KontraS, YLBHI, dkk Sebut Maklumat Kapolri Melanggar Konstitusi
Berita Baru, Jakarta — Aliansi organisasi masyarakat sipil memandang bahwa Maklumat Kapolri mengenai Kepatuhan Terhadap Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut serta Penghentian Kegiatan Front Pembela Isalam (FPI) melanggar konstitusi dan membatasi hak asasi manusia.
“Meski maklumat tersebut pada dasarnya semata-mata sebagai perangkat teknis implementasi kebijakan, namun beberapa materinya justru telah memicu kontroversi dan perdebatan, terutama dari aspek pembatasan hak asasi manusia,” teran Ketua YLBHI Bidang Advokasi, Muhamad Isnur melalui keterangannya, Sabtu (2/1).
Beberapa organisasi yang turut serta menandatangani keterangan resmi yaitu meliputi YLBHI, KontraS, LBH Pers, hingga lembaga advokasi ELSAM.
Beberapa substansi maklumat yang disoroti antara lain larangan mengakses, mengunggah, dan menyebarluaskan konten mengenai FPI.
Kata Isnur, akses pada konten internet merupakan hak atas informasi yang dilindungi oleh UUD 1945 dan sejumlah peraturan perundang-undangan, sebagaimana tertuang dalam Pasal 14 UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.
“Oleh karenanya dalam melakukan setiap tindakan pembatasan terhadap hak-hak tersebut, harus sepenuhnya tunduk pada prinsip dan kaidah pembatasan, sebagaimana diatur Pasal 28J ayat (2) UUD 1945,” tutur Isnur.
Lanjut Isnur, setidaknya ada tiga syarat guna memastikan legitimasi kebijakan pembatasan, yang dikenal sebagai three part test (tiga uji elemen).
Pertama, diatur oleh hukum (prescribed by law) harus melalui undang-undang atau putusan pengadilan. Kedua, untuk mencapai tujuan yang sah (legitimate aim), dan terakhir, pembatasan benar-benar diperlukan (necessity) dan dilakukan secara proporsional (proportionality).
Kata Isnur, tiga prinsip tersebut demi memastikan tidak ada pelanggaran hak asasi warga negara dalam setiap pembatasan.
“Mengacu pada Komentar Umum No. 34/2011 tentang Kebebasan Berekspresi, keseluruhan perlindungan hak yang dijamin oleh ketentuan Pasal 19 KIHSP, juga sepenuhnya menjangkau konten-konten yang menggunakan medium internet, termasuk dalam hal pembatasannya,” lanjutnya.
Isnur juga mengatakan, bahkan Resolusi Dewan HAM 20/8 tahun 2012 menegaskan bahwa perlindungan hak yang dimiliki setiap orang turut melekat saat mereka sedang online. Perlindungan tersebut, khususnya berkait erat dengan kebebasan berekspresi, yang berlaku tanpa melihat batasan atau sarana media yang dipilih.
“Resolusi itu kemudian diperkuat dengan keluarnya Resolusi 73/27 Majelis Umum PBB, pada 2018, yang mengingatkan pentingnya penghormatan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi,” imbuh Isnur.
Tidak berhenti di situ, Isnur juga mengkritik dasar hukum Maklumat Kapolri yang hanya disandarkan pada SKB 8 Menteri/Kepala Lembaga Pemerintahan Saja, jauh dari persyaratan yang diatur hukum.
SKB, kata Isnur, pada dasarnya adalah penetapan yang berbentuk keputusan, sehingga muatan normanya bersifat individual, konkrit, dan sekali selesai.
“Tidak semestinya dia bersifat mengatur keluar, luas, dan terus-menerus (dauerhaftig). Artinya, maklumat ini semestinya hanya ditujukan kepada anggota Polri, yang berisi perintah dari Kepala Polri. Wadah hukumnya tidak memungkinkan untuk mengatur materi yang berisi larangan atau pembatasan hak-hak publik,” kata Isnur.
Berdasar itu, isnur mendesak Kepolisian untuk memperbarui Maklumat atau mencabut ketentuan poin 2d untuk memastikan supaya setiap tindakan hukum yang dilakukan sejalan dengan keseluruhan prinsip negara hukum dan hak asasi manusia.
Termasuk konsistensi dengan Peraturan Kapolri Nomor 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian itu sendiri.
“Bangsa ini tentunya tidak ingin kembali menjadi bangsa tertutup, yang secara ketat dan sewenang-wenang mengatur informasi yang dapat diakses oleh warganya,” tutupnya.