Hoaks, Anak Muda, dan Tingkat Literasi di Indonesia
Oleh: Arfi’ah Reihandini*
Berita Baru, Kolom – Teknologi Komunikasi dan Informasi (TIK) bergerak mengikuti perkembangan zaman dengan beragam media termasuk media daring. Kemudahan serta efisiensi yang ditawarkan oleh media daring memosisikanya menjadi wadah penyebaran informasi yang efisien dan sangat berpengaruh pada masyarakat.
Media daring tidak hanya mengubah cara penyampaian informasi menjadi jauh lebih mudah dan cepat, tetapi juga mengubah cara masyarakat mengonsumsi informasi. Sebagai akibatnya, muncul banyak dampak negatif dari adanya perkembangan teknologi dan menyebabkan cukup banyak efek yang merugikan masyarakat. Salah satunya berita bohong atau hoaks
Maraknya hoaks yang tersebar di seluruh lapisan masyarakat Indonesia menyebabkan banyaknya kericuhan yang terjadi di sosial media. Hoaks secara umum bisa dibagi menjadi dua jenis: misinformasi dan disinformasi.
Keduanya sama-sama informasi salah yang tersebar di masyarakat. Misinformasi merupakan informasi salah yang disebar karena penyebarnya tidak mengetahui bahwa informasi tersebut salah, sedangkan disinformasi adalah informasi salah yang disebar oleh penyebarnya secara sadar dengan tujuan tertentu.
Dampak dari hoaks ini juga berdampak pada hubungan sosial antarmasyarakat dan kehidupan ekonomi serta politik di dalamnya. Penyebaran berita hoaks di media sosial juga mampu memengaruhi pola pikir dari masyarakat itu sendiri.
Dampak negatif dari penyebaran hoaks meliputi keributan di dunia nyata, pencemaran nama baik, pertikaian antarsaudara, kekerasan fisik, dan penculikan bahkan pembunuhan. Selain itu, ia berdampak pula pada kesehatan mental.
Dalam sebuah studi di University of California, San Francisco, para psikolog sepakat bahwa hoaks bisa memberikan dampak buruk bagi keeehatan mental, seperti Post-Traumatic Stress Syndrome (PTSD), menimbulkan kecemasan hingga kekerasan.
Para psikolog juga menyebutkan orang yang terpapar hoaks, atau dalam hal ini korban, pada dasarnya membutuhkan terapi, karena diselimuti kecemasan, tekanan, dan kesepian usai hoaks yang tersebar atas dirinya.
Kominfo menemukan setidaknya 9.546 hoaks yang tersebar di berbagai platfom media sosial. Data itu terangkum dalam kurun tiga tahun, dimulai dari agustus 2018 hingga awal 2022. Dari hal ini muncul fakta bahwa minat baca atau literasi di masyarakat indonesia ini masih sangat kurang, masyarakat indonesia masih banyak yang mudah termakan dan menyebar-luaskan berita yang belum tentu kebenarannya.
Contohnya baru-baru ini, tersebar berita tanah longsor di Kabupaten Gunungkidul yang juga menjadi momok keberadaan berita hoaks. Hal itu bermula dari telah beredarnya video tanah longsor yang sebetulnya terjadi di lain daerah, namun diberikan narasi bahwa kejadian itu terjadi di Kabupaten Gunugkidul.
Tak sedikit pula masyarakat yang mendapatkan berita tersebut, langsung menyebarkan kepada orang lain tanpa mengecek terlebih dahulu kebenarannya dari sumber lain. Hal ini dalam waku singkat telah menyebabkan kepanikan dan ketakutan bagi masyarakat. Ini merupakan salah satu bukti bahwa Misinformasi di masyarakat masih sangatlah banyak dan sulit dihindari.
Maka dalam memahami dan mengolah informasi di media sosial diperlukan adanya congnitive abilities (kemampuan kognitif) yang perlu untuk dimiliki oleh setiap individu. Piaget berasumsi bahwa kemampuan kognitif juga dapat mengatur stimulus tingkah laku seorang manusia.
Jika setiap manusia memiliki kecakapan kognitif, orang tersebut dapat membentuk pengetahuannya sendiri tentang realitas kehidupan di dunia. Imbasnya, orang tersebut tidak akan mudah termakan hoaks.
Terdapat tiga tahapan dalam melakukan pemikiran kognitif: pembentukan kerangka konsep berpikir, berpikir logis, dan pengambilan keputusan.
Kurangnya keterampilan membaca dan menulis menyebabkan kerugian yang signifikan bagi para individu. Sebab literasi tidak hanya membantu untuk memperkaya kehidupan namun juga memberikan peluang bagi individu untuk mengembangkan keterampilannya dalam mengolah informasi.
