Habib Luthfi: Sulit Mencari Pengganti Mbah Moen
Berita Baru, Rembang – Pada hari Sabtu (14/9) malam, ribuan orang menghadiri acara 40 hari wafatnya KH. Maimoen Zubair atau Mbah Moen di Pondok Pesantren Sarang, Rembang. Hadir dalam acara tersebut Habib Luthfi bin Yahya yang memberikan tausiyah di hadapan para hadirin.
“Belum lama, kita ini kehilangan (Mbah Moen-red). Untuk sementara waktu, sulit mencari pengganti,” ujar Habib Luthfi mengawali tausiyahnya.
Habib Lutfi kemudian mengingatkan agar peringatan 40 hari wafatnya Mbah Moen tidak hanya sekadar menjadi bukti kecintaan kepada Mbah Moen saja, tapi harus menjadi cambuk untuk semuanya.
“Peringatan 40 hari atau seratus hari Mbah Moen harus menjadi cambuk bagi kita sebagai harapan Mbah Moen. Selaku regenerasi yang harus menjawab tantangan umat dan tantangan zaman. Ini tugas untuk kita semua. Dan itu bukanlah hal yang enteng,” pesan Habib Luthfi.
Habib Lutfi lalu menceritakan kisah Rasulullah Saw yang rela menanggung beban sakitnya sakaratul maut agar umatnya tidak merasakan sebagai tanggung jawab seorang rasul dan seorang pemimpin.
“Beliau mohon kepada Allah sesakit apa pun, sedahaga apa pun, selapar apa pun, ketika sakaratul maut yang akan menimpa umatnya cukup aku tanggung untuk saya sendiri. Jangan sampai terjadi kepada umatnya. Hal itu juga dilanjutkan oleh warasatul anbiya,” kata Habib Luthfi.
Jangan dikira, lanjut Habib Luthfi, orang seperti Mbah Moen itu dikiranya orang merdeka.
“Tidak. Ada khususiyah yang ditanggung. Ada beban umat di pundaknya. Dam dibawa mati oleh beliau. Bagaimana yang satu auliya menanggung balaknya umat. Yang satu auliya mempunyai himayah-himayah yang luar biasa. Termasuk tugas Mbah Maimoen ini bagian yang hablul bala di Indonesia. Itu tugas beliau. Beruntunglah orang-orang yang mau mengambil ilmu dari beliau. Itu yang penting,” ungkap Habib Luthfi.
Pada kesempatan tersebut, Habib Luthfi juga menerangkan bahwa perjuangan Mbah Maimoen selalu berkiblat kepada Wali Songo.
“Kita ndak usah jauh jauh berkiblat. Mau ke Hadramaut, mau ke Baghdad terlalu jauh. Cukup di Indonesia ini, bagian-bagian hadramaut, bagian-bagian Baghdad, sumber-sumber tasawuf itu telah komplit di Indonesia,” ujar Habib Luthfi.
Habib Luthfi melarang umat Islam Indonesia memiliki prasangka bahwa wali-wali yang ada di Indonesia tingkatan maqomnya rendah dibandingkan dengan yang ada di negara-negara lain. Habib Luthfi kemudian menyebut salah satu Sultanu Auliya pada zamannya yang ada di Indonesia.
“Seperti Maulana Sultanu Auliya wal Arifin Sayyidina Imam Ibrahim Mahdum (Sunan Bonang-red) bin Ahmad Rahmadtillah bin Ibrahim Asmaraqandi bin Jamaludin Husein bin Ahmad Syah Jalal bin Amir bin Abdullah Azmatkhan bin Amir Abdul Malik bin Alwi bin Muhammad Sayyid Barbaq bin Ali Kholiq Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Muhajir bin Isa an-naki bin Muhammad Naqib bin Ali Uraidhi bin Ja’far Shadiq. Ibunya Ja’far Shadiq adalah Sayyidah Marwah binti Qosim bin Muhammad bin Abi Bakar Sidiq. Ayahnya Imam Ja’far Shodiq Muhammad Bakr bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abu Thalib wabni Fatimatuzzahro binti Rasulullah saw,” terang Habib Luthfi panjang lebar.
