi banyak masyarakat untuk satu pemahaman. Konspirasi ini juga termasuk dalam sesat pikir dalam masyarakat dengan menggunakan teori Non Causa Pro Causayakni kesesatan berpikir akibat penarikan kesimpulan relasi “sebab-akibat” yang salah atau keliru karena apa yang terjadi sebelumnya dianggap sebagai penyebab yang sesungguhnya suatu kejadian dengan berdasarkan dua peristiwa yang terjadi secara berurutan. Kemudian masyarakat cenderung mengambil kesimpulan bahwa peristiwa kedua adalah akibat dari peristiwa pertama, padahal urutan waktu saja tidak dengan sendirinya menunjukkan hubungan sebab-akibat.
Kedua menjelaskan tentang kehidupan di tengah perkotaan yang sudah jelas perbedaannya. Di lingkungan masyarakat perkotaan, mayoritas lebih memahami dan mematuhi perarturan dari pemerintah. Dari pengamatan yang saya dapat di lingkungan perkotaan bahwa tetap ada sekelompok masyarakat atau komunitas yang mengabaikan apa pun tentang Covid, entah karena faktor “sudah bosan atau bising dengan berita dan informasi covid”, sehingga mereka bersikap bodo amat dengan situasi pandemi ini. Mereka pun juga merasa terganggu dengan segala peraturan yang bisa mengubah segala aktivitasnya.
Saya pernah mendengar dari obrolan anak-anak komunitas di sebuah kafe yang sedang berdiskusi, lalu salah satu dari anggota komunitas tersebut sudah menghakimi, padahal belum tahu betul soal apa yang dibicarakan,
A: Menurut berita terbaru, virus korona bisa bertahan di uang kertas dan layar ponselselama 28 hari.
B: Ah, jangan percaya itu hoaks. Berita itu sampah! Berubah-ubah dan mengada-ada terus.
A: Emang kamu pernah lihat berita?
B: Malas, lagian buat apa? Risih!
Percakapan singkat di atas sudah jelas merupakan sesat pikir dan bahaya. Sebenarnya hal-hal seperti ini terjadi bukan hanya di masa pandemic saja karena pada dasarnya setiap orang mempunyai pemikiran dan pemahaman atau perspektif yang berbeda-beda.Ada juga yang menelan secara mentah-mentah sebuah argumen dan opini. Tetapi di balik itu masih ada masyarakat yang mencari tahu dulu benar/tidaknya dari opini tersebut.
Biasanya, masyarakat yang menolak informasi dan argumen secara mentah malas mencari tahu fakta yang sebenarnya dan ujung-ujungnya menyebarkan salah informasi. Salah informasi inilah yang membuat pandemi Covid-19 susah untuk dikendalikan khusunya di Negara Indonesia. Bukan hanya dalam bidang kesehatan melainkan juga berdampak pada bidang ekonomi, pendidikan, pariwisata, dan pada bidang lainnya.
Dari beberapa sesat pikir di atas saya ber-opini bahwa semua saling berhubungan. Ketika ada salah satu yang ambruk, maka yang lainnya juga merasakan imbasnya. Dari sini bisa terlihat, pola pikir masyarakat sangat berpengaruh besar terhadap sebuah Negara sebab semuanya berawal dari diri sendiri. Untuk itu kita harus mempunyai cara agar tidak mudah terhasut oleh sesat pikir. Bagaimana itu?
- Buat kesimpulan yang berurutan
- Meng-evaluasi informasi yang diterima dan mencari tahu kebenaran informasi sekaligus membandingkannya
- Berpikir kritis terhadap sebuah argumen
- Kata-kata dan maknanya harus jelas
- Menerima fakta meski tidak sesuai dengan keyakinan kita. Harus membuka mata dan telingan untuk menerima segala fakta yang ada, meski tidak semua dihadapi dengan keyakinan dan keinginan kita. Sadar akan fakta yang ada!