Hari Ulang Tahun Dalvosa | Cerpen: Erwin Setia
Ia mematikan lampu dan menyalakan lilin. Lilin berbentuk angka dua puluh dua yang mirip sepasang angsa kembar berbaris di atas danau dengan kepala terbakar. Lilin itu menemplok di atas kue berwarna putih-cokelat bundar yang memampangkan huruf-huruf penyusun namanya. Ia memejamkan mata, berusaha memikirkan hal-hal indah sebelum meniup lilin. Telapak tangan kiri ia tempelkan di atas punggung tangan kanan. Api di atas lilin menyala terang dan berembus pelan tertiup udara malam. Matanya berkedut-kedut seperti orang yang tengah berusaha mengenyahkan mimpi buruk. Dalvosa mengatupkan sepasang tangannya, menciptakan sebuah kepal yang erat. Dalam kesunyian malam yang terasa lebih sunyi daripada malam-malam sebelumnya, mulutnya berkomat-kamit. Barangkali ia berdoa, barangkali ia sedang mengulang-ulang suatu nama.
Pintu rumah Dalvosa tidak terkunci. Seseorang mengetuk pintu dan masuk sebelum tuan rumah mempersilakan. Orang itu mengenakan topi. Ia menghampiri Dalvosa yang masih terpejam. Ia menepuk bahu Dalvosa. Dalvosa membuka matanya dan menemukan orang itu menyunggingkan senyum kepadanya. Tubuh Dalvosa bergidik. Dingin malam bertambah-tambah. Orang itu membuka topinya dan berkata, “Apakah kau masih mengingatku, Dalvosa?” Ia tidak menjawab. Tapi tentu Dalvosa mengingat dengan baik orang itu. Orang itu adalah diri Dalvosa ketika ia berumur 19 tahun. Waktu itu ia menjalani kencan pertama bersama seorang perempuan bernama Nadela. Keduanya pergi ke sebuah pantai di ujung Ibu Kota. Sepulang dari pantai, ia membeli dua topi: satu topi untuknya dan satu untuk Nadela. Ia pulang dengan bahagia dan ia yakin Nadela juga bahagia. Ia masih hafal betul bentuk senyum Nadela yang melengkung manis dengan pipi kanan membentuk ceruk yang ia ingin tenggelam di dalamnya. Ia merasa sebagai remaja paling beruntung sejagat raya. Namun, sebagaimana keberuntungan-keberuntungan lainnya, mereka cepat lenyap tertumpuk kesialan-kesialan baru. Tidak ada keberuntungan yang abadi. Kadang-kadang tidak pernah merasa beruntung lebih baik ketimbang harus merasa beruntung namun kemudian keberuntungan itu pergi. Itu yang Dalvosa pikirkan seminggu selepas kencan pertama. Pada hari itu bertepatan dengan ulang tahun Nadela. Ia mendatangi rumah Nadela tanpa memberi kabar—ia ingin membuat sebuah kejutan. Ia membawa sebuket bunga dan ia membakar bunga itu setelah memergoki Nadela bergandengan teramat mesra dengan seorang lelaki asing. Ia tidak membenci Nadela. Ia hanya tidak lagi menghubungi Nadela selepas hari itu. Meski begitu, ia masih ingat betapa cantiknya wajah Nadela, bahkan ketika ia sedang berselingkuh. Dan ia juga masih ingat gerak api yang menghanguskan bagian demi bagian bunga yang baru dibelinya.
“Dalvosa?” Dalvosa-19-tahun itu kembali mengenakan topinya dan menghentikan lamunan Dalvosa.
Sebelum Dalvosa mengucapkan sepatah kata, jendela rumahnya berderak. Seseorang membuka paksa jendela itu dan melompat masuk ke dalam rumah. Kendati ruangan begitu remang, mata Dalvosa bisa menangkap siluet orang itu, ia seseorang dengan bentuk dan tinggi tubuh sama dengan orang yang tadi membuka pintu tanpa permisi.
Orang itu mengenakan kemeja alangkah rapi dengan rambut disisir ke tengah dan berminyak. Penampilannya sama sekali tidak cocok dengan kelakuannya meloncati jendela rumah bagai seorang maling. Ia mengelap dahinya dengan selembar sapu tangan. Ia mengembuskan napas, membetulkan kerah kemeja, dan menatap dua orang yang lebih dulu ada di rumah Dalvosa. Cahaya lilin tidak begitu terang, tapi cukup terang untuk membuat ketiga orang itu bisa saling melihat satu sama lain.
“Apa kabar, kawan?”
