Kecantikan yang Relevan: Persoalan Erotisme dan Kebudayaan Kita
Berita Baru, Kolom – Budaya kerap menghasilkan beberapa produk kebudayaan, yang membuat kita terbiasa hidup beriringan dengan produk kebudayaan itu sendiri. Mulai dari adat istiadat, ukuran kecantikan, benda, pemikiran, hukum, bahkan tata krama, lahir berdasarkan produk kebudayaan sebagaimana jati diri seseorang terbentuk.
Untuk itulah kebudayaan sangat beragam. Ia memainkan peran dalam akulturasi, hingga tak jarang memiliki potensi rela untuk berasimilasi demi menunjang hal-hal yang kiranya penting bagi hidup satu sama lain. Oleh keanekaragaman itulah kita akan menemukan bahwa kebudayaan merupakan suatu kematangan autentik dan unik, yang timbul secara dewasa melalui relasi baik dengan diri sendiri atau pun dengan orang lain.
Sebab itu, kebudayaan potensial bersifat beragam dan unik pada dirinya. Di dalamnya turut terlibat pula ranah estetika (keindahan) sebagai suatu kekhasan dan pembeda di antara keunikan yang terpampang di sekitar kita. Melalui kekhasan itu, kita diantar untuk mengenal arti kecantikan, keanggunan bak bidadari, ketampanan bagai seorang ksatria, serta pelbagai metafora lainnya untuk memberi kesan estetik pada tiap perjumpaan inderawi kita dalam keterlemparan di ruang dan waktu.
Walau sedemikian indah dan unik kebudayaan, patutlah untuk ditelusuri apakah motif demi tampil cantik itu adalah bagian dari keindahaan paripurna dari produk kebudayaan itu sendiri ataukah cantik didasari oleh karena persaingan demi viewers hingga kita bertolak dari suatu penilaian umum (FYP, tiktok) mungkin? Dan bagaimana seharusnya membentuk keindahan itu relevan di mata kita, yang walaupun lampau secara fisik tapi indahnya tak lekang zaman?
Kecantikan dan kesan objek yang memikat
Penjabaran cantik tak begitu mengenakkan bila tanpa dimulai dengan suatu cerita rakyat (bisa dikoreksi kalo salah ceritanya sebab saya diceritakan oleh satpam Gereja). Pada abad ke-17 di zaman kesultanan Mataram, terdapat seorang wanita cantik asal Jepara, bernama Roro Mendut.
Di Jepara sendiri ia tergolong wanita kurang mampu. Walau tergolong kurang mampu secara harta benda, ia memiliki kekhasan sebagai seorang wanita yang teguh serta kokoh dalam kepribadian. Terkait kepribadiannya ini ia memilih jatuh cinta pada Pranacitra ketimbang Tumenggung Wiraguna anak salah satu penguasa zaman itu.
Singkat cerita, Wiraguna dengan sengaja ingin memisahkan Roro Mendut dari Pranacitra melalui ketetapan pajak yang tinggi bagi Roro Mendut. Hal ini ia putuskan agar Roro Mendut fokus bekerja dan rajin membayar pajak, agar perjumpaan Wiraguna dengan Roro Mendut semakin intens.
Di sisi lain, Roro Mendut pun meyanggupi hal tersebut. Oleh karena cantik dan parasnya yang ayu, Roro Mendut rela berjualan rokok linting kretek, di mana rokok tersebut ia basahi dengan lidahnya agar dapat menempel hingga berbentuk linting tipis nan rekat.
Dengan cara itulah, tingkat pembelian semakin naik dan membuat banyak kaum bangsawan membeli rokok tersebut, bukan karena nikmatnya tapi lebih pada kekhasan Roro Mendut membasahi kuncup rokok tersebut agar menempel.
Geram oleh karena itu, Wiraguna pun mencari Roro Mendut, namun sayang bahwa Roro Mendut lari bersama Pranacitra entah kemana.
Melalui kisah tersebut, kecantikan ialah rupa fisik, agar orang terpikat akan kecantikan tersebut butuh kekhasan yang membuat kecantikan nilai unik, baik bagi mereka yang mengamati maupun bagi si cantik untuk merias diri.
Pada prinsip inilah, kecantikan dan kekhasan di dalamnya punya daya jual tersendiri. Di sinilah krisis estetika terjadi, ketika kecantikan dipadukan dengan kekhasan sebagai suatu nilai jual, dan membuat siapa pun melihat kekhasan tak lagi unik dan bahkan dipakai sebagai motif dagang, cantik tanpa motif itu palsu, cantik tanpa ‘adegan yang didagangkan’ belum tentu laku, kecantikan itu privilese yang ukurannya berupa pengakuan orang lain.
Persoalan daya tarik, kecantikan, dan mekanisme erotis
Bila dalam kisah rakyat Roro Mendut telah diungkapkan terkait bagaimana kecantikan sebagai suatu kajian objektif dalam menentukan suatu nilai yang pantas serta layak akan kecantikan itu sendiri. Namun di sisi ini, kecantikan sepenuhnya punya daya dan terdapat suatu mekanisme subjektif, di mana menjadi penentu bahwa seberapa besar dari kecantikan itu bersifat dekat pada kita secara semestinya tanpa harus digoda. Pada ranah inilah istilah estetika memiliki gaungnya.
