Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Komisi XI DPR Desak Pemerintah Perbaiki Catatan Utang

Komisi XI DPR Desak Pemerintah Perbaiki Catatan Utang



Berita Baru, Jakarta – Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menggelar diskusi daring bertajuk ‘Utang Meningkat, Kapasitas Fiskal Mengkeret’ melalui Twitter Space ada Selasa, 6 Juni 2023, kemarin. Hadir tiga narasumber pada acara tersebut, diantaranya Anggota Komisi XI DPR RI Muhammad Misbakhun dan Peneliti INDEF Eisha M Rachini serta Riza Annisa Pujarama.

Dalam paparannya, Misbakhun menyampaikan bahwa pembicaraan ihwal utang negara sebaiknya dibicarakan dalam rangka membangun sebuah konsep ‘cara menghitung utang’. Namun yang terjadi selama ini pemerintah sepertinya belum bisa mendeskripsikan sepenuhnya konsep utang. 

“Yang selama ini dicatat dan diakui oleh pemerintah dalam laporan Keuangan Pemerintah pusat yang terdapat Neraca Keuangan. Neraca harus menggambarkan semua jumlah utang negara,” kata Misbakhun sebagaimana dikutip dari hasil resum INDEF, Rabu (7/6).

“Yang dicatat selama ini dalam setiap keterangan dan penjelasan yang dilakukan pemerintah tentang utang kita belum melewati batas dan belum melanggar ketentuan konstitusi. Harus disampaikan, bahwa konsep itu harus diperbaiki nalar berpikirnya,” sambunguya. 

Misbakhun menilai, perbandingan yang disampaikan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani yang selalu menyebut utang RI masih 39% dari PDB, dengan utang USA, Inggris, Jerman dan Jepang yang hampir 200% terhadap PDB Jepang adalah perbandingan yang tidak aple to aple dan tidak fair. 

“Karena yang dicatat oleh pemerintah 39% PDB itu hanya utang terkait pembiayaan APBN. Sebetulnya pemerintah punya utang lain yang memberikan risiko kepada APBN dan keuangan negara,” jelasnya.

Misbakhun pun mengingatkan, pada Pasal 12 UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara, ayat 3 menyebutkan rasio utang pemerintah maksimal 60% PDB. Rasio 60% itu tidak disebutkan rasio utang atas pembiayaan APBN, tapi dinyatakan rasio atas utang yang bersifat umum. Tercantum juga rasio defisit max 3 % APBN. rasio 60% dan 3% tidak pada norma pasal, tapi dicantumkan dalam penjelasan Undang-undang.  

“Selalu diusulkan oleh parlemen komisi XI agar penyebutan angka rasio utang itu disebutkan pada batang tubuh Undang-undang, dan bukan pada penjelasan UU. Namun pemerintah menolak,” tegas Misbakhun.

Baginya, semua utang perlu dihitung, karena memitigasi risiko gagal bayar harus dimulai dari sistem pencatatan. Di Singapura, tabungan warga RI dicatat sebagai utang oleh negara. Pelajaran saat Krismon 1998, semua utang swasta tiba-tiba menjadi kewajiban pemerintah karena pemerintah memutuskan untuk mem-bailout utang swasta. 

“Itu akibat kita tidak memitigasi risiko utang. Jadi utang jaman pak Harto yang semula hanya Rp900 triliun, tiba-tiba melonjak menjadi Rp1400 triliun lebih karena ada tambahan Rp600 triliun utang baru. Akibat bailout utang swasta di BLBI dan menerbitkan obligasi rekap untuk itu,” urainya.

Menurut Misbakhun, yang mengerikan apabila saat ini utang RI Rp7500 triliun akan berisiko alami pelonjakan utang karena ada angka utang yang tidak dicatat. Oleh karena itu pada utang BUMN harus diakui sebagaimana sistem akuntansi pemerintahan yang disepakati IFRS, sebagai pemegang saham kita mengakui saham tapi tidak mencatat utang di aset pemerintah. 

