Keterancaman Pulau Jawa dan Urgensi Mendorong Adanya Kebijakan Iklim
Wahyu Eka Setyawan
(WALHI Jatim)
Perubahan iklim menjadi salah satu ancaman yang cukup serius bagi keberlanjutan manusia dan ekosistem di Pulau Jawa. Hampir di seluruh provinsi di Pulau Jawa merasakan dampak dari perubahaan iklim, mulai dari peningkatan bencana hidrometeorologi, terancamnya kawasan pesisir karena semakin tingginya permukaan air laut, sampai persoalan ketahanan pangan. Sebagai catatan, pulau Jawa sebagai pusat ekonomi dan industri telah bertransformasi secara tata ruang dan tata kelola. Akibatnya banyak persoalan yang mengancam keberlanjutan ekosistem di pulau ini, salah satu yang menjadi fokus adalah mulai berkurangnya kawasan hutan di pulau ini.
Berdasarkan data dari Global Forest Watch sepanjang 2001-2020 di empat provinsi yang memiliki kawasan hutan, seperti Banten telah kehilangan 992 ha hutan primer basah, menyumbang 2.4% dari total kehilangan tutupan pohon. Area total hutan primer basah di Banten berkurang 1.5%. Jawa Barat kehilangan 2.200 ha hutan primer basah, menyumbang 2.8% dari total kehilangan tutupan pohon. Area total hutan primer basah di Jawa Barat berkurang 1.2%. Jawa Tengah kehilangan 454 ha hutan primer basah, menyumbang 0.89% dari total kehilangan tutupan pohon. Area total hutan primer basah di Jawa Tengah berkurang 0.82%. Terakhir, Jawa Timur kehilangan 11.000 ha hutan primer basah, menyumbang 12% dari total kehilangan tutupan pohon. Area total hutan primer basah di Jawa Timur berkurang 4.5%. Semua kehilangan tersebut terjadi selama 20 tahun terakhir. Kondisi ini menunjukkan bahwa berkurangnya kawasan hutan di Jawa turut menyumbang lepasan karbon hingga mencapai 830.1kt (kiloton) hanya untuk di empat provinsi yang kehilangan tutupan hutan primer basahnya, kondisi tersebut menjadi salah satu faktor pokok dalam menyumbang perubahan iklim, selain faktor emisi dari sektor lain seperti industri manufaktur, tambang dan aktivitas masyarakat.
Situasi semakin peliknya persoalan iklim di pulau Jawa juga tercermin dari data bencana hidrometeorologi yang berhasil dihimpun. Terjadi tren peningkatan bencana hidrometeorologi di Pulau Jawa, merujuk data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana, sepanjang tahun 2020, mulai dari Banten terjadi 92 bencana, lalu DKI Jakarta 22 bencana, Jawa Barat 942 bencana, Jawa Tengah 1021 bencana, Yogyakarta 36 bencana dan Jawa Timur 251 bencana. Secara lebih rinci data yang dihimpun dari beberapa sumber provinsi Jawa Barat pada 2016 tercatat 500 bencana di wilayahnya. Ada catatan tahun 2017 terjadi 1200 kejadian bencana, lalu tahun 2018 terdapat 1500 bencana. Data terbaru sepanjang 2021 terdapat 2.400 kejadian bencana di Jawa Barat. Secara rinci yakni tanah longsor sebesar 843 kali, angin kencang 461 kali dan banjir 279 kali kejadian bencana. Sementara Jawa Tengah sepanjang tahun 2020 terjadi kejadian tanah longsor 172 kali, banjir 150 kali, kekeringan 7 kali, karhutla 7 kali, puting beliung 179 kali. Lalu Yogyakarta terjadi peningkatan bencana dari tahun sebelumnya, tercatat sepanjang 2020 terdapat kejadian longsor 436 kali, banjir 13 kali, angin kencang 162 kali. Terakhir Jawa Timur, terdapat 309 bencana di sepanjang Januari-Desember 2021. Antara lain banjir 166 kejadian, 61 bencana angin kencang, 12 banjir bandang, 30 tanah longsor, 19 angin puting beliung, 6 gempa bumi dan 14 bencana lainnya (gerakan tanah, abrasi, banjir rob, gunung api serta karhutla). Sebelumnya pada tahun 2019 dengan jumlah kasus sebesar 620 kasus.untuk bencana hidrometeorologi, di mana banjir sejumlah 99 kali, longsor 181 kali, angin kencang 267 kali dan kahutla 93 kali.
Sementara itu problem terkait perubahan iklim menjadi kawasan-kawasan di pulau Jawa semakin rentan. Peningkatan suhu di beberapa kota besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta dan Surabaya yang kurang lebih ada peningkatan sekitar 2-3 derajat dalam 20 tahun terakhir jika merujuk dari data BMKG. Tidak hanya kota-kota besar, kota yang berada di hulu yang sedianya merupakan kawasan dengan suhu dingin juga mulai mengalami perubahan signifikan, contoh kasus di Jawa Barat yakni di wilayah Puncak, Bogor, lalu Lembang, sementara di Jawa Tengah kota seperti Salatiga juga mulai mengalami perubahan suhu udara, terakhir di Jawa Timur yakni Malang dan Batu yang mulai panas, salah satu yang terlihat terutama di Kota Batu yakni peningkatan suhu udara telah berdampak pada terancamnaya ikon kota tersebut yakni tanaman apel.
Problem perubahan iklim selain suhu udara yakni terancamnya wilayah pesisir utara Jawa oleh peningkatan permukaan air laut hingga bencana gelombang pasang yang turut mendorong abrasi, seperti yang terjadi di sepanjang pesisir utara Banten, DKI Jakarta, lalu Semarang yang menjadi langganan banjir rob sampai di wilayah sekitarnya seperti Demak di mana beberapa kampung telah tenggelam, terakhir Kota Surabaya abrasi telah mendorong kerentanan di kampung-kampung nelayan, di mana mereka harus berhadapan dengan banjir rob yang intensitasnya semakin sering.
Dampak dari persoalan ini masih belum menjadi perhatian yang serius bagi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah di ke enam provinsi tersebut. Meskipun dalam COP ke 26 di Glasgow ada komitmen untuk melawan perubahan iklim tetapi belum ada regulasi utuh yang menaunginya, praktis hanya UU No. 16 Tahun 2016 terkait pengesahan Paris Agreement yang secara praktik diikuti oleh beberapa provinsi salah satunya Jawa Tengah. Namun aturan tersebut belum cukup, apalagi aturan tersebut masih sebata berbicara mitigasi iklim, belum terlihat upaya perubahan yang signifikan. Bahkan dalam perumusan aturan hingga yang berkaitan kebijakan iklim, masyarakat sipil masih belum dilibatkan, artinya secara keseluruhan di Pulau Jawa belum ada partisipasi masyarakat sipil yang utuh untuk mendorong kebijakan iklim sebagai upaya melawan perubahan iklim, khususnya melihat kondisi pulau Jawa yang semakin terancam. Sehingga penting kiranya dalam upaya mendorong komitmen melawan perubahan iklim, serta secara keseluruhan menjadi upaya menyelamatkan bumi. Pemerintah perlu membuka ruang partisipasi yang luas untuk masyarakat sipil dan komunitas ilmiah untuk membahas bersama upaya menanggulangi perubahan iklim. Terakhir, kebijakan dan regulasi iklim menjadi faktor mutlak yang harus didorong ke depan, dalam upaya menjalankan mandat Paris Agreement dan COP 26 Glasgow.