Kalau Aku Pulang, Ibu | Puisi-Puisi Daruz Armedian
kalau aku pulang, ibu
kalau aku pulang, ibu,
sekali lagi ajari bagaimana cara merawat waktu.
ilmu pengetahuan hari demi hari kugali
tidak sanggup memberi solusi.
buku-buku kubaca
dan hanya menyisakan sesak di dada.
huruf-hurufnya
jatuh ke mataku yang justru
dalam keadaan hati tak terbuka.
kalau aku pulang, ibu,
sekali lagi ajari bagaimana mengayunkan kaki
di kampung halaman
tanpa beban.
tanah perantauan membentuk diriku
menjadi orang asing,
yang kalau pulang seperti sedang
mengunjungi peradaban lain.
kalau aku pulang, ibu,
sekali lagi ajari bagaimana mengolah tanah,
menanam padi hingga mengumpulkan gabah,
melepas cemas hingga merajam dendam.
hari ini kepalaku penuh sampah,
keping-keping labirin
mata kuliah.
jangan bertanya aku pulang membawa apa
atau membawa siapa.
aku bahkan tak membawa diriku sendiri:
masa kanak yang pernah kau kenali.
suatu pagi, seorang ibu
berpesan kepada anaknya
kau mengingat masa silam.
masa di mana pagi tiba
dan dingin menyatu dengan udara.
tanganmu kau rentangkan di depan tungku.
sesekali kau lempar pertanyaan,
“bu, apa nasinya sudah matang?”,
ibumu bilang, “belum, sebentar lagi.
nunggu pas muncul matahari.
kamu mandi dulu saja. nanti ibu
siapkan nasi dan lauk-pauknya.”
di kamar mandi yang dingin benar,
perasaanmu hangat berdenyar.
kau dengar suara dandang diturunkan,
lalu minyak dan tempe dan sambal teri
bergumul di penggorengan. seperti kemarin,
aroma itu membikinmu bersin-bersin.
membikinmu percaya, bahwa surga
tidak jauh-jauh jaraknya.
di luar, matahari meninggi.
jam sekolahan sudah tidak bisa ditoleransi.
belum makan, belum pakai seragam,
kau berkata pada ibumu,
“bu, aku terlambat sekolah lagi.”
seperti kemarin, ia menjawab dengan penuh yakin,
“ya, tapi kamu tak pernah terlambat menuntut ilmu.”
risau menjelang kemarau
beberapa utas tali melingkar leher padi
aku gantung pada ujung suwung
bersandar akar emak menakar-nakar
kemarau bakal datang, anak ladang
burung bido di awang-awang berputar
menerawang sumur merindukan harum lamur
kiokot-kremah bersulur di tanah tumbuh subur
butir-butir beras telah ditumbuki terbang-meninggi
lalu jatuh pasrah di bundar tampah
emak benar begitu memandang pucuk randu
melempar-lempar kapuk di depanku
angin kering menampar keras dedak di bakal beras
peluh menderas, dan ya, kemarau akan datang juga
berbongkok jerami aku tumpuk
di buritan teritis rumah
yang kayu penyangganya lapuk dan tengah didiami lebah
musim kemarau bola mata sapi-sapi kami bakal rindu hijau
rumput atau batang padi di tali rajut
kambing teriak nyaring senang dilepas kandang
rambah kremah menuju sawah, atau ke entah
percintaan kuli bangunan
o astaga, di ruang ini kita cuma berdua.
selain itu; kalender tahun lalu,
gitar tua, jendela yang tak terlalu
beres engselnya, dan jam dinding
yang kelihatan lain. kamu mau
kutandai lehermu? atau telinga?
atau… tutup pintunya. Dalam
percintaan kita, jangan ada
yang boleh masuk, apalagi aturan
negara. di luar, biar berkecamuk,
biar kota sibuk merawat polusi
dan polisi (dua hal yang amat
mengganggu ini). biarin aja.
keringat kita, pelan dan amat pelan,
menyusun bahasa, yang tidak
dipahami oleh para pembenci;
oknum partai, pemegang kekuasaan,
ustaz palsu, pendakwah gadungan,
aparat taik, kontraktor taik, bos taik.
o gendaanku yang paling yoi,
jangan tidur malam ini. Kita
main sampai pagi. sampai pagi.
Daruz Armedian, lahir di Tuban. Sekarang tinggal di Jogja. Tahun 2016 dan 2017 memenangi lomba penulisan puisi se-DIY yang diadakan Balai Bahasa Yogyakarta. Tulisannya pernah di koran Tempo, Media Indonesia, Suara Merdeka, Republika, Kedaulatan Rakyat, detik.com, basabasi.co, dll. Buku kumpulan puisinya, Dari Batu Jatuh sampai Pelabuhan Runtuh (Pemenang DKJT 2017) terbit bulan ini di Penerbit Basabasi.