Kerja-Kerja Intelektualitas dan Kebudayaan Irfan Afifi
Berita Baru, Tokoh – Tak banyak pemuda yang berani mengabdikan hidupnya pada pekerjaan yang tidak bersinggungan dengan uang. Menjadi pemikir, misalnya. Di Indonesia, berbeda dengan beberapa negara yang mampu menyejahterakan warganya yang fokus untuk memikirkan hal-hal abstrak, kita belum memiliki sebuah kebijakan yang bisa memonetasi hasil pemikiran. Apalagi pemikiran dalam wilayah filsafat dan kebudayaan.
Akibatnya, kebudayaan kita berjalan tanpa arah. Sebab tak banyak yang mau memikirkan dan mencoba meraba-raba laju kebudayaan di masa yang akan datang. Bukan karena negara kita kekurangan orang pintar dan pemikir, tetapi lebih disebabkan oleh ketiadaan penghidupan pada wilayah tersebut. Kebanyakan orang akan berpikir menjadi pejabat publik, politisi, membangun bisnis, atau “wilayah basah” lainnya agar bisa hidup sejahtera.
Begitulah Irfan Afifi, pendiri Ifada Creativa dan langgar.co, memperkenalkan dirinya dalam #BERCERITA30 yang diadakan beritabaru.co, Selasa (12/01). Dia bercerita, bagaimana setelah lulus kuliah di UGM Fakultas Filsafat, dia harus memasuki dunia pekerjaan, menyibukkan diri dengan target kerja sehari-hari, dan mengubur dalam-dalam segala kegelisahannya tentang literatur dan pemikiran.
Dipandu oleh Nafisa Nainawa, Irfan menjelaskan, pada masa-masa itulah ketika kegalauannya untuk bertahan dalam dunia intelektual (tanpa naungan badan penyedia dana) atau bekerja sebagaimana orang-orang pada umumnya. Dia kuliah di Fakultas Filsafat, suatu wilayah kuliahan yang akan sangat susah memasuki dunia pekerjaan. Ditambah lagi ketekunannya pada pemikiran para leluhur Nusantara, wilayah dengan pendengar yang tidak banyak.
Lantas, pada tahun 2011, dia benisiatif mendirikan Ifada Creativa, sebuah lembaga kebudayaan yang bergerak dalam pemikiran kenusantaraan. Itu setelah dia menerbitkan buku pertamanya, Saya, Jawa dan Islam. Buku itu, kata Irfan, justru menajamkan visinya untuk menekuni pemikiran kebudayaan.
“Untuk bisa tetap belajar dan membaca,” demikian tujuan Irfan mendirikan Ifada Creativa. Maka, dengan visi itu, Ifada Creativa berfokus pada dua hal. Pertama, melakukan diskusi dan pertemuan untuk membahas pemikiran luhur orang-orang Nusantara. Kedua, menerbitkan buku-buku yang terkait dengan nalar intelektual dan Nusantara. Lewat penerbitan, Irfan mencoba menghidupi seluruh kegiatan serta orang-orang yang berkumpul di dalamnya.
Ifada, dengan segala keterbatasannya, telah melaksanakan bermacam inisiatif yang cukup memuaskan. Salah satunya, cerita Irfan, mereka pernah mengadakan diskusi sekitar satu bulan penuh di UGM membahas tentang pemikiran kenusantaraan.
Sayangnya, usia Ifada Creativa tidak bertahan lama. “Setelah mengadakan diskusi di UGM, lini penerbitan Ifada collapse karena masalah manajerial keuangan.” Ifada menambah daftar panjang berbagai upaya yang dilakukan oleh orang-orang yang berani nguri-nguri kebudayaan dan selalunya terbentur pada masalah keuangan.
Irfan cukup lama tidak melakukan inisiatif organisasional untuk melanjutkan cita-citanya. Sejak Ifada tutup, dia butuh waktu beberapa tahun untuk memantapkan hati dan mendirikan langgar.co. Usianya baru sekitar dua tahun, dengan keanggotaan yang begitu terbuka dan dengan anggota yang keluar-masuk.
“Semangatnya sama, untuk menekuni nalar kebudayaan.” Bahkan dengan semangat monetasi yang sebenarnya masih sama: tak begitu memikirkan uang. Langgar.co, bagaimanapun, adalah kelanjutan dari cita-cita luhur Irfan untuk memikirkan arah masa depan kebudayaan.
Namun dengan format yang telah diperbaharui. Selain tetap menjalankan lini penerbitan buku dan diskusi, langgar.co juga menggunakan basis website untuk menerbitkan tulisan-tulisan yang memiliki visi yang sama. Bahkan sama dalam visi “keikhlasannya”.
“Sudah ada sekitar 200-300 penulis yang mengirimkan tulisan mereka ke langgar.co. Dan hingga hari ini Langgar belum pernah memberikan honor kepada penulis.” Nyatanya, di dunia ini, masih banyak orang yang secara sukarela mengirimkan tulisan ke Langgar. Ini mengindikasikan bahwa Irfan tak sendiri menekuni “wilayah kering” ini.
