Kian Memburuk, Tingkat Demokrasi Indonesia Lebih Rendah dari Timor Leste
Berita Baru, Jakarta — Berdasarkan rilis tahunan The Economist Intelligence Unit (EIU) pada 22 Januari 2021, indeks demokrasi di Indonesia turun ke peringkat 64 dengan skor 6,3 dalam skala 1-10.
Skor tersebut lebih rendah dari Malaysia, Filipina, dan bahkan Timor Leste. Dibanding beberapa tahun sebelumnya, peringkat ini adalah urutan yang paling rendah selama kurun waktu 14 tahun terakhir.
Beberapa lembaga survei menyebut, kemerosotan tersebut berhubungan dengan tingkat ketakutan masyarakat dalam berpendapat.
Menurut riset yang dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada Desember 2020, sejumlah 29,4 persen masyarakat mengaku tidak bebas untuk memberi masukan kepada pemerintah.
Hasil senada juga dirilis oleh Indikator Politik Indonesia. Dalam surveinya yang dilakukan pada 24-30 September 2020 dipaparkan, sebanyak 47,7 persen responden cenderung setuju bahwa warga semakin takut untuk mengkritik pemerintah dan 21,9 persennya sangat setuju.
Apa yang terjadi di jagad maya justru menunjukkan gejala yang lebih memilukan.
Hasil survei Indonesia Youth IGF, SAFEnet, dan Pamflet Generasi pada 11 Februari 2020 menyatakan, 56 persen warganet tidak merasa bebas untuk mengungkapkan apa yang mereka rasakan terkait pemerintah di media sosial.
Pemberi Masukan Terancam UU ITE
Takutnya masyarakat untuk memberi masukan kepada pemerintah bukan tanpa alasan. Meningkatnya jumlah penggunaan UU ITE untuk menjerat mereka yang telah berupaya mengkritik pemerintah cukup membuat masyarakat berpikir dua kali sebelum menulis atau menyuarakan kritiknya.
Menurut Amnesty International, sepanjang 2020 ada 101 kasus pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi menggunakan UU ITE.
Dalam 6 tahun terakhir, angka ini menempati urutan teratas dibandingkan dengan 2 kasus pada 2014 dan 6 kasus tahun 2015, sebelum melonjak menjadi 31 kasus pada 2016, 71 kasus tahun 2017, dan 94 kasus pada 2018.
Meskipun sempat melandai di angka 78 kasus pada 2019, jumlahnya kembali naik signifikan pada tahun 2020.
Salah satu yang ditangkap menggunakaan UU ITE adalah Jumhur Hidayat, Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). Ia ditangkan dengan tuduhan menyebarkan ujaran kebencian melalui akun Twitternya pada 13 Oktober 2020.
Dalam konferensi pers yang diadakan di Bareskrim Polri pada 15 Oktober 2020 tahun lalu, Irjen Polisi Argo Yuwono menyatakan bahwa salah satu yang menjadikan Jumhur Hidayat layak ditangkap adalah cuitannya yang berbunyi, “Undang-undang memang primitif, investor dari RRT, dan pengusaha rakus”.
Setelah itu, pada 15 Desember 2020 Komnas HAM juga merilis hasil survei tentang hak atas kebebasan berpendapat di Indonesia.
Aparat negara yang dianggap paling berpotensi melanggar kebebasan berpendapat adalah Polri dengan skor 34,9 persen.
Setelah Polri ada Aparat Pemerintah Pusat 31,0 persen, Pemda/Aparat Pemda 19,6 persen, TNI/Aparat TNI 17,1 persen, dan bahkan Intelijen/Badan Intelijen Negara (BIN) 6,9 persen.
Ajakan Kritik Harus Jadi Kebijakan
Di sisi lain, beberapa data ini dianggap bertentangan dengan pernyataan Presiden Jokowi beberapa waktu silam, yang mengajak masyarakat lebih aktif dalam memberi masukan dan kritik untuk pemerintah, khususnya yang berhubungan dengan pelayanan publik.
Tentang hal ini, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menyebut, boleh jadi pernyataan Presiden di atas sebenarnya adalah respons terhadap hasil survei, hanya saja masih dalam bentuk omongan.
“Harusnya, itu tidak berhenti di omongan, tetapi dilanjutkan ke bentuk implementasi kebijakan seperti menghimbau kepada Aparat Polri untuk tidak mudah melakukan kriminalisasi, memerintahkan Kapolri untuk mencabut surat-surat telegram yang membatasi kebebasan sipil, dan sebagainya,” ujar Asfinawati dikutip dari wawancara dengan Narasi.