KontraS Desak Kasus Penembakan Intan Jaya Disidangkan di Pengadilan Sipil
Berita Baru, Jakarta – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mendesak kasus penembakan di Intan Jaya Papua disidangkan di pengadilan sipil kepada Jaksa Agung dan Oditur Jenderal.
Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti mengatakan tak ada alasan untuk tidak mengadili kasus penembakan tersebut di pengadilan sipil. Menurutnya, UU Peradilan Militer Pasal 200 ayat (1) dengan jelas mengatakan kerugian yang ditimbulkan dari dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh anggota TNI dalam peristiwa tersebut.
“Jaksa Agung dan Oditur Jendral agar dapat mengusulkan untuk menuntut dan mengadili perkara tersebut dalam peradilan umum,” kata Fatia dalam keterangan resminya, Minggu (26/12).
Sebelumnya, sebanyak 17 anggota TNI diketahui telah ditetapkan sebagai tersangka dalam sejumlah kasus kekerasan, penembakan, dan pembunuhan di Kabupaten Intan Jaya, Papua sejak April hingga awal Oktober lalu.
Kasus tersebut diantaranya dari pembakaran Rumah Dinas Kesehatan di Hitadipa, hilangnya 2 orang bernama Luther Zanambani dan Apinus Zanambani yang ditahan di Koramil Sugapa, kasus kekerasan dan pembunuhan terhadap Pendeta Yeremia Zanambani, hingga penembakan terhadap Gembala Gereja Katolik di sekitar Bandara Sugapa.
Dua kasus di antaranya, yakni penembakan Pendeta Yeremia dan Gembala Gereja Katolik di sekitar Bandara Sugapa, belum ada penetapan tersangka.
Sementara, dalam kasus pembakaran rumah Dinas Kesehatan di Hitadipa pada 19 September, telah ditetapkan delapan anggota TNI sebagai tersangka. Kemudian sembilan orang ditetapkan tersangka dalam kasus hilangnya Luther Zanambani dan Apinus Zanambani yang ditahan di Koramil Sugapa sejak April.
Menurut Fatia sejumlah kasus itu penting untuk segera dibawa ke peradilan umum. Pihaknya berkaca dalam sejumlah proses penyelesaian kasus di Mahkamah Militer umumnya tertutup.
Sepanjang 2020, KontraS mencatat ada 114 dari total 196 kasus tindak pidana umum yang diadili Mahkamah Militer mulai dari narkoba, penipuan, penggelapan, kekerasan dalam rumah tangga, hingga kesusilaan hanya disanksi kurang dari setahun.
“Hal ini tentu menunjukkan disparitas pemidanaan yang tinggi bila dibandingkan dengan sanksi yang diberikan untuk tindak pidana serupa bagi pelaku masyarakat sipil di peradilan umum,” kata Fatia.
KontraS meminta TNI melanjutkan proses penyelidikan dan penyidikan guna mengusut tuntas dan menetapkan para tersangka dalam kasus tersebut.
KontraS juga mendesak Komisi I dan III DPR memprioritaskan dan mulai mengagendakan pembahasan revisi UU Peradilan Militer No. 31 Tahun 1997 yang dinilai belum disesuaikan dengan semangat reformasi 1998.
“Pemerintah Indonesia mengambil kebijakan yang komprehensif dengan memperhatikan akar permasalahan di Papua guna mencegah berlanjutnya praktik kekerasan yang membahayakan keselamatan warga sipil,” pungkas Fatia.