Dengan melihat kecantikan pada sisi paras wajah Roro Mendut hingga kekhasannya demi menunjang keputusan Wiraguna, terdapat satu sisi lain yang patut dicerna. Bahwa, prinsip untuk menjadi cantik serta rupawan membutuhkan nilai plus agar menjadi daya tarik.
Tak ada yang salah untuk menonjolkan daya tarik, tapi lebih estetik ketika daya tarik timbul dengan sendirinya secara paripurna dalam mengenal diri sendiri, serta tahu diri dalam menempatkan secara pantas dan layak bagi kecantikan itu sendiri.
Hingga daripada itu, peran cantik itu kaya secara makna dan penghayatan. Artinya, dalam kecantikan tersebut ada satu sikap yang amat membedakan cantik pada dirinya jauh berbeda pada lainnya.
Bila disebut inner beauty mungkin terlalu dangkal pengertiannya, bahkan memunculkan persoalan inner beauty jelas-jelas ambigu pada satu sisi, entah itu karena bias gender atau patriarki.
Tapi untuk satu persoalan daya tarik, sebagaimana amat jarang terlintas pada benak kita ialah persona cantik adalah nyaman menjadi diri sendiri, tak terikat pada kekangan motivasi nilai jual, serta tak memiliki keterpaksaan apapun demi suatu kecantikan.
Itulah yang menjadi satu bentuk persona cantik yang banyak dilupakan. Tepat ketika cantik dititikberatkan pada sebuah perbandingan, hingga tak terdapat kepuasan dari diri sendiri untuk menemukan atau sampai pada cantik sebagaimana layak dihayati, sehingga bukan karena tabiat baik, bijak, penurut seperti wanita rupa agamis dalam kedok patriarki, atau berdasarkan kategori apa pun.
Cantik adalah persoalan kenyamanan terhadap diri sendiri, sederhana juga tak harus, mewah juga tak dituntut, biasa-biasa saja pun terbilang bukan salary, namun intinya bagi siapa pun memandang kecantikan setiap subjek akan sampai pada satu kesimpulan persona cantik yang terpapar sebagai keunikan inilah yang membuat siapa pun tertarik mendekatimu.
Terkait erotisme sendiri dapat kita temukan lebih jelas dalam mitologi Yunani. Terdapat seorang laki-laki bernama Eros memiliki sayap dan senantiasa membawa busur panah dalam tiap pengembaraannya.
Di suatu tempat lain lahirlah seorang anak perempuan bernama Psyche. Ia tumbuh dalam masa kanak-kanak yang bijak dan tiba saat dewasa Ia menjadi seorang wanita cantik dan bahkan sering dibandingkan dengan Aphrodite (Seorang Dewi dan ibu dari Eros).
Oleh karena sering dibandingkan maka murkalah Aphrodite, hingga akhirnya meminta Eros untuk menembakkan anak panahnya ke pria yang paling jelek di seluruh kota agar melihat Psyche, pria tersebut langsung jatuh cinta.
Dan titik definisi erotik itu bukan pada cara pria jelek jatuh cinta, namun pada tindakan Eros demi menyukakan hati sang dewi yang iri dengan Psyche. Alhasil, Erotik adalah suatu pilihan sikap untuk lebih disukai dengan cara apa pun, bahkan melibatkan seksualitas demi menyokong diri agar lebih dicintai.
Bersikap secara pantas dan berbudaya
Dan apakah sikap erotis itu adalah layak dan pantas? Menjawab akan hal ini, tergantung saja. Sebab erotis sendiri adalah kenyamanan seseorang, baik itu cara berpakaian berututur kata atau pun tabiat dalam keseharian hingga menjadi parade di sosial media.
Walau demikian, erotis sebagai suatu ranah privat, ada baiknya bila secara norma hal ini didukung dengan kepentingan itu sendiri. Dalam arti, erotis itu amat lumrah demi tampilan seorang insan, tapi sangat wajib hukumnya pada ranah apa ia perlu ditampilkan.
Amat tak pantas jika tanpa pertimbangan, kita memutuskan tanpa tahu perlunya keputusan itu diambil. Dari situlah kita akan mengetahui, bahwa ranah erotis sangat menawan bagi mereka yang menempatkannya pada kesesuaian dengan pengalaman apa seharusnya erotis itu diperlukan.
Agar tak terjadi suatu fenomena yang kerap dijumpai bahwa seorang aparat polisi menyidak pasutri sampai pada ranah hotel-hotel, dan dipublikasikan di media hingga memberi dampak bahwa privasi kita tercoreng. Hingga membuat siapapun tak dapat memisahkan, antara aib dan tanggung jawab bermasyarakat, antara kewenangan dan kepentingan, lebih parahnya tak dapat memisahkan privat dan publik.
* Penulis adalah pegiat isu etika publik dan penikmat filsafat barat, khususnya diskusi terkait humanisme serta diskursus tentang metafisika.