Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Para pekerja menurunkan batu bara dari truk pasokan di halaman pinggiran kota Ahmedabad, India barat, 15 April 2015. Foto: Reuters/Amit Dave/Files.
Para pekerja menurunkan batu bara dari truk pasokan di halaman pinggiran kota Ahmedabad, India barat, 15 April 2015. Foto: Reuters/Amit Dave/Files.

JATAM: JETP Indonesia Kemitraan Eksploitatif untuk Jawaban yang Keliru atas Krisis Iklim



Berita Baru, Jakarta – Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) bahwa Kemitraan Transisi Energi yang Adil atau yang disebut Just Energy Transition Partnership (JETP) Indonesia merupakan kemitraan eksploitatif untuk jawaban yang atas krisis iklim.

Pasalnga, pada 15 November 2022 lalu dalam pertemuan puncak Pemerintah Negara-Negara anggota klub G-20, Pemerintah Indonesia menandatangani surat kesepakatan pendanaan dengan badan-badan peminjam dana internasional dan pemerintah negara-negara kaya.

MoU tersebut untuk meningkatkan konsumsi energi terbarukan dan mengurangi ketergantungannya pada batubara, dibawah skema Kemitraan Transisi Energi yang Adil atau Just Energy Transition Partnership (JETP). 

Pada saat yang bersamaan, konferensi para pihak Konvensi Kerangka PBB untuk Perubahan Iklim ke 27 di Mesir menyepakati rincian aturan perdagangan jatah kompensasi emisi karbon, bagian dari Pasal 6 Kesepakatan Paris (COP 21, 2015). 

“Pemerintah Indonesia adalah pengurus negara kedua yang menyepakati Skema JETP, setelah Pemerintah Afrika Selatan dua tahun sebelumnya,” tulis Koordinator JATAM Melky Nahar dalam keterangan tertulisnya, Kamis (15/6).

Rencana investasi JETP untuk Indonesia terdiri dari 10 miliar dolar dana dari IPG (International Partners Group, terdiri dari Perancis, Jerman, Inggris, AS, Uni Eropa), serta 10 miliar dolar hutang di bawah koordinasi GFANZ (Gugus kerja Aliansi Keuangan Glasgow untuk Net Zero, terdiri dari HSBC, Standard Chartered, Bank of America, Citi, Deutsche Bank, MacQuarie, MUFG). 

“Kerangka JETP sendiri tak terpisahkan dari alokasi dana pinjaman CIF (Dana Investasi Iklim/Climate Investment Fund) dari Group Bank Dunia (2008), termasuk program pinjaman CTF (Dana Teknologi Bersih/Clean Technology Fund) bagi swasta untuk investasi geothermal, baterai, tenaga surya, serta program pinjaman ACT (Mempercepat Transisi Batubara/Accelerating Coal Transition) dengan empat negara sasaran awal yaitu India, Indonesia, Filipina dan Afrika Selatan,” katanya.

JETP Soal Politik, Bukan Soal Teknis

Kepala Divisi Hukum JATAM Muh Jamil menyebutkan bahwa terdapat tiga kata-kunci dalam JETP, yaitu transisi-energi, adil, dan kemitraan. Ketiganya adalah sarat dengan muatan politik kepentingan negara utara/kaya/industri-maju sebagai penguasa aliran keuangan dan rerantai ekonomi global, di hadapan krisis perubahan iklim bumi. 

“Setidaknya terdapat tiga agenda yang mewakili kepentingan tersebut,” tutur Jamil.

Pertama, pengalihan perhatian dan pengerahan kesepakatan negara-negara anggota PBB, dari soal penghentian ekstraksi, pengolahan dan konsumsi sumber-energi fosil yaitu minyak bumi, gas bumi dan batubara sebagai sumber penyebab utama bencana iklim, menjadi persoalan transaksi kompensasi keuangan atas pembesaran emisi dari industri energi fosil.

Terutama atas nama mekanisme ‘ekonomi rendah karbon’, ‘ekonomi hijau’, ‘pembangunan bersih’, pembelian ‘hak mencemari’ dari perusahaan pemegang konsesi stok cebakan karbon yang beroperasi di sabuk tropis, dan penerapan teknologi pereduksi cemaran dari pembakaran sumber-energi fosil.

