Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

katastrofi
Ilustrasi: Langgar.co

Katastrofi, Tragedi Kosmis-Ekologis, dan Patahan Sejarah Kebudayaan



Berbagai informasi geologis, astronomis, ekologis, arkeologis, historis-kultural, mitologis, dan atau naratif memperlihatkan bahwa katastrofi kosmis-ekologis-lingkungan telah menimbulkan rangkaian tragedi kosmis-ekologis-lingkungan (sekaligus rangkaian trategi kemanusiaan). Seperti rangkaian tragedi lakon drama Yunani yang bersifat siklis, rangkaian  tragedi kosmis-ekologis-lingkungan tersebut berlangsung secara siklis, yaitu sebuah kejadian berangkai-ulang (simak buku The Cycle of Cosmic Catastrophe karya Richard Firestone, Allen West, and Simon Warwick-Smith, 2006, Bear and Company, Vermont).

Disebut demikian karena dalam sepanjang umur alam semesta terutama galaksi dan bumi (yang sudah terentang jutaan tahun) sudah pernah terjadi berbagai macam malapetaka atau bencana kosmis-ekologis-lingkungan mahadahsyat tak tertanggungkan dan tak terbahasakan. Hal ini mengakibatkan tiga hal pokok. Pertama, kolapsnya dan luluh lantaknya bagian-bagian alam semesta, bumi, ekologi, dan lingkungan. Kedua, kolapsnya dan musnahnya beratus-ratus kebudayaan dan peradaban di pelbagai penjuru dunia atau bumi. Ketiga, punahnya pelbagai golongan manusia (bisa ras, etnis, dan lain-lain) yang menghuni muka bumi atau malah umat manusia pada umumnya.

Tiga hal tersebut senantiasa bertali-temali sehingga katastrofi kosmis-ekologis-lingkungan tidak melulu menempuh jalan tunggal. Namun, juga selalu menimbulkan dampak multi-wajah, multi-arah, dan multi-sektor yang saling berkaitan erat [terutama antara alam semesta (bumi), kebudayaan, dan umat manusia]. Sekadar contoh, katastrofi supervulkano gunung Toba tua (74.000 tahun lalu) tak hanya meruntuhkan atau merusak tata alam semesta, melainkan (secara serempak) juga menghancurkan atau memunahkan kebudayaan dan manusia di berbagai belahan dunia. Demikian juga, sekadar contoh yang dekat dengan kita, katastrofi letusan vulkanik Gunung Tambora (1815 M) tak hanya menguncangkan keteraturan tata-alam secara global, melainkan juga telah membinasakan atau memunahkan manusia dan kebudayaan di sekitarnya (terutama manusia dan kebudayaan Bima/Mbojo, bahkan juga pertambangan-purba emas di sekitar wilayah Batu Hijau yang sekarang menjadi Newmont-Sumbawa).

Selain daya dan kemampuan alam semesta terutama bumi  ‘menyembuhkan diri sendiri’ secara alamiah-organik, daya dan kemampuan manusia yang tersisa dalam katastrofi kosmis-ekologis-lingkungan tersebut akan sangat menentukan munculnya, tumbuhnya, bangkitnya, dan atau berkembangnya kebudayaan dan peradaban baru sesudah terjadinya tragedi kosmis-ekologis-lingkungan. Di sinilah kita dapat menyaksikan siklus hancur-bangkitnya dan punah-tumbuhnya umat manusia atau golongan manusia beserta kebudayaan dan peradabannya.

Dengan cukup gamblang hal tersebut sudah dipaparkan dalam buku The Upside of Down: Catastrophe, Creativity, and the Renewal of Civilazation karya Thomas Homer-Dixon (2006, Island Press, Washington) dan buku Encyclopedia of Disarters: Enviromental Catastrophes and Human Tragedies (2008, Greenwood Press, London). Kedua buku tersebut secara analitis telah memaparkan betapa tiap-tiap katastrofi kosmis-ekologis-lingkungan atau bencana mahadahsyat senantiasa mengakibatkan tragedi kebudayaan dan manusia. Di samping itu, juga kreativitas-inovasi manusia yang masih tersisa (tak ikut punah) menentukan pembaharuan, pertumbuhan, dan perkembangan kebudayaan dan peradaban baru.

Selain itu, dalam tiga bukunya yang sangat mengesankan, yaitu Guns, Germs, and Steel (2013), Collapse (2014), dan The World until Yesterday (2015), Jared Diamond telah mengisahkan perkara jatuh-bangunnya dan punah-tumbuhnya beratus-ratus kebudayaan dan peradaban di bumi akibat katastrofi kosmis-ekologis-lingkungan. Pada sisi lain, juga daya dan kemampuan manusia membangun, membangkitkan, (dan kemudian memajukan kembali) kebudayaan dan peradabannya melalui pelbagai revivalisasi, revitalisasi, atavisasi, rejuvinasi, dan kreasi-inovasi kebudayaan dan peradaban.

Temuan Jared Diamond dalam Collapse (2014) memperlihatkan bahwa lima faktor yang lazim meruntuhkan atau menumbangkan kebudayaan dan peradaban. Kelimanya adalah (a) kerusakan alam dan lingkungan, (b) perubahan iklim bumi, (c) pengaruh peradaban musuh, (d) pengaruh peradaban sahabat, dan (e) yang terpenting tanggapan masyarakat terhadap masalah alam semesta dan lingkungan.

