Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Imperatif Moral | Catatan Ramadan: Ahmad Erani Yustika
Ilustrasi : Istimewa

Imperatif Moral | Catatan Ramadan: Ahmad Erani Yustika



Imperatif Moral | Catatan Ramadan: Ahmad Erani Yustika

Ahmad Erani Yustika

Deputi Ekonomi Setwapres; Guru Besar FEB UB


Keajaiban modernisasi bukanlah mesin pesawat, internet, atau planet mars; tapi Mbah Jum. Penjual tempe tunanetra di Pasar Kasian Bantul ini teladan yang menjulang. Ia menjual tempe dengan meminta pembeli ambil kembaliannya sendiri, yang ditaruh di samping tempe yang dijajakan. Lazimnya, tiap pembeli selalu memberi kelebihan uang, dengan bilang uangnya pas sesuai harga. Namun, Mbah Jum tak pernah mengambil kelebihan itu. Dia cuma perlu Rp 50 ribu, selebihnya diberikan ke masjid. “Uang lebih itu milik Allah, maka tempat yang paling baik adalah mengembalikannya ke rumah Allah,” begitu adab hidupnya.

Biasanya barang dagangannya habis jam 10 pagi dan ia menjalaninya dengan riang gembira sambil shalawatan. Sesekali, usai berdagang, ia menerima jasa memijat bayi. Semua hasilnya diserahkan untuk amal. Menurut Mbah Jum, ia sebetulnya tak bisa memijat. Kalau bayi yang dipijat sembuh sesungguhnya itu kehendak Allah. “Itu yang menyembuhkan Allah, maka uangnya adalah milikNya,” ujarnya. Tabiat menggetarkan itu yang saya sebut keajaiban di tengah deru ekonomi modern. Mbah Jum menabrak dua diktum ekonomi yang kokoh berdiri: maksimalisasi keuntungan dan kepercayaan terbatas.

Asumsi manusia dalam ekonomi adalah perilaku mementingkan diri sendiri (self-seeking behavior) dan kecenderungan melakukan penyimpangan. Kapitalisme memfasilitasi hasrat memperoleh laba maksimal itu dengan rapi lewat jalur penumpukan kapital tanpa batas. Korporasi hebat diukur dari profit yang diakumulasi, bukan faedah sosial. Sahamnya melonjak jika laba menanjak (blue chip). Pelaku ekonomi tak patut pula dipercaya sehingga mesti dibuat pagar berupa aturan main (rules of the game) agar lelaku menyimpang bisa dipangkas. Keyakinan ini yang dipromosikan oleh para ekonom kelembagaan.

Jika manusia isinya adalah pribadi yang mementingkan orang lain, maka tidak akan pernah muncul ketimpangan parah. Bukti lantas bersuara nyaring: dunia hanya dikendalikan satu persen warga paling kaya yang menguasai 80% aset ekonomi. Itu sebabnya di AS satu dekade lalu muncul “Occupy Movement” dengan slogan: We Are 99%. Gerakan itu merupakan protes atas keserakahan dan ketimpangan yang makin tidak terkendali. Selanjutnya, tanpa hukum (aturan main) manusia ialah makhluk “pendusta”. Janji dan komitmen akan dikhianati asalkan dengan cara itu ia memperoleh keuntungan.

Seluruh asumsi dan tatanan ekonomi itulah yang dirobohkan oleh Mbah Jum. Ritual ekonomi baginya adalah paket ibadah untuk mencukupi hidup. “Ekonomi cukup” adalah kredo manusia sebagai hamba sosial dan spiritual, yang menempatkan insentif material di bawah imperatif moral. Sebagai ritus ibadah, tak pantas orang dicurigai (penjual atau pembeli). Itu sebabnya Mbah Jum yakin para pembelinya tak akan menipu jumlah kembaliannya. Inilah sejatinya hakikat puasa: tak mengambil kelebihan (ekspresi cukup/kenyang) dan membagi kepedulian (penghayatan lapar). Puasa adalah iman kepada langit dan keteguhan memeluk bumi.