Individu dengan kemampuan literasi yang rendah mungkin tidak bisa membaca buku, sulit untuk memahami rambu-rambu jalan, mengisi formulir, dan sebagainya di kehidupan sehari-harinya.
Kini di era yang sudah bergerak maju, di mana informasi dapat kita akses di semua platform media sosial, kita juga harus meningkatkan kemampuan literasi untuk dapat mengakses, menganalisis, membuat, dan menggunakan media sosial dengan bijak dan sebaik-baiknya.
Dalam era digital ini, kemampuan berpikir kritis sangan diperliukan agar kita dapat menyaring informasi yang benar dan bermanfaat. Selain itu, manfaat dari literasi itu sendiri juga dapat menuntun kita untuk dapat melakukan beberapa tahapan dalam berpikir secara kognitif, yaitu dengan membentuk kerangka konsep berpikir, berpikir secara logis, dan mengambil keputusan.
Jika kita kurang atau bahkan tidak mempunyai minat baca, tentunya kita akan kesulitan dalam membentuk kerangka konsep berpikir. Sayangnya di Indonesia, perlu kita akui bahwa minat baca atau literasi pada masyarakat masih sangatlah rendah.
Kementerian Dalam Negeri menampilkan bahwa Indonesia berada pada posisi ke-62 dari 70 negara dalam hal minat baca. Kemudian menurut UNESCO, minat baca pada masyarakat Indonesia hanya 0,001%.
Data ini menunjukan bahwa hanya ada 1 dari 1000 orang Indonesia yang giat dalam membaca. Data ini tentunya mendukung data dari Kementrian Dalam Negeri, bahwa tingkat literasi masyarakat Indonesia memang sangat rendah.
Firman Agus, yang merupakan trainer Google News Initiative, mengatakan bahwa Indonesia saat ini berada di posisi lima besar pengguna internet terbanyak di dunia. Dari 250 juta penduduk Indonesia, 64.8 persen, sudah terhubung dengan internet.
Kebanyakan masyarakat yang menggunakan internet di Indonesia bertujuan untuk berkomunikasi menggunakan media sosial, mulai dari Facebook, Twitter, Instagram, WhatsApp, dan berbagai aplikasi lainnya. Akan tetapi penggunaan internet di Indonesia ini tidak diimbangi dengan kemampuan membaca yang baik dan kemampuan untuk berpikir kritis atas informasi yang diterima.
Dengan mudahnya dan banyaknya paparan internet, mayoritas masyarakat nyatanya masih gagal dalam menyaring informasi, sehingga saat ini banyak informasi hoaks yang didapat di berbagai media.
”Langkah awal turn back hoax sudah bagus, berikutnya perlu menyentuh sumber persoalannya yaitu literasi baca yang rendah sebagai akibat dari edukasi yang rendah, dengan cara memberikan tambahan pengetahuan dan peningkatan pendidikan di Indonesia,” jelas Ketua Umum Mastel Kristiono dalam keterangan resminya yang disampaikan di Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), Jakarta, Senin (10/1).
Oleh karena itu, untuk melawan penyebaran berita palsu, diperlukan adanya literasi atau peminatan baca bagi masyarakat, khususnya bagi kaum milenial, agar kaum milenial dapat berpikir lebih kritis dan menyebarkan pentingnya mencari keaslian atau pun kebenaran atas informasi yang tersebar.
Tujuan dari literasi itu sendiri yaitu untuk memberikan suatu kontrol, kepada masyarakat dalam menyimpulkan informasi, yang diharapkan masyarakat dapat lebih berhati-hati dan mau mencari kebenaran mengenai informasi yang mereka dapat.
Dapat disimpulkan bahwa literasi memiliki sumbangsih banyak dalam keberlangsungan hidup masyarakat mulai dari segi kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan budaya.
*Penulis adalah dari Fakultas Psikologi Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa
Sumber:
Solihin, M. M. (2021). Hubungan Literasi Digital dengan Perilaku Penyebaran Hoaks pada Kalangan Dosen di Masa Pandemi Covid-19. Jurnal Pekommas, 6(3), 91–103. https://doi.org/10.30818/jpkm.2021.2060309
Kulbi, Sofia. (2020). Penerapan Psikologi Kognitif Dalam Mengolah Berita Hoax Di Media Sosial Selama Pandemi Covid-19 Di Kampung Santren Surabaya. IJIP : Indonesian Journal of Islamic Psychology. 2. 171-198. 10.18326/ijip.v2i2.171-198.