Koalisi Masyarakat Sipil Hadir dalam Sidang Penganugerahan Pangkat Kehormatan kepada Prabowo Subianto
Berita Baru, Jakarta – Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas, yang terdiri Keluarga Korban Penghilangan Paksa 1997-1998, KontraS, Imparsial, AMAR, LBH Jakarta, YLBHI, serta berbagai organisasi dan individu lainnya, mengikuti sidang di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta pada Kamis (5/9/2024).
Sidang ini terkait gugatan terhadap penganugerahan Pangkat Kehormatan Jenderal TNI kepada Letnan Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto, yang didaftarkan pada 28 Mei 2024 dengan nomor perkara 186/G/2024/PTUN.JKT.
Dalam sidang tersebut, Majelis Hakim mendengarkan keterangan dari para ahli yang dihadirkan oleh Koalisi, termasuk Dr. Herlambang Perdana Wiratraman, S.H., MA, ahli hak asasi manusia, dan Made Supriatma, seorang ahli militer. Penganugerahan pangkat kehormatan oleh Presiden Joko Widodo pada 21 Februari 2024 kepada Prabowo Subianto memicu pertanyaan mendalam mengenai penggunaan hukum untuk melanggengkan pelanggaran hak asasi manusia.
Dr. Herlambang Perdana Wiratraman menyebutkan, “Penghargaan atau pangkat kehormatan yang diberikan kepada individu dengan catatan pelanggaran hak asasi manusia berat dapat dianggap sebagai bentuk normalisasi atau pembenaran terhadap tindakan abusif.”
Hal ini menandakan bahwa penghargaan kepada pelanggar hak asasi manusia tidak hanya mengabaikan tindakan mereka, tetapi juga memberi sinyal bahwa pelanggaran semacam itu dapat diterima atau bahkan dihargai.
Normalisasi pelanggaran hak asasi manusia ini dapat memiliki dampak jangka panjang yang merugikan, termasuk melemahkan komitmen negara terhadap perlindungan hak asasi manusia dan merusak kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga negara serta sistem hukum secara keseluruhan. Dalam konteks negara hukum, Pasal 28I ayat 4 UUD 1945 menggarisbawahi tanggung jawab negara untuk melindungi dan menegakkan hak asasi manusia.
Namun, keputusan Presiden Jokowi untuk menganugerahkan pangkat kehormatan kepada Prabowo Subianto tampaknya bertentangan dengan mandat konstitusi tersebut. Penganugerahan ini, bagi yang terduga terlibat dalam pelanggaran berat HAM seperti kasus Penculikan dan Penghilangan Paksa 1997-1998, bisa dianggap sebagai pengabaian terhadap tanggung jawab konstitusi untuk melindungi hak asasi manusia.
Mengacu pada buku Elizabeth F. Drexler, Infrastructures of Impunity, keputusan ini mencerminkan bagaimana hukum dan politik sering melindungi individu dari tanggung jawab pelanggaran berat, bukan menegakkan keadilan. Made Supriatma menambahkan bahwa keputusan ini dapat merusak profesionalisme TNI dan masa depan prajurit, menggambarkan bagaimana hukum dapat dipolitisasi untuk kepentingan tertentu dan bukan untuk menyelesaikan masalah hak asasi manusia.
Keputusan Presiden Joko Widodo untuk memberikan pangkat Jenderal TNI Kehormatan kepada Prabowo Subianto menunjukkan bagaimana hukum bisa digunakan untuk melanggengkan pelanggaran hak asasi manusia alih-alih menyelesaikannya. Keputusan ini memperlihatkan bagaimana hukum dapat dipolitisasi, memperburuk ketidakadilan, dan menciptakan ilusi bahwa pelanggaran hak asasi manusia telah diatasi padahal masalah tersebut masih belum terselesaikan.