“Kalau mau terus mencemari udara tanpa berbuat apa-apa, bayar. Dalam penjungkir-balikan akal sehat seperti itu, perusahaan-perusahaan energi fosil raksasa dan industri yang bergantung padanya bahkan akan bisa mengaku telah mencapai emisi Nol sambil terus memperbesar semburan gas rumah-kaca,” tegas Jami.

Kedua, pembesaran dan perluasan pasar industri energi beserta rerantai industri ekstraktif, infrastruktur teknologi dan keuangan/pembiayaan yang berkelindan dengannya. Dan yang menjadi sasaran utama adalah memang negara-negara Selatan (disebut juga wilayah pasar-berkembang/emerging markets).

“Sebagai pasar tangkapan maupun sebagai zona-pengorbanan dalam pendudukan dan pembongkaran bentang daratan dan perairannya untuk ekstraksi mineral vital bagi produksi dan konsumsi energi terbarukan,” terangnya.

Ketiga, penyiapan segenap protokol penjaminan keamanan kepentingan investasi jangka-panjang atas wilayah-wilayah koloni industri –terutama koloni industri energi– dari negara Utara.

Termasuk pembaruan sistem transaksi dan penghitungan pendapatan nasional, mekanisme dan instrumen regulasi, akses bebas ke bagian manapun dari wilayah kedaulatan negara yang bisa dieksploitasi, dan jaminan penguasaan ruang jangka-panjang.

“Tidak mungkin diselipkan gagasan keadilan dalam skema JETP, dan yang disebut sebagai kemitraan akan lebih tepat disebut sebagai relasi kolonial-imperial antara patron politik dan keuangan dengan negara-negara kliennya,” tutur Jamil.

Yang Salah Dengan JETP

Sementara itu, Kepala Divisi Simpul & Jaringan JATAM Ki Bagus mengurai terkait yang salah dengan JETP. Ia menjelaskan bahwa JETP penting untuk dibaca sebagai rencana investasi industri keuangan/pembiayaan global. 

Menurut Ki Bagus, operator JETP untuk Indonesia dalam setahun ini akan harus merumuskan aspek-aspek kunci kebutuhan pembiayaan, termasuk ‘pensiun’ dini pembangkit listrik dan tambang batubara serta perluasan penerapan ‘teknologi energi bersih’ yang memudahkan transisi ke produksi konsumsi ‘energi rendah karbon’. 

Ki Bagus lebih lanjut mempertanyakan terkait, apakah telah ada cukup informasi dan kajian yang dikemukakan dan dibicarakan bersama warga masyarakat Indonesia tentang hal-ikhwal rencana pembiayaan JETP tersebut?.

Selain itu, ia juga mempertanyakan risiko-risiko apa saja yang harus dikemukakan terbuka oleh pihak pengelola JETP kepada publik, baik risiko keuangan, risiko eskalasi bencana bagi warga wilayah-wilayah yang dibebani program JETP, atau risiko justru tidak tertanganinya masalah-masalah dari dalam perusahaan-perusahaan industri energi sendiri?

“Kita bisa belajar dari paket JETP untuk Afrika Selatan, sasaran pertama promotor kemitraan. Dari 8,455 miliar dolar nilai investasi, 96 persennya adalah pinjaman konsesional dan pinjaman komersial serta jaminan hutang. Hanya empat persennya berupa dukungan hibah,” katanya.

“Perbandingan hibah/hutang dari keenam investornya (CIF/ACT, Inggris, UE-Bank Investasi Eropa, AS, Perancis, Jerman) berkisar antara 0.3% (Perancis) sampai 25.7% (Jerman). ESKOM sebagai PLN-nya Afrika Selatan sendiri terbelit krisis mendalam, dan rerantai pasokan pengadaan daya sendiri pun sampai sekarang tidak pasti,” tambah Ki Bagus.

Untuk Indonesia, terangnya, kata-kunci ET dalam akronim JETP sendiri perlu publik pertanyakan. Di sepanjang tiga dekade terakhir (1990-2018), pertumbuhan emisi gas rumah-kaca Indonesia adalah 5x lipat untuk kelistrikan dan transportasi, dan 4x lipat untuk manufaktur/konstruksi.

“Bagaimana perumusan kebutuhan energi berlangsung? Untuk melayani kepentingan apa dan siapa?,” tanyanya kemudian.