“Padahal kalau belajar dari sejarah risiko sebagai pemegang saham utang BUMN oleh pemerintah digolongkan sebagai continjence debt. Sehingga dengan alasan sebagai kekayaan negara yang dipisahkan, maka tidak dicatat risiko pencatatan utangnya,” sebut Misbakhun.

Dijelaskan Misbakhun, istilah keuangan negara dipisahkan sebenarnya dalam pengelolaan, tapi tidak dalam risiko. Ia mencontoh kasus BUMN-BUMN yang dipailitkan seperti pabrik Kertas Letjes, Merpati, kertas Basuki Rahmat, atau lain-lain dimana pemerintah bertanggung jawab penuh dan menggunakan skema APBN. 

“Yang paling akhir adalah kasus Jiwasraya sebesar Rp20 triliun. Itu mempengaruhi postur belanja APBN melalui mekanisme PMN (Penyertaan Modal Negara) yang menjadi kunci, bahwa risiko utang itu mempengaruhi langsung cara kita mengelola ruang fiskal APBN. Kenapa kita hanya mencatat aset dan tidak mencatat utangnya? Padahal angka Rp20 triliun itu semula tidak nampak dalam neraca kita,” sambungnya kemudian.

“Sama dengan kasus BUMN Garuda yang gagal membayar leasing lalu di PKPU. Itu juga tidak tergambar sebelumnya dalam neraca APBN, hanya tergambar bahwa kita punya modal sekian triliun di Garuda. (Pengeluaran/belanja PMN itu digunakan untuk membayar BUMN yang bangkrut padahal itu membayar utang tapi dicatat sebagai PMN),” ujar Misbakhun.

Selanjutnya, Misbakhun juga menyampaikan terkait Dana Pensiun PNS yang  juga tidak dicatat/dicadangkan. Sementara yang dilakukan hanya mencadangkan kewajiban-kewajiban yang jatuh tempo terkait ASABRI dan Jiwasraya yang jatuh masa manfaat simpanannya yang dibayar oleh APBN via ASABRI. 

“Beban langsung bulanan pensiun dikeluarkan, tetapi tidak pernah dicadangkan sebelumnya. Padahal kalau tidak disediakan mekanismenya hal itu akan terus menjadi beban APBN terus menerus,” katanya.

Dengan tegas Misbakhun menyebut, sampai saat ini Komisi XI DPR tidak pernah menemukan konsepsi-konsepsi keuangan tentang hal hal di atas. Padahal kebutuhan perubahan sudah sangat urgen dibangun konstruksi dana pensiun itu dalam seperti apa, metode, penghitungan, ASN pusat seperti apa, dan ASN daerah seperti apa, begitu juga TNI/Polri. 

“Itu akan mengoverhaul secara besar-besaran cara kita menghitung dana pensiun. Hal yang memberikan dampak aktuaria karena negara memang harus menanggung. Kalau dana pensiun terjadi gagal bayar, maka yang menanggung adalah APBN,” katanya.

“Kasus-kasus aksi protes pensiun di luar negeri adalah kasus bagaimana metode menghitung pensiun. di Perancis juga ramai dalam penetapan cara menghitung umur pensiun. Metodologi sudah selesai di masalah pensiun Perancis,” jelas Misbakhun.

Terakhir, Misbakhun mendorong agar pemerintah mengambil keputusan politik penting untuk memperbaiki cara mencatat utang. Sehingga dapat diketahui secara pasti berapa persen rasio serta risiko utang yang ada. Manfaatnya risiko gagal bayar bisa diantisipasi baik di BUMN, Surat utang negara, dan dana pensiun. 

“Sayangnya Menteri Keuangan ketika disampaikan hal hal penting di atas tidak menyambut dengan baik,” tegas Misbakhun.

“Saat ini utang terdapat 3 kategori yakni 1. Utang pembiayaan APBN, 2. Utang BUMN – kontinjensi debt, 3. Utang aktuaria – kewajiban dana pensiun kepada ASN dan TNI/Polri,” pungkasnya.