Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Kubisme
Lukisan Kubisme (Sumber : Pinterest)

Dua Wajah Gita | Cerpen: Khoirul Anam



Malam ini kau mematut diri di depan cermin. Rambut hitammu tergerai, lebat dan panjang. Kulitmu hampir seputih daging buah bengkuang. Pupil matamu mengilap berwarna hitam agak kecokelatan.

Selang lima menit, kau mulai menanggalkan seluruh pakaianmu satu per satu. Kau berdiri sebentar, sekadar memastikan, kalau tubuhmu tetap indah bila dipandang. Setelah puas, kau duduk kembali.

Ketika kau tatap cermin itu lagi, seketika saja, kau merasa wajahmu seolah menjadi dua. Satunya terlihat anggun, sedang yang satu lagi sangat lugu. Menyadari akan hal itu, kau semakin betah memandang dirimu sendiri. Sepertinya kau akan beranjak jika ada ketukan dari daun pintu yang sengaja dikunci.

Tetiba saja, wajah di dalam cermin membuat penyaksian. Suasana kamar terasa semakin sunyi. Kau menikmati suara penyaksian yang hanya terdengar oleh dirimu sendiri.

***

Kesedihan yang aku rasakan, sepuluh tahun lalu, berhasil membakar kehidupanku sendiri. Aku pernah mengurung diri di dalam kamar, sore hari. Hal itu aku lakukan karena melihat ayah dan ibu bertengkar hebat di ruang tengah.

“Kamu berangkat pagi dan pulang sore. Bilangnya kerja. Tapi, nyampe rumah enggak bawa apa-apa!”

“Kamu maunya apa, sih. Enggak tahu diuntung. Bukannya setiap minggu udah aku kasih jatah.”

“Heh, setiap berangkat kerja kamu minta sarapan enak. Uang yang kamu kasih emangnya cukup?”

“Sial!” Ayah menedang apa saja di depannya. Aku mengintip dari celah pintu kamar. Tiba-tiba satu botol plastik membentur pintu, keras sekali. Aku diam ketakutan.

Ritme kehidupan keluargaku, setiap hari selalu begitu. Ada saja pertengkaran yang disebabkan banyak hal. Sejak duduk di bangku SMP kelas delapan, aku tidak pernah menghirup udara rumah yang sejuk. Tidak seperti dulu lagi.

Pernah pada suatu malam, aku terjaga setelah mendengar suara denyit ranjang. Mula-mula pelan, namun akhirnya semakin kencang. Cahaya lampu jalan yang masuk lewat celah jendela, membantu penglihatanku mendapati dua orang saling tindih. Aku yang berada di sampingnya diam, berusaha tidak bersuara, padahal ingin sekali aku menangis.

Ketika aku akan berangkat sekolah, biasanya ayah baru pulang entah dari mana. Ayah memanggil ibu dengan suara lantang. Ibu membalas tak kalah nyaring dari dalam kamar. Jika sudah seperti itu, aku buru-buru berangkat ke sekolah, tanpa pamit.

Di hari lain, aku merasa dugaanku benar. Orang yang setiap malam selalu mendatangkan suara denyit ranjang itu bukan ayah. Di mataku dia asing. Aku melihatnya jelas sekali ketika subuh. Lelaki itu mengenakan pakaiannya dan menyalakan lampu.

“Aku pulang dulu, Sayang. Besok aku datang lagi,”ujarnya dengan tenang, lalu mengecup kening ibu. Aku diam penuh ketakutan. Tubuhku gemetaran.

Rumah kami tidak terlalu besar. Ada satu kamar, ruang tengah, toilet dan dapur. Biasanya ayah tidur di ruang tengah. Aku dan ibu di kamar. Pernah sewaktu aku masih SD, mereka berdua bermimpi untuk membangun satu kamar di samping rumah. Katanya, sebentar lagi sudah seharusnya aku tidur pisah ranjang dengan ayah dan ibu. Tetapi, rencana itu hangus. Mereka berdualah yang membakarnya.

Namun, ada luka yang lebih menyakitkan daripada mendengar suara denyit ranjang. Aku terkejut saat mendengar seseorang membuka pintu kamar, pelan sekali. Jujur, aku ketakutan. Padahal pintu depan terkunci. Semua jendela tertutup rapat. Aku pura-pura tidur, berdoa dalam hati, semoga tidak ada barang berharga yang hilang. Orang itu semakin mendekat dan naik ke atas ranjang. Sontak aku terkejut. Aku berusaha berontak dan berteriak. Tapi sayang sekali, mulutku sudah lebih dulu dibekap selimut.

