Jelang Putaran ke-9 Pembicaraan Nuklir, Iran Berikan Syarat Khusus
Berita Baru, Teheran – Jelang putaran ke-9 pembicaraan nuklir di Wina, Iran berikan syarat khusus jika kekuatan dunia ingin hidupkan kembali kesepakatan nuklir 2015 (JCPOA) yang kini berada di ujung tanduk kehancuran.
Juru bicara kementerian luar negeri Iran, Saeed Khatibzadeh dalam konferensi pers mingguan mengatakan bahwa Amerika Serikat (AS) harus membuat “keputusan politik” mengenai pencabutan sanksi terhadap Iran secara penuh karena itu adalah “garis merah” pembicaraan.
“Masalah penghapusan sanksi dan Iran mendapat manfaat darinya adalah garis merah Iran dalam pembicaraan,” kata Khatibzadeh, Senin (7/2).
Upaca mengembalikan kesepakatan nuklir sudah dilakukan sejak April 2020 melalui diskusi di Wina. Delapan putaran sudah digelar namun masih belum mencapai kesepakatan karena berlangsung alot terkait tuntutan dan tawaran yang diajukan.
Pembicaraan Wina terhenti pada 28 Januari 2022 kemarin, karena para perunding dari masing-masing pihak kembali ke ibu kota masing-masing untuk berkonsultasi.
Utusan Khusus AS untuk Iran Robert Malley pada hari Minggu mengatakan dia akan segera kembali ke Wina, bersikeras pakta itu masih bisa dihidupkan kembali.
Sementara itu, pemimpin perunding nuklir Iran, Ali Bagheri Kani, rencananya akan kembali ke Wina pada Selasa (8/2), kata Khatibzadeh.
“Amerika Serikat telah memutuskan untuk mengambil langkah yang tidak berdampak pada situasi ekonomi Iran,” kata Khatibzadeh, sebagaimana dikutip dari Reuters.
Selain itu, Menteri Luar Negeri Iran Hossein Amirabdollahian pada Minggu (6/2) mengatakan Iran butuh jaminan AS jika ingin JCPOA kembali, menambahkan penghapusan sanksi Iran adalah langkah yang “baik tapi tidak cukup”.
Sebelumnya, Pemerintahan Presiden AS Joe Biden pada hari Jumat (5/2) memperkenalkan kembali keringanan sanksi bagi Iran untuk mengizinkan proyek kerjasama nuklir internasional.
Langkah tersebut muncul karena dorongan dari beberapa pihak mengingat pembicaraan dengan Iran memasuki tahap akhir.
Di satu sisi, setelah AS menarik diri sepihak dari perjanjian pada tahun 2018, Iran secara bertahap melanggar batas produksi uranium hingga dikatakan mampu memproduksi senjata nuklir, sebagaimana yang disepakatai dalam perjanjian nuklir.
Karena itu, AS mengatakan akan memberikan penghapusan jika Iran mengembalikan ketersediaan uraniumnya di batas yang disepakati dalam perjanjian.
Di sisi lain, sejak saat itu, pemerintahan mantan Presiden Donald Trump langung memberikan sanksi keras pada Iran, termasuk embargo ekonomi.
Karena itu, Iran bersikeras pada penghapusan segera semua sanksi era Trump dalam proses yang dapat diverifikasi.
Khatibzadeh menolak peringatan pejabat Barat bahwa waktu hampir habis untuk menghidupkan kembali pakta tersebut, mengingat kemajuan nuklir Teheran.
“Kami tidak menganggap tenggat waktu palsu … Putaran ini bisa menjadi putaran terakhir jika pihak lain memenuhi kewajiban mereka dan memberikan jaminan kepada Iran,” katanya.