Haji Tatang, DKI Jakarta, dan Kemandirian NU
Berita Baru, Jakarta – Bicara Nahdlatul Ulama (NU) di Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, bicara sesuatu yang tidak sederhana. NU merupakan organisasi Islam di Indonesia dengan 100-an juta anggota dan Jakarta adalah pusat negara, ekonomi, politik, dan sebagainya dengan kepadatan penduduk yang tidak diragukan: sekitar 11 juta jiwa dalam luas 664,01 km².
Keduanya ibarat dua raksasa yang ketika disatukan akan menjelma suatu kekuatan besar, potensi luar biasa, yang belum ada presedennya. Dari total penduduk Jakarta, sebagian besarnya adalah Nahdiyin, yakni mereka yang turut menghidupi 452 Madrasah Ibtidaiyah (MI), 250-an Madrasah Tsanawiyah (MTs), 150-an Madrasah Aliyah (MA), kisaran 5000 masjid, 7000 musala, dan 60 majelis taklim berbasis kitab kuning yang tersebar di 30.768 Rukun Tetangga (RT) di Jakarta. Dari jumlah yang signifikan ini kemudian, mari kita bayangkan, apa yang akan terjadi jika mereka bersatu dan saling terhubung untuk membangun Ibukota sekaligus mengembangkan NU mengetahui Jakarta adalah pusat perekonomian?
“Kenyamanan bersama! Dan yang jelas kemandirian NU sebagai Organisasi Islam independen akan perlahan terbangun,” beginilah respons Haji Tatang Hidayat, salah satu kandidat ketua PWNU Jakarta, soal persoalan di atas dalam sesi diskusi yang diselenggarakan oleh TVNU pada Rabu (17/3).
Untuk menghadapi Konferensi Wilayah (Konferwil) Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DKI Jakarta pada 2 April mendatang, Kiai Tatang memang mengusung tiga (3) visi utama, yaitu pemberdayaan (kembali) di wilayah akar rumput, menggenjot kemitraan, dan menuju NU yang mandiri.
Pertama berhubungan dengan data-data yang sudah disinggung di atas, yakni bagaimana seseorang mampu memetakan beragam potensi para kader NU Jakarta. Selain untuk tujuan optimalisasi, ini pun penting supaya para kader merasa dilibatkan, disapa, dan dianggap oleh NU.
Menurut Haji Tatang, Madrasah Kader Nahdlatul Ulama (MKNU) adalah kunci dalam upaya tersebut. MKNU bukan sekadar legalitas atau jalan untuk menjadi pengurus NU melainkan pintu masuk bagaimana NU bisa menyosialisasikan sikap dasar NU pada kader, seperti tasamuh, tawazun, tawasuth, dan semacamnya.
Ketika para kader NU—mengetahui jumlahnya yang dominan di Jakarta—berhasil menjadikan beberapa nilai tersebut sebagai habitus (semacam karakter), maka mereka akan memengaruhi lingkungannya. Akibatnya, Jakarta akan menjadi kota yang nyaman sekaligus aman bagi siapa saja termasuk para investor dan persis di titik ini, lanjut Haji Tatang, NU bisa mewarnai Jakarta, bukan diwarnai.
Di aras yang berbeda, pemberdayaan berkelindan pula dengan NU sebagai mediator dan pusat kendali. Perannya sebagai mediator diperlukan untuk menjembatani bermacam titik potensi kader yang tersebar di seluruh Jakarta.
Dengan mediasi ini, lanjut Haji Tatang, diharapkan bisa memicu adanya sinergi kultural, khususnya di bidang ekonomi di antara para kader. Semisal ada kader sedang butuh pasokan kopi untuk bisnis kafenya, maka ia tidak perlu mencarinya di tetangga tapi cukup melalui kader-kader NU lainnya di Jakarta. Jika dikelola dengan baik dan mau berbagi pemahaman, hal tersebut sangat mungkin dilaksanakan.
Adapun sebagai pusat kendali merujuk pada bagaimana NU mampu untuk mengakomodir segenap warga Nahdiyin supaya tidak mudah dipecah belah. Cara yang bisa dilakukan pada dasarnya sederhana, yakni dengan mulai membangun kembali ikatan yang selama ini pudar, kembali menyapa warga akar rumput, agar mereka tidak disapa dan dimanfaatkan dulu oleh pihak lain.
Rusuh yang terjadi di Ibukota pada Pemilihan Umum Gubernur (Pilgub) tahun 2017 yang melibatkan masyarakat muslim Jakarta adalah potret betapa warga nahdiyin bisa dengan mudahnya dimanfaatkan oleh tetangga. Secara organisasi, NU DKI Jakarta jelas besar. Jaringannya pun luas, namun pemberdayaan serta inisiasi dalam tubuhnya lemah. Akibatnya, NU kala itu kurang bisa memegang kendali atas warganya.
Kemandirian dan kemitraan
Selain pemberdayaan yang lebih bersifat internal, Haji Tatang juga berkeinginan untuk membawa NU DKI Jakarta menjadi organisasi yang mandiri secara ekonomi. Haji Tatang menyampaikan, sesungguhnya NU Jakarta sangat berpeluang untuk hal tersebut. Lokasinya terletak di pusat perekonomian. Ratusan lembaga dan perusahaan baik swasta ataupun negeri berkantor di Jakarta. Perputaran uang juga terjadi di Jakarta. Jadi, jika NU Jakarta mau berjuang sedikit saja—melalui pemetaan peluang tentunya—kemandirian NU bukanlah fiksi.
Di sisi yang berbeda, NU DKI Jakarta pun harus memanfaatkan fasilitas yang sudah diberikan pemerintah lewat Omnibus Law. Hari ini, Kiai Tatang menjelaskan, untuk membuka bisnis sangat dipermudah. NU Jakarta hanya perlu untuk melakukan klasifikasi kompetensi kader, memberdayakan mereka, membuka kemitraan dengan berbagai lembaga/perusahaan entah swasta maupun nasional, dan mengelola sesuai kapabilitas jemaat yang telah dipetakan sebelumnya.
Secara rencana, ini memang terlihat mudah, tapi di lapangan, kenyataannya bisa sangat berbeda. Oleh sebab itu, Haji Tatang juga mengandaikan adanya pembangunan pola pikir. NU penting untuk menggeser paradigma “meminta” ke “memberi” dan satu lagi: NU itu tidak lagi tentang khotbah dan ngaji melainkan juga kesehatan, pendidikan, dan sosial.
“Ya, saya kira itulah. Dengan beberapa hal di muka, mulai dari membaca peluang, membangun kemitraan, dan menggeser pola pikir, saya optimis NU bisa turut membantu membangun Jakarta, mewarnainya dengan ragam warna. Sebab warna hijau pada dasarnya adalah warna yang mengayomi,” ungkap Haji Tatang Hidayat.