“Transisi industri energi? Bauran konsumsi batubara dalam negeri di 1985-2020 naik dari ±10% ke ±40%. Indonesia mengekspor 70-80% hasil ekstraksi batubara, untuk dibakar di beberapa negara pembelinya. Kementerian ESDM sendiri terus menaikkan target ekstraksi batubara, dari 594 juta ton (2020) naik 20 persen ke 697 juta ton (2023),” sambung Ki Bagus.

Artinya tidak lain adalah, lanjuthya, kenaikan emisi terkoordinir dari industri batubara Indonesia. Kalau pasokan listrik dianggap penting sebagai sumber emisi, hari ini kebutuhan puncak Indonesia adalah ±40GW, sementara besaran pasokan listrik adalah ±70GW. 

“Berapa gigaton emisi CO2 yang sebetulnya tidak perlu dihasilkan oleh industri energi listrik tersebut? Di hadapan gamblangnya sikap tidak peduli tersebut, kenapa yang dibesarkan adalah justru cerita rencana ‘pensiun dini’ belasan PLTU saja, termasuk lewat pembakaran campuran dengan biomassa, beserta ‘inovasi’ kategori perkebunan/konversi hutan, dari HTI menjadi HTE (hutan tanaman energi)?,” katanya.

Apalagi sekarang, terang Ki Bagus, digencarkan promosi resmi transaksi keuangan antar operator/pemilik PLTU sebagai mekanisme palsu penurunan emisi lewat perdagangan instrumen keuangan karbon. 

“Bagaimana dengan minyak dan gas fosil? Sama seperti batubara, tiap tahun target lifting minyak dan gas fosil terus naik, bertolak belakang dengan berbagai janji hebat kontribusi reduksi emisi nasional. Kenapa keduanya sebagai sumber emisi biang-kerok krisis iklim bumi bahkan tidak disebut-sebut dalam kata transisi energi dari JETP?,” terangnya.

Sikap Tegas JATAM

Dari berbagai sudut pandang tersebut, JATAM kemudian memiliki sikap tegas dan mengajak semua pihak yang menginginkan Indonesia yang bersih dari kepentingan kepentingan kolonial negara-negara kaya, industri energi dan industri keuangan globang untuk melihat rencana investasi JETP untuk Indonesia ini. 

Bagi JATAM, rencana investasi JETP untuk Indonesia tidak akan berkontribusi penting pada koreksi atas pembesaran ‘sumbangan’ emisi Indonesia dari industri energi. JETP sendiri yang mencakup hampir 20 miliar dolar hutang baru.

“Akan membebani keuangan negara untuk proyek-proyek yang sama-sekali tidak berhubungan dengan pemulihan krisis atau perlindungan atas ekonomi rakyat banyak,” tegasnya. 

JATAM juga melihat, rencana investasi JETP dan transaksi bisnis terutama dengan investor akan berlangsung di dalam perpipaan aliran keuangan, informasi dan komoditi di bawah kendali industri, dan karenanya tidak akan memberikan manfaat besar apalagi perlindungan bagi warga di wilayah-wilayah operasi industri energi di kepulauan Indonesia. 

“JETP tidak mungkin menciptakan keadilan sosial, apalagi ikut memulihkan krisis ekologis pada skala biosfera maupun pada skala kepulauan dan perairan Indonesia,” ujarnya. 

Lebih jauh, menurut JATAM rencana-rencana investasi serta target-target waktu capaian dalam ‘ekonomi-perubahan-iklim’ skala global, adalah serangan dan ancaman nyata pada jaminan keamanan bentang-bentang air, lahan penghasil pangan dan sumber-sumber kehidupan rakyat lainnya. 

“Khususnya yang menyangkut pembesaran wilayah ekstraksi dan pasar tangkapan dari industri energi, termasuk pembesaran ladang-ladang ekstraksi geothermal, mineral baterai, bahan-bakar nabati dan jenis ‘energi terbarukan’ lainnya,” ungkapnya.

“JETP, beserta berbagai program pembiayaan multilateral lainnya untuk investasi industri energi dan industri ekstraktif dengan dalih menyelamatkan dunia dari krisis iklim merupakan modus operandi dari perangkap hutang, perangkap perdagangan instrumen keuangan karbon, dan sepenuhnya berwatak kolonial,” pungkasnya.