Hal tersebut menunjukkan, siklus tragedi katastrofi kosmis-ekologis-lingkungan selalu berkorespondensi dengan tragedi manusia sekaligus tragedi kebudayaan dan peradaban. Di samping itu, juga selalu diikuti oleh transformasi alam semesta (bumi, ekologi, lingkungan, dan lain-lain) sekaligus transformasi manusia beserta kebudayaan dan peradabannya. Di sini seperti terbentuk dialektika antara penghancuran dan pembaharuan, perusakan dan pemulihan, pemusnahan dan pertumbuhkembangan bagian-bagian tertentu dari alam semesta, bumi, dan lingkungan sekaligus manusia beserta kebudayaan dan peradabannya.

Sebab itu, dapat dikatakan, katastrofi kosmis-ekologis-lingkungan tidak pernah berlangsung singular, linier, dan mengikuti hukum kausalitas tunggal; melainkan berlangsung secara sirkular-siklis dan multi-kausalitas. Hukum linieritas, singularitas, dan kausalitas-tunggal tampaknya tidak berlaku dalam punah-tumbuhnya dan runtuh-bangkitnya kebudayaan dan peradaban yang ada di sepanjang sejarah bumi dalam kaitannya dengan katastrofi kosmis-ekologis. Sejarah kebudayaan dan peradaban manusia tidak pernah lurus dan tunggal maju ke depan (linier, singular, dan progresif). Tetapi, justru selalu penuh tikungan tajam (linguistic turn) dan bahkan terpatah-patah (diskontinu) dan menyebar secara acak (multipolar, multiversal).

Dalam sepanjang kehidupan bumi kita dapat menemukan tikungan dan patahan sejarah kebudayaan-kebudayaan dan peradaban-peradaban besar-ternama yang dikenal oleh manusia. Kata para ahli, kita menyaksikan diskontinuitas kebudayaan dan peradaban sekaligus multipolaritas—multiversalitas siklus kebudayaan dan peradaban. Demikianlah, sekadar contoh, kita bisa menemukan tikungan tajam dan patahan sejarah kebudayaan dan peradaban di Sumeria, Persia, Yunani, Cina, Timur Tengah, Eropa, Amerika Latin (Aztec, Maya), dan lain-lain.

Tikungan tajam dan patahan sejarah kebudayaan dan peradaban tersebut senantiasa meninggalkan puncak-puncak pencapaian kebudayaan dan peradaban, yang sekarang lazim kita kemodernan (modernitas)

Tikungan tajam dan patahan sejarah kebudayaan dan peradaban tersebut senantiasa meninggalkan puncak-puncak pencapaian kebudayaan dan peradaban, yang sekarang lazim kita kemodernan (modernitas). Ini mengimplikasikan, masing-masing kebudayaan dan peradaban di bumi, sebelum tumbang-tumpas dihempas katastrofi kosmis-ekologis-lingkungan, selalu memiliki kemodernan (modernitas) masing-masing, yang bisa mirip, bisa pula berbeda. Karena itu, dalam sepanjang umur kehidupan alam semesta (bumi), sesungguhnya dapat kita temukan pelbagai kemodernan kebudayaan dan peradaban (modernitas) sehingga di bumi terdapat multi-modernitas (bukan mono-modernitas), trans-modernitas, multi-versalitas (bukan uni-versalitas) dan transversalitas.

Implikasinya, dalam sepanjang umur jagat raya ada bermacam-macam modernitas baik secara historis-geologis maupun geokultural. Di sinilah kita bisa mengatakan ada modernitas Sumeria (Babylonia), modernitas Aztec, modernitas India Kuno, modernitas Cina Kuno, modernitas Yunani Kuno, modernitas Abbasiyah, dan lain-lain. Modernitas pada masa lampau tersebut dapat disebut sebagai paleomodernitas [paleomodernity] (saya meminjam istilah dari John David Ebert, The Age of Catastrophe, 2012, hlm. 17). Dalam pada itu, modernitas-modernitas pada masa sekarang yang bertebaran di pelbagai penjuru bumi (yang tumbuh dan berkembangnya sesudah katastrofi kosmis-ekologis-lingkungan tertentu) dapat disebut sebagai multimodernitas atau transmodernitas [transmodernity] (saya pinjang istilah dari Enrique Dussel dan Maria Rosa Rodriques).

Sudah barang tentu modernitas kebudayaan dan peradaban yang dimaksud tidak sama dengan modernitas dalam pengertian-pemahaman kita sekarang (yang sangat bercorak eurosentris-kontinental, singular, linier, dan posivistis). Namun, masing-masing kebudayaan dan peradaban yang dimaksud dapat disebut modern.

Tantangan dan tugas para ahli dan peneliti berbagai bidang ilmu (di sini geologi, astronomi, arkeologi, ilmu sejarah, antropologi, sosiologi, dan lain-lain) untuk menggali dan merumuskan sosok atau karakteristik modernitas-modernitas yang pernah ada di bumi kita. Di sinilah kita perlu membangun ilmu-ilmu baru (hybrid science) karena bidang ilmu lama yang sangat disipliner dan partikular tidak akan sanggup merumuskan secara komprehensif corak-corak modernitas di berbagai zaman dan tempat (tak heran Gayatri Spivak menulis buku The Death of Disciplines).