Selepas kejadian mengerikan itu, aku tak tahu harus bagaimana. Tubuhku terkulai lelah dengan keringat yang masih hangat.

Lelaki itu merogoh kutangku, meremas isinya dan meninggalkan lembaran uang di dalamnya. Aku menangis sesegukan, sedangkan dia mengecup keningku.

“Beri salam pada ibumu, besok aku berkunjung lagi!”

Aku menjawabnya dengan menahan tangis yang ingin meledak.

Sejak malam itu, aku minggat dan tak pernah pulang lagi.

***

“Gita, bawakan kopernya keluar. Jangan lupa menutup pintu, ya.” Kau mengangguk dan tersenyum.

Ya, Anggita adalah namamu. Orang-orang kini memanggilmu Gita. Itu bukan nama aslimu, kan? Kau sengaja mengubah namamu, agar semua ingatan tentang rumah, ayah dan ibumu hilang dalam ingatan. Sudah lama nian kau meninggalkan semua itu.

Kini kau tinggal di rumah baru yang sangat megah. Namun sebelum semuanya seperti sekarang, kau begitu tersiksa. Sejarah nyeri[1] itu berusaha kau kubur dalam-dalam—tidak boleh ada yang tahu. Meski benar, sering sekali sejarah itu bangkit menjelma hantu gentayangan, buat dirimu sendiri.

Saat ini kau sedang menatap wajahmu—wajah yang sedang membuat penyaksian. Sambil mematut dirimu di depan cermin, kau menatap apa yang kau lihat, sembari mendengarkan penyaksian-penyaksian.

***

Sebelum subuh aku pergi dari rumah. Selangkanganku masih terasa sakit. Aku tetap memaksakan diri untuk pergi. Aku berharap selepas mereka pulang dan menuju kamar, salah satu di antaranya menemukan baju tidurku yang bagian bahwahnya terdapat bekas darah. Di atasnya aku menaruh beberapa lembar uang—aku sengaja tak menghitungnya.

Hari-hari selanjutnya aku lebih sering tidur di jalan. Jika lapar, aku bakal mencari makanan sisa. Aku muak sekali melihat pertengkaran hebat ayah dan ibu di rumah.

Pagi ini, setelah melakukan perjalanan panjang, di seberang jalan aku melihat dua kotak nasi dan berniat mengambilnya. Mungkin saja ada isinya. Saat aku hendak menyeberang, tubuhku terasa berat sekali. Aku menengok kanan kiri. Pandanganku ngeblur. Tubuhku lunglai dan terjatuh.

***

Semuanya terasa gelap. Kepalaku pening. Aku berusaha membuka mata yang masih mengatup, berat sekali rasanya.

“Aku ada di mana?”

Tidak terdengar jawaban.

Perlahan aku mulai bisa melihat jelas siapa saja di sekelilingku. Wajah-wajah asing yang tidak aku kenal.

“Kamu barusan pingsan di jalan, lalu kami membawamu ke sini.”

Aku baru sadar bahwa aku hampir tertabrak. Aku masih sangsi meski mereka bersikap ramah padaku. Salah satu dari mereka membawa makanan dan segelas air putih.

“Kalau sudah makan kamu mandi, ya. Bajunya aku taruh di dekat lemari. Habis itu langsung ke lantai bawah, ada sesuatu yang ingin Tante Lydia bicarakan,” perempuan itu tersenyum, berusaha meyakinkanku. Aku mengangguk.

Sempat ada niatan kabur, tapi urung. Aku harus berterima kasih sebelum pamit pergi. Setelah selesai makan dan mandi, aku menuruni anak tangga. Kulihat banyak sekali orang di sana.

“Selamat datang, Nak. Mari duduk. Siapa namamu?” ucapnya ramah, lalu meletakkan minuman di atas meja. Aku masih sedikit gugup. Beberapa wanita yang duduk melingkar di sebuah sofa memberiku senyum. Aku menganguk, lalu memperkenalkan diri.

Setelah basa-basi sebentar, aku izin pamit pulang dan berterima kasih karena sudah menolong. Wanita di depanku tersenyum. Dia kemudian bercerita padaku tentang dirinya dan banyak hal. Mulai dari rumah ini, lalu wanita yang ada di sekelilingku. Tiba-tiba, tangisku pecah. Beberapa orang memelukku.

