Konfusianisme dan Jalan Baru Sosialisme Tiongkok
Oleh Taufiq Ahmad*
Ketika Revolusi Kebudayaan (1966-1976) yang dicanangkan Mao Zedong dengan tujuan membersihkan Tiongkok dari unsur-unsur borjuistik dan feodalistik yang hasilnya adalah malapetaka, usai Ketua Mao wafat (1976), Deng Xiaoping mengambil jalan yang lebih pragmatis, yakni reformasi dan keterbukaan yang dikenal dengan Gaige Kaifang (1978).
Gaige Kaifang sejauh ini dikenal sebagai pergeseran di mana negeri tirai bambu itu membuka tirainya dan memeluk pasar global. Itu tidak salah. Namun, salah satu aspek yang sering dilewatkan adalah bagaimana warisan leluhur yang pada era Revolusi Kebudayaan dikuyo-kuyo, mulai diakui kembali sebagai suatu hal yang bagus bagi pembangunan Tiongkok. Ajaran-ajaran Konfusius misalnya, yang sudah mendarah daging dalam masyarakat Tiongkok, kembali ditempatkan dalam posisi terhormat. Kitab-kitab Konfusius mulai dikaji kembali. Kuil-kuil yang sebelumnya dipaksa tiarap, kini kembali bergeliat. Tiongkok seperti menemukan jalan barunya yang lebih cerah.
Kalau dibandingkan dengan marxisme yang menjadi asas Partai Komunis Tiongkok (PKT), konfusianisme dipandang lebih berpengaruh dalam jalan hidup orang Tiongkok, bahkan para kader PKT sendiri. Marx memang dipandang sebagai ekonom yang menunjukkan titik cacat dari kapitalisme, dan menyeru kaum pekerja untuk mencapai utopia komunisme alias surga di bumi, namun bagaimanapun Marx bukanlah “nabi” yang ajaran-ajaran moralnya diterapkan dalam masyarakat Tiongkok, sadar atau tidak. Misalnya soal bagaimana anak harus berbakti pada orang tua, hubungan antar keluarga, dan bagaimana hubungan masyarakat dengan negara.
Hal tersebut kemudian menjadi wajar jika PKT sebagai partai penguasa, mulai menggalakkan kebijakan baru, yakni bahwa Tiongkok ke depannya lebih membutuhkan orang-orang ahli, terdidik, terampil, profesional, daripada menyibukkan diri dengan urusan ideologi/politik. Sebab itu, khususnya pada era Jiang Zhemin tahun 1990 berbarengan dengan keruntuhan Uni Soviet, meritokrasi khas ajaran Konfusius yang dicanangkan sejak era kekaisaran Dinasti Zhou 2500 tahun silam, mulai digalakkan. Inti ajaran itu adalah bahwa hanya mereka yang memang ahli yang berhak menjabat jabatan pemerintahan, tidak memandang SARA. Jadi, jabatan itu terbuka bagi semua warga Tiongkok, tak peduli kaya atau miskin, kelas bangsawan atau bukan, asalkan harus berhasil dalam menempuh ujian yang ada. Para pejabat hasil meritokrasi ini yang dikenal dengan kelas Mandarin.
Oleh sebab itulah, pada masa silam, pendidikan menjadi suatu yang benar-benar diprioritaskan warga Tiongkok untuk anak-anaknya agar kelak bisa terangkat statusnya, menjadi bagian dari kelas Mandarin, bukan seperti orang tuanya yang hanya rakyat jelata. Jadi, dengan meritokrasi yang jalannya adalah dunia pendidikan itu, mobilitas sosial vertical dimungkinkan. Suatu hal yang sangat maju pada zamannya.
Meritokrasi yang berhasil dijalankan Tiongkok dapat dilihat hasilnya, dimana hanya orang-orang ahli dan teruji yang menjalankan pemerintahan, dari pucuk tertinggi hingga yang paling bawah. Jadi, jabatan presiden atau bawahannya, adalah bukan jabatan politik hasil dari pemilu, melainkan jabatan birokratis. Xi Jinping sendiri misalnya, butuh waktu 38 tahun untuk naik jabatan secara perlahan karena keahlian dan prestasinya dari tingkatan paling bawah hingga menjadi presiden. Jauh sebelum itu, Xi pernah berkali-kali tidak lulus dalam proses mendafkat sebagai kader PKT. Ketika lulus dalam ujian ke-8 kali, Xi ditempatkan di desa sangat miskin untuk dientaskan dari kemiskinannya, dan ternyata setelah 7 tahun Xi berkecimpung di desa miskin itu ternyata membuahkan hasil. Dari situlah Xi perlahan naik jabatan sampai ke tingkat pusat, hingga jadi presiden.
Adapun ranah politik adalah ranah “wakil rakyat” yang dipilih dalam Pemilu 5 tahun sekali. Jackie chan, misalnya, actor kocak yang menghiasi perfileman Mandarin yang sangat populer itu, berhasil duduk menjadi wakil rakyat setelah mampu meraup suara yang cukup dalam proses Pemilu. Para wakil rakyat ini yang bakal duduk di lembaga tertinggi negara Tiongkok, di mana pemerintahan yang dipimpin presiden dan jajarannya harus bertanggungjawab dalam kongres. Jadi, dengan ini politik diharapkan tidak memperkeruh pemerintahan, sehingga jalannya pemerintahan akan berlangsung efektif dan efisien. Sistem pemerintahan Tiongkok tersebut, kalau dibandingkan mirip dengan Indonesia pada era Orde Baru, di mana para teknokrat adalah yang menjabat pemerintahan dengan keahlian masing-masing.
