Ibu Kota Negara Baru dan Deforestasi Hutan Kaltim
Ibu Kota Negara Baru dan Deforestasi Hutan Kaltim
Oleh: Qomaruddin SE., M.Ksos
Hutan Indonesia seluas 120,35 juta hektar merupakan salah satu kelompok hutan tropis ketiga terbesar di dunia setelah Brazil dan Zaire. Hutan Indonesia juga mempunyai fungsi utama sebagai paru-paru dunia serta penyeimbang iklim global, dengan keanekaragaman hayati terbesar kedua di dunia.
Selama tiga dekade terakhir, sumberdaya hutan telah menjadi modal utama pembangunan ekonomi nasional. Dan memberi dampak positif terhadap peningkatan devisa, penyerapan tenaga kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi.
Namun demikian, pemanfaatan hasil hutan kayu secara berlebihan dan besarnya perubahan kawasan hutan untuk kegiatan pembangunan non kehutanan, menyebabkan timbulnya berbagai permasalahan lingkungan, ekonomi dan sosial.
Sebagai akibatnya, laju deforestasi dan degradasi hutan semakin tinggi dan Indonesia juga penyimbang emisi terbesar di dunia.
Padahal Indonesia meratifilasi paris agreement dengan UU no 16 tahun 2016 tentang pengesahan paris agreement konvensi kerangka kerja perserikatan bangsa bangsa mengenahi perubahan iklim.
Indonesia berkomitmennmengurangibemisi 29% dengan upaya sendiri dan 41% bila ada kerja sama internasional sampai pada tahun 2030. Salah satunya melalui sektor kehutanan dan pertanian.
Indonesia tidak akan memenuhi target pengurangan emisi yang telah ditetapkan sendiri tanpa mengurangi deforestasi dan degradasi hutan, faktanya fata deforestasi dan degradasi hutan meningkat terus.
Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO/Food and Agriculture Organization) mengatakan, priode 1970 deforestasi hutan indonesia mencapai 300 ribu ha per tahun; 1990 1 juta ha; 1996-2000 2 juta ha/ tahun; 2005-2010 dan 1.5 juta ha/ tahun; dan 1.1 juta ha/ha pada priode 2010-2014.
Khusus untuk provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) penyumbang tertinggi deforestasi dan degradasi hutan. Laju pergerakan deforestasi dan degradasi hutan di sana meningkat signifikan dari 89 ha/pertahun menjadi menjadi 157 ha/tahun, hampir dua kali lipat peningkatanya (data;FWI).
Artinya dalam kondisi yang krodit tentang kerusakan hutan yang terjadi di provinsi Kaltim, perlu ada langka-langka setrategis dan kongkrit dari pihak pemerintahan baik provinsi maupun pusat.
Bukan malah memaksakan kehendek untuk membangun Ibu Kota Negara di provinsi Kalimantan. Karena menurut Arif Budiman (dunia ketiga) membangunan pada hakikatnya adalah merusak khususnya ekologi yang ada.
Bila Pemerintah Pusat tetap memaksakan Ibu Kota Negara pindah ke kalimantan Timur ada beberapa hal yg di langar diantaranya adalah ;
- Melangar paris agreement yg sudah diratifikasi menjadi UU nomer 16 tahun 2016, karena dengan membangun Ibu Kota Negara yang baru di kawasan hutan lindung sama dengan menyumbang Deforestasi dan menyumbang emisi baru.
- Merusak hutan lindung sungai wain yang ada di kalimantan timur, hal ini yang tidak sesuai dengan UU nomer 18 tahun 2013 tentang Pencegahan, pemberantasan, dan perusakan Hutan.
- Terkesan Memaksakan kehendak tampak mempertimbangkan pendapat dari pemerintahan provinsi dan warga kalimantan timur.
- Menghilangkan habitat yang ada di hutan kalimantan timur. Baik itu hewani maupun tumbuhan nabati. Dll
Untuk kepentingan nasional dan regional kami mohon kepada pemerintahan pusat agar mengkaji ulang tentang kebijakan pemidahan Ibu Kota negara Indonesia.
Apalagi di saat dunia mengalami resesi, dan perekonomian Indonesia melemah, nilai rupiah terjun sampai angka 16.000 per US Dollar serta wabah Corona yang semakin masif, menjadi tidak elok bila pemerintah tetap memaksakan Ibu Kota dipindah ke Kalimantan Timur.
Qomaruddin SE., M.Ksos., merupakan alumni pasca sarjana UI dan Kepala Sekolah Pengkaderan BMI.