Dalvosa dan Dalvosa-19-tahun bergeming. Mereka bertatapan. Dalvosa-19-tahun menajamkan pandangan kepada Dalvosa seolah bertanya, ‘Siapa orang ini?’. Dalvosa menngernyitkan dahi dan menggerakkan bahunya sedikit.
“Ah, ya, ya. Aku mengerti, aku mengerti. Sebaiknya aku memperkenalkan diriku dulu kepadamu,” kata orang itu seraya menatap Dalvosa-19-tahun. Kemudian ia mengalihkan tatapannya kepada Dalvosa. “Adapun kau, Dalvosa, tentu kau telah mengenalku dengan baik.”
“Kau, Dalvosa-19-tahun, sesungguhnya aku sudah mengenalmu. Tapi berhubung kau belum mengenalku, tentu tidak elok kalau aku membiarkanmu terbengong heran begitu. Perkenalkan, aku Dalvosa-20-tahun,” ia mengangsurkan tangannya kepada Dalvosa-19-tahun. Keduanya bersalaman. Dua masa lalu Dalvosa bersalaman. Ketika melihat itu, dada Dalvosa bagai mencelos. Ada sesuatu merasuk ke dalam dirinya dan ia tidak tahu itu apa.
“Hai, Dalvosa,” ujar Dalvosa-20-tahun. “Mengapa kau seperti orang gelisah begitu?”
Dalvosa diam. Dalam gelap ia bergantian memandangi pintu dan jendela, mengawasi kalau-kalau ada lagi orang yang masuk. Tidak ada ketukan pintu ataupun kertak jendela. Hanya ada derum kendaraan di kejauhan dan suara angin begitu lembut menyusup ke telinga Dalvosa—semacam murmur. Ketiganya masih beku dalam bisu sampai Dalvosa-20-tahun—yang tampak paling percaya diri dan cerewet dibanding dua Dalvosa lainnya—berkata lagi, “Kok kau diam melulu, sih, Dalvosa? Apa kau sudah lupa denganku? Apa aku harus menceritakan dulu siapa diriku secara panjang-lebar kepadamu?”
Kemudian ia bercerita tanpa diminta. Ia bilang ia adalah Dalvosa pada umur 20 tahun, masa-masa ketika Dalvosa memutuskan berhenti kuliah setelah mengalami kisah percintaan yang teruk. Ia berkelana sampai jauh tanpa mengabari orang tua dan teman-temannya. Ia menyusuri kota-kota dan jalan-jalan yang tak ia kenal. Saat uangnya menipis, ia melamar pekerjaan menjadi pelayan di suatu kafe yang selalu ramai sehabis senja. Ia diterima bekerja di sana dan ia mengalami hari-hari yang baik. Tuntutan pekerjaan yang tidak berat, gaji yang cukup, rekan-rekan kerja yang menyenangkan, dan pemandangan di luar jendela kafe tiap pukul sebelas malam yang selalu ia sukai: jalanan sepi, pohon-pohon bergoyang, dan nyala lampu jalan yang terlihat begitu puitis—saat itu kafe sudah tutup dan ia bersiap pulang. Sebelum pulang, ia memandangi jalanan itu sekali lagi melalui jendela dan kegembiraan yang aneh lekas berdesir di dalam dirinya. Dua puluh adalah usia yang baik dan pada waktu itulah untuk pertama kalinya ia membeli berbagai hal dengan uang hasil keringatnya sendiri. Barang pertama yang dibelinya adalah sebuah kemeja. Ia begitu senang kala mengenakan kemeja itu. Ia mematut diri di depan cermin lama-lama sambil mengagumi dirinya sendiri. Hari-hari setelahnya—semasa ia masih berada di umur 20—juga hari yang baik. Ia hampir tak pernah memperoleh nasib buruk atau hal-hal yang membuatnya ingin mengutuk kehidupan. Ia menjalani hari-hari itu seperti seorang penganut filsafat optimisme yang menganggap bahwa dunia yang ia tempati adalah sebaik-baik tempat dari apa yang mungkin Tuhan ciptakan. Singkatnya, ia bahagia. “Dan kemeja inilah kemeja yang dulu kaubeli dengan gaji pertamamu,” kata Dalvosa-20-tahun menunjukkan kemeja yang dipakainya kepada Dalvosa sekaligus merampungkan ceritanya. Dalvosa-19-tahun hanya bisa bengong sambil sesekali menggeser-geser letak topinya.
