Industri Ekstraktif Ancam Pesisir dan Pulau Kecil
Berita Baru, Jakarta – Perlindungan lingkungan dan pemberdayaan masyarakat lokal harus menjadi prioritas utama untuk menjaga keberlanjutan ekosistem dan kesejahteraan manusia. Kesimpulan ini muncul dalam diskusi publik bertajuk “Masa Depan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Menghadapi Ancaman Industri Ekstraktif” yang diselenggarakan oleh Pusat Riset (PR) Politik, Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial Humaniora (OR IPSH), dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Rabu (10/7/2024).
Seperti diketahui, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia memiliki peran penting dalam ekosistem, budaya, dan ekonomi lokal. Namun, mereka menghadapi ancaman serius dari industri ekstraktif seperti pertambangan, eksplorasi minyak dan gas, serta penangkapan ikan besar-besaran, yang membawa dampak negatif signifikan bagi ekosistem dan kehidupan masyarakat setempat yang bergantung pada sumber daya alam.
Athiqah Nur Alami, Kepala Pusat Riset Politik, menyatakan bahwa diskusi ini bertujuan untuk merespon berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil akibat aktivitas industri, termasuk tambang dan pariwisata.
“Indonesia, sebagai negara kepulauan yang kaya akan keanekaragaman hayati, menghadapi ancaman serius terhadap kelestarian dan keberlangsungan ekosistemnya,” ujar Athiqah.
Ia juga menambahkan, “Eksistensi pulau-pulau kecil mulai lenyap dan bahkan tenggelam, menunjukkan kerentanan ekologis, sosial, ekonomi, dan budaya. Hal ini tidak hanya disebabkan oleh perubahan iklim, tetapi juga oleh aktivitas industri ekstraktif.”
Athiqah menyoroti kebijakan hilirisasi dan masifnya kegiatan pertambangan yang berpotensi mengganggu keseimbangan ekosistem di pesisir laut dan pulau kecil. Proyek hilirisasi nikel di Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku Utara, serta pertambangan biji besi dan emas di Sulawesi Utara adalah contoh yang nyata.
“Dampak lingkungan dari industri ekstraktif ini sangat jelas, termasuk pencemaran logam berat di sungai-sungai sekitar pabrik, pencemaran air dan udara, hancurnya hutan, serta penggusuran lahan petani,” ungkapnya.
Selain itu, privatisasi wilayah pesisir juga menjadi isu yang penting. Data dari beberapa NGO menunjukkan bahwa hingga tahun 2023, lebih dari 200 pulau telah diprivatisasi dan diperjualbelikan di seluruh Indonesia, terutama di DKI Jakarta dan Maluku Utara.
“Dampak dari berbagai aktivitas industri ekstraktif ini jelas paling dirasakan oleh masyarakat setempat. Ruang hidup mereka terampas, akses ke perairan untuk melaut semakin terbatas, dan mereka semakin terpinggirkan oleh kekuatan oligarki dan korporat,” tegas Athiqah.
Sebagai contoh, Athiqah menyoroti pembangunan di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, sebagai mega proyek yang perlu dievaluasi untuk memastikan regulasi terkait pengelolaan pulau-pulau kecil sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014.
“Regulasi ini seharusnya bertujuan untuk melindungi konservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya sumber daya alam serta sistem ekologi secara berkelanjutan,” katanya.
Peneliti PR Politik, Anta Maulana Nasution, juga menyampaikan refleksi perjalanan riset dari tahun 2015-2023 tentang tantangan yang dihadapi pulau-pulau kecil dan pesisir Indonesia. Ia menggarisbawahi permasalahan seperti stagnansi ekonomi, kerusakan alam, kebijakan yang berubah-ubah, dan ancaman keamanan laut. “Tantangan ini mencakup alih fungsi lahan, penurunan stok sumber daya perikanan, pencemaran laut, serta masifnya industri ekstraktif,” jelas Anta.