Harlah 62 Tahun: IKA PMII Bolsel Mengulas Wacana Tiga Periode
Berita Baru, Bolsel – Pengurus Cabang Ikatan Alumni Pergerakan Mahasiswa Islami Indonesia (IKA PMII) Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel) Sulawesi Utara (Sulut) mengisi momentum hari lahir (Harlah) PMII yang ke-62 tahun dengan agenda buka puasa bersama dan diskusi, bertempat di Butola Caffe, Senin (18/04) malam.
Selain dihadiri oleh sejumlah kader IKA PMII, juga menghadirkan Ketua PCNU, Zulkarnain Kamaru dan Ketua GP Ansor Bolsel, Fadli Tuliabu. Setelah buka puasa bersama, dilanjutkan dengan diskusi dalam rangka merespon “wacana tiga periode” yang tengah ramai dibincangkan publik hari-hari ini.
“Mengapa diskusi ini saya awali dengan wacana tiga periode, sebab kita tahu bersama tanggal 11 April 2022 kemarin ada peristiwa aksi nasional oleh mahasiswa, yang bahkan hampir dilaksanakan di seluruh daerah di Indonesia. Mereka menolak wacana itu. Sehingga, saya fikir hari lahir PMII yang kerap diperangati 17 April ini momentumnya tidak lewat begitu saja,” ujar Ketua IKA PMII Bolsel, Ahmadi Modeong.
Ahmadi menuturkan IKA PMII Bolsel, paling tidak, dengan anniversary PMII ke-62 tahun ini bisa memiliki bacaan ihwal situasi bangsa hari-hari ini. Dengan kata lain meskipun tindakannya lokal, akan tetapi bacaan soal situasi nasional hingga global tak boleh putus. Sebab, setiap rentetan peristiwa yang terjadi di global dan nasional tersebut memiliki kaitan erat dengan situasi lokal.
“Sehingga dengan adanya wacana tiga periode ataupun penundaan pemilu 2024 ini kita harus memiliki sikap: setuju atau tidak. Nah, ini yang harus kita tuntaskan di forum ini,” ujarnya.
Forum Dua Pendapat
Diskusi baru bisa dimulai setelah buka puasa bersama dan dilanjutkan sholat Magrib. Kurang lebih satu jam berdiskusi sebelum akhirnya dipending untuk sholat Isya dan Tarawih. Setelah itu, diskusi dilanjutkan hingga pukul 22.00 WITA. Di dalam forum itu masing-masing kader mengutarakan pendapat yang berbeda: setuju dan tidak ihwal wacana tiga periode.
Penolakan wacana tiga periode ditegaskan Mardiansyah Usman. Menurutnya, hal ini sangat jelas merupakan pembangkangan terhadap Undang-Undang Dasar (UUD 1945) maupun amanat reformasi. Sebab, dalam konstitusi sangat jelas mengatur bahwa masa jabatan presiden dan wakil presiden RI dibatasi dua periode.
Selain itu khianat kepada reformasi yang dimaksud adalah, bangsa Indonesia sudah melewati masa jabatan presiden yang cukup lama yakni di era Soeharto selama 32 tahun. Reformasi terus didengungkan saat itu: sebab di era Soeharto, otoritarianisme, kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) telah menjadi akut. Menurut, Ketua Lesbumi NU Sulut ini, masyarakat Indonesia mesti bersyukur era reformasi berhasil diperjuangkan, meskipun harus dibayar dengan darah.
“Kita tentu tidak menginginkan era itu terjadi lagi. Lebih-lebih upaya itu harus mengangkangi konstitusi bangsa ini,” ujarnya.
Bukan hanya itu, lanjut Mardiansyah, selain khianat terhadap konstitusi dan reformasi, dengan sangat terbukanya para elit terus mendorong wacana tiga periode ataupun penundaan pemilu ini barangkali mereka telah amenesia sejarah dan hilangnya rasa empati terhadap publik. Padahal di sisi lain, banyak sekali masalah sosial melanda bangsa hari-hari ini, mulai dari pandemi Covid-19; kenaikan harga minyak goreng, dan bahan bakar minyak (BBM).
Sementara itu, menurut Ketua IKA PMII Bolsel, Ahmadi Modeng, ihwal wacana penundaan pemilu 2024 patut pula dilihat bahwa salah satu tokoh yang mengemukakannya ialah Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yang juga merupakan alumni PMII.
“Alasannya karena perbaikan ekonomi akibat pandemi Covid-19.” Dengan demikian, kata Ahmadi, baik soal penundaan pemilu maupun wacana tiga periode, dalam hal ini NU, mesti mampu membaca dari sisi maslahat politisnya yang bakal diperoleh ke depan.
“Hari ini kita mesti lihat bahwa Wakil Presiden RI, KH. Ma’aruf Amin, adalah dari NU.”
Selain itu, dia menyinggung soal wacana tiga periode yang melanggar konstitusi. Ia menyebut jika demikian, lantas mengapa negara memfasilitasi ruang amandemen. Itu berarti sejak awal bangsa ini tidak konsisten, sebab buktinya sudah empat kali UUD 1945 dilakukan amendemen.
“Begitun jika kita berbicara soal masa jabatan presiden. Jangankan dua periode, kita pernah mengalami fase kepemimpinan presiden selama 32 tahun,” ujarnya.
Sedangkan menurut, Aheng Sastro, bila wacana penolakan tiga periode tersebut datang dari seluruh elemen rakyat Indonesia, maka dirinya sepakat wacana ini tidak dilanjutkan. Akan tetapi, dirinya menyebut jika penolakan wacana tiga periode bukan datang dari masyarakat akar rumput, melainkan dari kalangan kelas menengah maka patut dicurigai.
Bahkan dirinya menyayangkan, demonstrasi yang dilangsungkan pada 11 April 2022 kemarin justru disusupi dengan isu turunkan Presiden Jokowi. “Kita sebagai warga NU tidak diajarkan oleh para kiai dan sesepuh soal mengkudeta kepempimpinan yang sah. Maka kita mesti harus tegas di sini,” tandasnya.