Meski begitu, Irfan tidak sembarangan dalam menerima tulisan. “Pernah ada seorang doktor yang mengirim tulisan ke kita. Tulisannya bagus. Tapi karena semangatnya tidak sesuai dengan visi kita, kita kembalikan.”
Dengan semangat itu pula, Irfan menyadari bahwa tak akan ada banyak pembaca yang singgah di website tersebut. “Dan memang bukan seberapa banyak pembaca yang membuka langgar.co setiap hari,” tegas Irfan, “tetapi akan dibaca oleh orang yang tepat, oleh orang yang butuh.” Keberadaan website yang tidak memedulikan monetasi di masa sekarang, rasa-rasanya memang berada dalam ruang lingkup yang kecil, dibaca hanya oleh sebagian kecil orang, dan menghasilkan profit yang juga kecil.
Bahkan kini langgar.co mulai melebarkan rubrik, dengan menambah rubrik puisi. Tidak main-main, semua tulisan yang diterbitkan di rubrik ini adalah hasil kurasi dari sastrawan ternama, Raudal Tanjung Banua. “Tulisan yang masuk di rubrik puisi jauh lebih banyak. Dan banyak pula yang terpaksa tidak kami terbitkan.”
Ketika ditanya bagaimana cara menjadi bagian dari langgar.co, Irfan menegaskan bahwa siapa saja boleh masuk dan menjadi bagian dari media tersebut. Asal dengan visi yang sama, untuk menghidupkan pemikiran kebudayaan. Terkait penggajian, kata Irfan, “Mari kita bekerja bersama untuk bisa menggaji diri sendiri.”
Diakui Irfan, saat ini penopang utama langgar.co berasal dari donator dan hasil penjualan buku yang mereka terbitkan. Pada Desember 2019 lalu, Langgar telah menerbitkan sebuah buku terjemahan, Jawa-Islam di Masa Kolonial, merupakan kumpulan tulisan dari Nancy K. Florida, seorang pemerhati kebudayaan Indonesia, yang diterjemahkan oleh Irfan Afifi sendiri.
Irfan mengatakan, akan menerbitkan lagi sebuah buku yang merupakan kumpulan tulisan terpilih yang pernah disampaikan dalam diskusi Suluk Kebudayaan Indonesia. “Kita sedang mempersiapkan sebuah buku yang rencananya terbit bulan Januari ini. Selain itu, ya, ngopi-ngopi.”
Berdaulat sampai ke Akar
Mungkin kita akan bertanya, apakah menjadi pemikir memang harus miskin? Permasalahannya tidak sesederhana itu. Bisa jadi karena pikiran kita yang telah disederhanakan oleh permasalahan pribadi. Kita terbiasa melakukan apa saja, mengorbankan cita-cita luhur, demi bisa hidup sejahtera dalam pandangan ekonomi modern.
Tetapi kita melupakan soal kemandirian. Bahkan kita tidak mandiri dalam menenetukan nilai kesejahteraan sesuai dengan kebudayaan yang telah digariskan oleh para leluhur. Penilaian orang-orang hari ini cenderung seragam, tanpa pernah mempertanyakan ulang apakah kesejahteraan dengan memiliki berbagai asset pribadi telah sesuai dengan pandangan kita sebagai orang Indonesia. Apa yang membedakan kesejahteraan orang-orang di Eropa, misalnya, dengan kesejahteraan dalam pandangan orang Indonesia sendiri.
“Bangsa yang tidak mengenal diri sendiri pasti mengekor ke bangsa lain,” begitu Irfan mengingatkan ketika membicarakan tentang Suluk Kebudayaan Indonesia, sebuah diskusi rutinan yang telah berjalan beberapa kali. Diskusi ini, lanjutnya, terhenti karena pandemi corona. “Januari ini rencananya mau diadakan lagi Suluk Kebudayaan Indonesia, tapi sampai sekarang belum bisa terlaksana.”
Menurut Irfan, kemandirian kita dikikis habis sejak masa kolonialisme. Dalam mencari kesejahteraan, terutama arah kita berbudaya. Proses kolonialisme mencerabut kita dari akar. Sehingga, segala yang menjadi cara kita menilai, cara kita berkebudayaan, begitu jauh dari cita-cita yang luhur.
Untuk bisa mandiri, kata Irfan, “Harus dimulai dengan membaca sejarah kebangsaan sejak kolonialisme. Bukan sejak kemerdekaan. Indonesia bukan majapahit. Akar kebudayaan Indonesia berasal dari masyarakat sebelumnya.”
“Kalau mau mandiri, harus berdaulat, sesuai dengan kebutuhannya, mengetahui dirinya. Siapa kita, siapa orang Indonesia,” tegas Irfan. [Aswar]