Lantai terasa bergeletar. Api di sumbu lilin yang kian pendek itu bergoyang. Seseorang muncul dari pintu belakang. Orang itu tampak ngos-ngosan dan berhenti tepat di samping Dalvosa. Ia memegang meja tempat kue terletak. Ia menarik-embuskan napas berkali-kali dalam tempo cepat. Wajahnya terlihat kepayahan dengan peluh memenuhi wajah dan rambut tak keruan. Dalvosa memandangi wajah itu dan berusaha menarik suatu ingatan dari dalam kepalanya. Sementara Dalvosa-19-tahun dan Dalvosa-20-tahun tetap berdiri tegak di posisi masing-masing dengan muka tengak. Mungkin di dalam kepala mereka ribuan tanda tanya tengah berseliweran bagaikan sekawanan burung di langit lepas.
“Apakah aku terlambat?” tanya orang itu. Ia masih terengah-engah.
“Dalvosa, apakah aku terlambat?” ia bertanya sekali lagi. Ia menghadap Dalvosa dengan raut cemas. Dalvosa merasa iba melihatnya. Orang itu adalah Dalvosa-21-tahun dan Dalvosa masih mengingat betul apa-apa yang dialaminya pada usia itu. Ia mengalami banyak hal—sangat banyak hal—pada usia itu. Tidak seperti saat usia 20, usia 21 tidak sepenuhnya diisi dengan hal-hal menggembirakan. Ia merasakan jatuh cinta lagi sekaligus disakiti lagi pada usia itu. Ia merasakan indahnya persahabatan sekaligus pahitnya pengkhianatan seorang sahabat pada usia itu. Ia merasakan senang yang meluap-luap—perasaan senang yang tidak pernah ia rasakan setahun sebelumnya ketika bekerja di kafe—saat dipuji pemilik kafe karena kinerjanya sekaligus merasakan kesedihan yang dalam ketika ia dihujat habis-habisan karena melakukan suatu kecerobohan. Ia merasa ingin hidup selama-lamanya sekaligus ingin bunuh diri pada usia itu. Ia merasakan semua hal pada usia itu. Ia yakin sudah merasakan semua hal—semua yang mungkin dirasakan oleh seorang manusia—pada usia itu. Dan hari ini, tepatnya sejak satu jam lalu, ia sudah meninggalkan usia itu.
“Ah, kurasa aku belum terlambat. Bukankah begitu, Dalvosa?” Dalvosa-21-tahun sudah cukup tenang. Ia tidak lagi ngos-ngosan. Dalvosa memandangi mata Dalvosa-21-tahun. Kemudian bibirnya merekah. Ia tersenyum. Dalvosa-21-tahun ikut tersenyum—walau terlihat agak memaksakan.
“Nah, bagaimana kalau kita mulai saja pestanya?” Dalvosa-19-tahun tiba-tiba bersuara.
“Betul. Kurasa kita sudah tidak perlu menunggu apa-apa lagi,” timpal Dalvosa-20-tahun.
“Ya, kurasa juga begitu. Ayo, Dalvosa, kautiup lilinnya, sebelum api itu mati karena sumbunya habis,” kata Dalvosa-21-tahun.
Dalvosa mendekati kue ulang tahun dengan api lilin menyala-nyala. Dalvosa-19-tahun, Dalvosa-20-tahun, dan Dalvosa-21-tahun bertepuk-tepuk seakan menyemangati Dalvosa. Ia mengembuskan napas. Ia memejamkan mata. Lalu ia meniup lilin itu kuat-kuat. Ketika api lilin itu padam, Dalvosa membuka mata dan memandangi sekelilingnya. Tidak ada siapa-siapa. Tidak ada Dalvosa-19-tahun. Tidak ada Dalvosa-20-tahun. Tidak ada Dalvosa-21-tahun. Yang ada hanya dirinya—Dalvosa-22-tahun. Sendirian. Di dalam rumah yang gelap dan sunyi. “Selamat ulang tahun, Dalvosa,” ucap Dalvosa kepada dirinya sendiri. Seusai mengatakan itu, Dalvosa merasa ada sesuatu yang pecah di dalam dirinya dan ia tidak tahu itu apa. (*)
Tambun Selatan, 30-31 Oktober 2019
Erwin Setia lahir tahun 1998. Penikmat puisi dan prosa. Penulis lepas. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di berbagai media seperti Koran Tempo, Jawa Pos, Media Indonesia, dan Pikiran Rakyat. Buku perdananya Lelaki Patah Hati yang Menulis Cerita akan terbit dalam waktu dekat. Bisa dihubungi di Instagram @erwinsetia14 atau melalui surel: erwinsetia2018@gmail.com.