Seisi rumah sunyi sejenak.

 “Ingat Gita,” wanita yang dipanggil Tante Lydia itu mengelus rambutku.

“Kehidupan ini begitu nikmat sekaligus bangsat. Jadi kamu tak usah berpikir banyak hal, nikmati saja.” Dari nada bicaranya, Tante Lydia berusaha menenangkanku.

“Tapi aku….“  Aku berlari menaiki anak tangga secepatnya. Di sana aku menangis sekeras mungkin. Aku membiarkan telaga di mataku mengairi pipi, dada, dan juga kehidupan ini. Beberapa hari selanjutnya aku mengurung diri di dalam kamar.

Aku jarang makan meski sering disuguhi masakan yang katanya paling favorit di kota ini. Selama satu bulan aku menyendiri. Namun, setelah berani untuk keluar, seisi rumah menyambutku dengan ramah. Kulihat orang-orang berdansa dengan alunan musik yang belum pernah kudengar sebelumnya.

Kelap-kelip warna lampu membuat konsentrasiku buyar. Suara musik berdetum di telingaku. Salah satu dari mereka membawakan segelas air. Baru kali ini aku menghirup aroma minuman yang katanya mengandung alkohol. Selang beberapa menit, satu pria memelukku dari belakang. Aku berontak. Pria itu tersenyum.

“Kehidupan ini begitu nikmat sekaligus bangsat. Jangan kamu sia-siakan” Suara wanita yang belum aku tahu namanya beradu dengan alunan musik.

Awal-awal aku awas. Kemudian pria itu mengajariku berdansa dengan tenang. Aku mengikutinya, pelan-pelan. Dia mengajakku bersulang, lalu memagut bibirku.

***

Kau melawan arus kehidupanmu selama sepuluh tahun. Menikmati alunan musik. Kelelahan di atas ranjang bersama pria yang berbeda setiap harinya. Agar tidak jenuh, sebagai obatnya, Tante Lydia sering mengajak kau dan teman-temanmu berlibur ke luar kota atau belanja baju baru.

Tetapi kali ini Tante Lydia akan pergi ke luar negeri, menemani pria pengusaha di kota ini. Kau menaruh koper dan beberapa keperluan lainnya ke dalam bagasi. Setelah selesai, kau kembali menuju kamar untuk melepas penat setelah menemani satu pria dari kota timur. Teman-temanmu masih menikmati hidup di ruang tengah.

Sambil menunggu pria lain mengetuk pintu dan mengajakmu berdansa, sebelum rebahan, kau melihat seringai senyum yang tak asing di dalam cermin. Kau tertarik, kemudian mematut diri di depannya, telanjang. Lama sekali. Kau seperti sedang menonton adegan film menyedihkan di bioskop. Kau tersenyum, lalu menggeliat.

Tiba-tiba, tendengar ketukan pintu. Segera kau mengenakan baju lalu membukanya, “Gita, pria ini langganan Tante Lydia sejak dulu. Temani ya, dia sudah mabuk berat.” Kau menganguk. Pria itu kau tuntun menuju ranjang.

Setelah terbaring di atas ranjang, kau mengambil botol bir yang masih tergenggam erat di tangan pria yang tak asing di matamu. Kau tatap lekat wajah pria itu. Bicaranya tak karuan. Setelah mengenalinya, kau tersenyum.

“Agar tidak terlalu durhaka, aku akan memberi kenikmatan di hari terakhirnya.” Kau menanggalkan pakaianmu lagi. Sebelum melakukan afair dengan pria itu, kau menyiapkan satu pisau khusus, terbungkus celana dalam, yang disimpan di lemari. Kata Tante Lydia, hanya sekadar jaga-jaga jika ada tamu yang kurang ajar. Di matamu, pria itu sudah kurang ajar sejak dulu.

Yogyakarta 2021

[1] Judul Kumcer Yuditeha, Marjin Kiri, 2020.


Dua Wajah Gita | Cerpen: Khoirul Anam

Khoirul Anam menulis cerita pendek dan selalu merasa bersalah karena telah murtad dari perpuisian.  Sekarang sedang berproses di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta (LSKY). Lebih dekat dengannya di Instagram @ahmadr.a_