Kita Tak Mati Hari Ini | Puisi-Puisi Khodyani Achmad
Kita Tak Mati Hari Ini
Buat Kim
Sepasang mata menahan kantuk
Seharian, nasib terbuat dari asap rokok dan sebidang angin
Kita tak mati hari ini walau letak ajal
Di ujung telunjuk
Kota selalu merampas nyawa;
Kota hantu-hantu, meneror nyali, tentu tak ada
Sekadar tempat sembunyi
Gang-gang kumuh mirip labirin
Rumah semi permanen
Sungai hitam
Gedung bertingkat
Monumen perjuangan
Pagi masih jadi pagi, matahari hangat kuku
Membikin keringat di kemeja flannel, topi bintang merah
Kepala berhenti berpikir, kafein menumpuk di dinding lambung. Migrain,
Asam lambung, penyakit pencernaan, tekanan darah
Dan apa saja yang datang dan menempel di tubuh
Dan tak lekas sembuh
Tapi kita tak mati hari ini, di jam-jam sibuk
Bus berhenti, berjalan, sebentar, berhenti-jalan
Paru-paru—sesak napas
Udara berlubang dan hitam
Sore masih sore yang sama, Busway penuh
Berebut tempat dan oksigen dan mimpi
Sore masih sore yang sama, Commuter Line stop operasi
Rel tergenang air, listrik mati
Kemudian, tak ada yang mau menunggu dan pasrah
Orang-orang berlari, kekacauan datang
Cemas ditebar di langit-langit Jakarta
Kita tak mati hari ini
Selanjutnya, seterusnya
Tangerang ke Manggarai
Bangku penuh
Waktu tak memberi tempat
Buat secuil keluh
Dari gerbong ke gerbong
Segala upaya
Menuntaskan hari
Tangerang ke Manggarai
Kemiskinan tak diiklankan
Pada layar-layar digital
Sedang di balik jendela
Banyak mimpi tertukar
Di atas sebentang tikar
Di KRL nasib melaju
Kita dipaksa tak bicara apa-apa
Dan hanya menunggu
*
Sungai-sungai hitam
Seorang anak mati tenggelam
Kita melesat dan melupakan
Di Hadapan Sate Bekicot
Antara lumpur dan rempah
Mimpi susah-payah terbit
Jalanan masih ramai
Kutuk-sumpahi peradaban
Adakalanya sekali waktu aku mau
Datang ke kota ini membawa segenggam
Lapar yang sempat percaya
Hari lain semisal terang lampion
Atau seredup dosa di tubuhku
Kau tetap tak beranjak
Hidup dalam pikiran sendiri
Membikin kemacetan panjang
Di utara Jawa yang terbuat dari
Kematian dan kematian selanjutnya
Antara lumpur dan rempah
Ruang dalam lambungku begah
Melempar waktu
Dari warung ke warung, lapar yang lain
4.04
Kita baringkan lagi tubuh kita dan aku masih meracau
Di luar terus hujan; tangis orang tua, tawa anak-anak
Tapi aku tidak perduli apa-apa selain hari ini, sambil membayangkan
Matiku disini, lompat dari lantai ke lima cuma mengenakan pakaian dalam.
Awan muram, suara langkah kaki di dorong menyita setengah pendengaran
Kau masih memikirkan akan makan apa hari ini, menggulir handphonemu
Yang retak. Kini nyaliku kerdil dan nafas yang tipis kubagi-bagi, di kamar ini
Tak ada tangisan, cuma lagu mellow tahun dua ribu sekian memadat di dadaku.
Aku tak berharap apa-apa di sini, selain tubuh menggigil dan hujan terus badai
Hingga aku lanjut tidur; tak kerja dan jatuh miskin di kota yang banyak maunya ini.
Di hadapan tubuhmu aku tak ingin apa-apa, waktu yang sunyi
Dan tak ada apa-apa.
Perempuan dan Museum
Di sana dan kini segalanya adalah kenangan
Kita saksikan nyali pada wajah siapa saja yang kita temui
Duapuluh sembilan bendera yang tak kita hafal berkibar
Ketika dadaku kobar dan cemas kau simpan
Di belakang bilik-bilik pigura hasil kesepakatan.
Mari kuceritakan sedikit soal Zhou Enlai atau Bung Karno
Meski nyali dan siasatku tak secerdik mereka
Membakar podium atau lepas dari maut
Yang membuntuti langkah ragu lelakiku.
Waktu tinggal sunyi seperti nasib sejarah
Aku pernah bermimpi jadi tokoh revolusi
Besar dan berani dari puting dan kecemasanmu.
Tak ada Soviet atau USA
Tinggal kita dan dingin perang itu.
Perempuan dan Museum, 2
Di hadapan sepotong lukisan
kecemasan turut membesar
Bolehkan kita menyentuhnya
meski cuma seujung kuku?
Kau sembunyikan dirimu
di balik Risperidon
tapi badai yang kau tutup
suatu waktu perlu meletup
Museum terbuat dari karam kapal,
sampah plastik, dan peradaban
Kota telah maju seribu kali
Tetap menimbulkan ketakpastian
Bolehkah aku berlayar
kemudian menyelam
Mati bersama keramik
Dinasti Ming-Qing
Aku telah sampai di ruang pengap,
lampu redup, dan bau cat akrilik
Ada seekor kumbang
hinggap pada kanvas kusam
Suatu waktu aku
akan jadi pelukis
Membikin kredo
sendiri, selalu sendiri
Mari kita masuk lebih dalam
lalu kuceritakan bagaimana
seekor lalat hijau memburu
setengah juta sapi
Di Bali, di Medan, di seluruh Jawa
Tapi jangan ceritakan
Pada siapapun
Walau sedikit kata
Nanti aku jadi sejarah
Dan tak pernah kau baca
Khodyani Achmad, usia 27 tahun dan bersyukur belum mati, mukim di Tangerang. Instagram: @odailyis