Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Inflasi Hijau Greenflation
Ilustrasi: Istimewa

Greenflation Ancam Transisi Energi Ramah Lingkungan di Asia Tenggara



Berita Baru, Jakarta – Fenomena yang dikenal sebagai “inflasi hijau” atau greenflation telah menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam, mengalami kesulitan dalam mendorong transisi energi baru terbarukan (EBT).

Di Indonesia, Dewan Energi Nasional (DEN) menyampaikan bahwa target awal transisi EBT tidak dapat tercapai karena saat ini kontribusi energi terbarukan hanya sekitar 13 persen dari total sumber energi di Indonesia.

“Total harta kekayaan Rp 1.043.460.709.886 (Rp1 triliun),” demikian tertulis di situs e-LHKPN KPK seperti dilansir oleh Detik pada Selasa (26/3/2024).

Pernyataan ini datang setelah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengumumkan penundaan penerapan pajak karbon hingga tahun 2026, yang sebelumnya direncanakan pada tahun 2022.

Menurut Institut untuk Reformasi Layanan Penting (IESR), pemangkasan target tersebut menunjukkan kurangnya komitmen pemerintah terhadap transisi energi dan meningkatnya minat untuk tetap menggunakan bahan bakar fosil.

Pernyataan Gibran Rakabuming Raka dalam debat calon wakil presiden (cawapres) pada Januari lalu menunjukkan kekhawatiran terhadap kenaikan harga yang terkait dengan transisi ke teknologi rendah karbon yang lebih mahal.

Kondisi serupa juga dialami oleh Malaysia, yang bergantung pada impor suku cadang dan komponen yang semakin mahal karena pelemahan nilai tukar ringgit. Sementara itu, Vietnam juga menghadapi tantangan serupa dalam menambahkan proyek energi terbarukan ke dalam jaringan listriknya.

Wakil Presiden Wood Mackenzie, Prakash Sharma, menyatakan kekhawatiran atas dampak inflasi hijau di Asia Tenggara, yang meningkatkan biaya teknologi terbarukan dan membuat penundaan dalam penggunaannya tidak dapat dihindari.

Situasi ini juga membuat nasib Kemitraan Transisi Energi yang Adil (JETP) dipertanyakan, yang bertujuan untuk mendukung transisi energi di Indonesia dan Vietnam dengan pendanaan gabungan sebesar US$35,5 miliar. Meskipun diumumkan pada tahun 2022, skema pendanaan ini belum terwujud, menyisakan keraguan terhadap kredibilitas kebijakan transisi energi di kedua negara tersebut.