Apa yang dilakukan Tiongkok modern, sebenarnya mirip belaka dengan apa yang dilakukan Jepang seabad sebelumnya dalam Restorasi Meiji (1868). Usai menggusur kekuasaan Kesoghunan Tokugawa (1603-1868) dengan dukungan kelas samurainya dan mengembalikan kekuasaan di tangan Kaisar, kekaisaran Jepang mengembangkan kebijakan keterbukaan dan mengakhiri politik isolasionis yang membuat negara itu tertinggal.
Kekaisaran Jepang kemudian melakukan modernisasi dalam banyak lini, dengan salah satu programnya adalah mengirim banyak sekali pelajarnya untuk belajar di dunia Barat, agar ketika pulang kembali ke Jepang membangun negaranya menjadi negara modern setara dengan Barat. Memang kebijakan itu bahkan sampai menimbulkan perang saudara yang dimenangkan pihak Kaisar. Dan, semangat belajar pada Barat terus digalakkan dengan jargon populer, “ilmu pengetahuan dari Barat, etika tetap Jepang.” Suatu jalan yang sangat bagus untuk ditempuh. Dan hasilnya adalah, hanya dalam waktu singkat, Jepang dianggap sejajar dengan Barat. Bahkan, sebagaimana Barat, Jepang memulai politik kolonialisasi negara-negara tetangganya, hingga harus terpentok dalam Perang Dunia ke-2.
Tiongkok juga demikian, saat itu selain menggalakkan pendidikan di dalam negeri, juga mengirim banyak sekali pelajarnya keluar negeri khususnya negara-negara Barat, dengan catatan, untuk menghindari brain drain sebagaimana yang dialami negara India, para pelajar itu diwajibkan pulang ke Tiongkok untuk membangun negaranya. Ilmu pengetahuan boleh belajar dari Barat, jatidiri bangsa tetap Tiongkok.
Era keterbukaan Tiongkok memang membawa suasana tersendiri, yang bahkan dalam PKT sendiri seperti meninggalkan kesibukan “berpolitik” sebab “era politik” dianggap sudah selesai seusai Ketua Mao meletakkan landasan-landasannya. Fokus itu kemudian digeser pada pembangunan negara dengan meletakkan warisan leluhur dan modernisme secara apik dalam satu rel yang keretanya dikendarai kaum Mandarin, sebagaimana Jepang dengan kelas samurainya, kini menjadi negara yang sangat maju dan relative makmur.
Keberhasilan itu, kalau dihitung tahun, tergolong mampu diraih sangat singkat, yakni hanya 40 tahun sejak Gaige Kaifang. Sebagai bukti sederhana, Tiongkok pada 1980 GDP perkapitanya hanya $ 196.44, setara dengan Malawi, negara miskin di Afrika, sementara sebagai perbandingan waktu itu GDP perkapita Indonesia $ 491.44, tiga kali lipatnya. Sementara pada tahun 2020, GDP perkapita Tiongkok naik 52 kali lipat alias $ 12,263.471. Pesatnya kemajuan perekonomian Tiongkok saat ini sudah drastik menjadi nomor dua di bawah Amerika serikat (AS), yang diprediksi tak lama lagi bakal menyalip negara adidaya itu.
Jika dihubungkan dengan banyak peneliti Barat (contohnya Francis Fukuyama dan Thomas Friedman) yang memandang bahwa jalan kemakmuran adalah kapitalisme/liberalisme sementara sosialisme akan menemui kegagalan atau kemelaratan, apakah Tiongkok yang maju sekarang ini meninggalkan sosialisme? Jawabannya ternyata tidak. Gaige Kaifang tidak meninggalkan sosialisme, melainkan hendak menempuh jalan “Sosialisme dengan Karakter Tiongkok.”
Bukti bahwa sosialisme tidak ditinggalkan adalah sampai saat ini Tiongkok menolak keras pasar bebas (laissez faire), dan memilih kebijakan pengendalian pasar di tangan negara. Adapun mengenai munculnya para konglomerat dan terciptanya ketimpangan sosial, Tiongkok di bawah Xi Jinping segera mengambil kebijakan tegas untuk fokus pada pemerataan ekonomi dan pemberantasan kemiskinan demi meraih kemakmuran bersama. Sebagaimana retorika Xi Jinping yang dianggap meresahkan segelintir kaum kaya mengenai redistribusi kekayaan oleh penguasa “Kemakmuran bersama adalah kemakmuran semua orang, bukan kemakmuran segelintir orang.”
Jalan sosialisme Tiongkok saat ini memang berbeda dengan jalan sosialisme Barat, atau jalan yang ditempuh oleh pendiri PKT, yakni Mao Zedong. Namun, jalan Mao tak pernah ditinggalkan sebab bagaimanapun, ia telah member landasan kuat bagi PKT. Maka, yang paling tepat kiranya adalah mengawinkan marxisme dengan konfusianisme, suatu ajaran yang menjadi jatidiri bangsa Tiongkok sejak ribuan tahun silam. []
*Penulis aktif di Gerakan Alternatif 21