Jadi, lanjut Habib Luthfi, wali sembilan yang khususnya ada di Indonesia itu dzuriyah Ali, dzurriyah Abu Bakar Siddiq, dzuriyahnya Fatimah, dan dzuriyahnya Nabi Muhammad Saw.
“Sunan Bonang terkenal sultonu auliya fi zamani fil jawa. Yang kedua, Maulana Hasyim Sunan Drajat. Ketiga, Maulana Syarif Hidayatullah Sayyid Jabal Jati (Sunan Gunung Jati-red). Itu payungnya Indonesia. Himayatul Indonesia di antaranya dipegang sampai sekarang oleh beliau bertiga. Dan diteruskan generasi-generasi selanjutnya,” kata Habib Luthfi.
Habib Luthfi juga menerangkan bahwa banyak sekali Wali Qutub yang ada di Indonesia.
“Di Jawa timur ada Wali Qutub banyak. Jawa Tengah tidak ketinggalan. Jawa Barat juga sama. Jadi Indonesia itu mempunyai paku-paku yang perlu dan patut untuk dijadikan contoh kita semua. Bagaimana cara perjuangan-perjuangan beliau,” tegas Habib Luthfi.
Habib Luthfi juga mengingatkan kepada para jamaah bahwa menjadi ulama di zaman sekarang enak, datang disambut dengan meriah, mendapat jamuan khusus, minumannya khusus, pulang dikasih amplop.
“Tapi apakah kita tidak pernah berpikir. Ketika Eyangnya Mbah Maimoen Zubair masuk ke Sarang, lalu kita tarik lagi ke wali-wali sembilan dahulu. Apa dianggap wali-wali dulu enak seperti kita sekarang ini? Bagaimana beliau-beliau menghadapi orang yang belum mengerti beriman, yang belum mengerti bersuci. Kencing pun belum tentu mengerti cebok. Bagaimana yang dihadapi masih separuh telanjang dan lain sebagainya,” jelas Habib Luthfi.
Dengan tabah dan sabar, lanjut Habib Luthfi, beliau-beliau berjuang karena selalu mengharapkan orang itu baik dapat taufik wal hidayah dari allah swt.
“Kita sudah pernah berhadapan dengan yang seperti itu tidak?” tanya Habib Luthfi kemudian.
Habib Luthfi juga melarang umatnya menjadi ahli madahil qubur yang mencibir seseorang ketika masih hidup tapi mengakui kehebatannya ketika orang itu sudah meninggal.
“Saat Mbah Maimoen masih hidup, sayangnya begini sayangnya begitu. Tapi setelah Mbah Maimoen meninggal, bilang nggak ada orang Seperti Mbah Maimoen. Ya wajar. Itu namanya madahil qubur. Ngalem kalau sudah di dalam kubur. Sudah biasa. Langganan. Nggak kaget model gitu itu. Apakah kita-kita ini ingin menjadi golongan madahil qubur?” kata Habib Luthfi.
Kalau hidup di zaman Sunan Kalijaga, lanjut Habib Luthfi, wali kok orjenan. Wali kok main gending. Wali kok begini. Yang mengukur wali itu siapa?
“Seandainya kita hidup di zaman Sunan Kalijaga, mungkin kita jadi orang paling ingkar kepada Sunan Kalijaga. Alhamdulillah tidak jumpa Sunan Kalijaga. Sekarang baru mengatakan Sunan Kalijaga wah masyaaallah. Sunan Kalijaga luar biasa. Lha Sunan Kalijaga sudah meninggal. Ya sama saja,” terang Habib Luthfi.
“Tapi sekarnag kemana Mbah Maimoen Mbah Maimoen? Itu tanggung jawab kita bersama. Untuk membangkitkan berapa ribu Mbah Maimoen-Mbah Maimoen supaya hidup di Indonesia. Menjadi penenang umat menjadi penyejuk umat seterusnya seterusnya dan seterusnya,” tandas Habib Luthfi.
Usai memberikan tausiyah, Habib Luthfi lalu membacakan doa untuk Mbah Maimoen dengan mata berkaca-kaca. Alfatihah. (*)