Film Bumi Manusia Tidak Memenuhi Ekspektasi Bagi Pembaca Novel
Berita Baru, Jakarta – Pada tanggal 15 agustus 2019 dirilislah film Bumi Manusia ke layar lebar. Film yang mengadaptasi salah satu kanon sastra Indonesia, buku pertama dari tertralogi pulau buru karya Pramoedya Ananta Toer yang memancing gejolak.
Siapa yang tidak mengenal karya-karya Pram yang kritis dan sarat dengan nilai. Maka tidak mengagetkan, jika sejak dalam proses perencanaan hingga kemunculan trailernya, film Bumi Manusia sudah membangkitkan euforia dari pihak yang mendukung maupun yang menolak.
Dimulai dari kritik terhadap pemilihan Iqbaal Ramadhan, kritik terhadap kostum yang digunakan, hingga pihak pendukung yang berharap film Bumi Manusia dapat menjadi jembatan bagi para generasi muda untuk mengenal sastra.
Sinopsis
Mengambil latar Wonokromo di era kolonial Belanda, film Bumi Manusia mengisahkan tentang Mingke seorang pribumi yang belajar di HBS. Pada suatu ketika Mingke diajak seorang temannya yang bernama Robert Suurhof untuk berkunjung ke rumah keluarga Mellema. Disanalah Mingke bertemu dan berkenalan dengan Annelies berserta sang ibu Nyai Ontosoroh. Pertemuan dan perkenalan itu sangatlah berkesan, hingga Mingke pun jatuh hati kepada Annelies.
Kisah antara Mingke dan Annelies pun berlanjut. Mingke yang gundah lalu berdiskusi dengan sahabatnya Jean Marais, hasilnya Mingke semakin mantap untuk menggenggam tangan Annelies hingga menikahinya. Namun kisah antara Mingke dan Annelies tidak berjalan mulus. Masalah demi masalah bermunculan.
Dimulai dari ketidaksetujuan Ayah Mingke mengenai relasi Mingke dengan Nyai yang dipandang rendah dimasyarakat, kematian Ayah Annelies Herman Mellema yang mengakibatkan Nyai Ontosoroh, Mingke, dan Annelies harus berhadapan dengan pengadilan hukum Kolonial Belanda, hingga klimaksnya saat Annelies diharuskan pulang ke Belanda karena hak wali atas dirinya berada di tangan anak tertua Herman Mellema dan pernikahannya dengan Mingke tidak diakui oleh pengadilan Belanda.
Film Bumi Manusia hasil besutan Hanung Bramantyo yang berdurasi ±180 menit tersebut, dibintangi oleh Iqbaal Ramadhan sebagai Minke, Mawar Eva de Jongh sebagai Annelies, Jerome Kurniawan sebagai Robert Suurhof, Ine Febriyanti sebagai Nyai Ontosoroh, dan Bryan Domani sebagai Jan Dapperste alias Panji Darman.
Jauh panggang dari api
Mungkin inilah yang terasa di saat menonton film Bumi Manusia. Ekspetasi yang tinggi terhadap film ini tak terbayar. Memang tidak mudah menafsirkan kanon sastra, apalagi mengangkat nilai dan pesan yang terkandung di dalam buku. Mengadaptasi memang bukan membuat seperti aslinya.
Perbedaan media tentu membuat batasan-batasan, sehingga tidak semua yang ada di buku dapat tertuang dalam sajian visual film. Tetapi tetap ada hal inti seperti alur cerita dan karakter dari para tokoh yang tidak boleh diubah, karena kedua hal inilah yang menentukan bobot cerita.
Secara garis besar, buku Bumi Manusia merupakan kritikan terhadap kondisi kolonialisme Belanda di bumi Indonesia dan sebuah gambaran kepedihan yang dialami oleh kaum pribumi dimasa itu.
Buku Bumi Manusia berkisah tentang perjalanan hidup seorang tokoh bernama Minke. Minke adalah salah satu anak pribumi yang bersekolah di HBS. Karakter Mingke di dalam buku, digambarkan sebagai seorang yang berjiwa revolusioner, pandai, berkarakter kuat dan teguh.
Ia berani melawan ketidakadilan dan kesewenangan yang terjadi pada bangsanya serta berani memberontak terhadap tatanan sistem feodal. Buah pemikirannya Ia tuangkan dalam bentuk tulisan dan dimuat di berbagai koran Belanda. Terbukti tulisannya yang progresif banyak membuat orang terhenyak dan terkagum-kagum.
Selain tokoh Minke, diceritakan pula sosok “Nyai” yang bernama Nyai Ontosoroh dalam buku Bumi Manusia. Nyai adalah panggilan bagi wanita simpanan para lelaki bangsa eropa yang tidak dinikahi secara resmi.
Status Nyai pada jaman itu merupakan status sosial yang rendah dan dipandang sebelah mata, sehingga seringkali mereka menerima perlakuan sewenang-wenang. Namun, berbeda dengan Nyai Ontosoroh. Nyai yang satu ini mengetahui pengetahuan bangsa eropa, mengenal perkembangan ilmu pengetahuan, bijak, dan seorang pengelola perkebunan keluarga Mellema. Singkat kata Nyai Ontosoroh adalah seorang borjuis pribumi.
Melalui buku Bumi Manusia, Pram menggambarkan kondisi sosial masyarakat pada masa pemerintahan kolonialisme Belanda dengan cukup gamblang. Buku ini penuh dengan kritik sosial akan nilai tradisional yang ada di masyarakat pada saat itu serta nilai modern yang tumbuh, gambaran pertentangan kelas sosial, eksploitasi kolonial Belanda terhadap sumber daya alam maupun terhadap manusianya, kesewenangan kaum pribumi terhadap bangsanya sendiri, hingga perlakuan diskriminasi terhadap perempuan dipaparkan secara lugas.
Namun narasi tersebut tidak terasa di dalam film Bumi Manusia. Film Bumi Manusia seperti terjebak ke dalam kisah percintaan antara Annelies dan Mingke semata, sedangkan pertentangan yang terjadi di tengah kehidupan masyarakat pada era kolonialisme saat itu lebih sebagai tempelan dan tidak mendalam. Sehingga secara keseluruhan film bumi manusia lebih seperti film drama keluarga.
Jika di dalam bukunya, tokoh Mingke digambarkan sebagai seorang ningrat Jawa dengan pemikiran rasional Eropa yang kritis dan mengalami kegelisahan saat melihat kondisi yang dialami oleh bangsanya. Karakter Mingke tersebut lenyap didalam filmnya. Mingke yang ada di dalam film menjadi Mingke remaja yang cengeng dan tidak matang.
Jiwa “melawan” Mingke hilang, sosok Mingke yang berpikiran progresif dan berniat mengubah sistem feodal yang irasional pun tidak tampak. Ia hanya disibukkan dengan kisah cintanya dengan Annelies dan persoalan disekeliling keluarga Mellema saja. Perubahan karakter tokoh Mingke ini sangat mengganggu, mengingat Mingke adalah tokoh sentral di dalam Buku Bumi Manusia.
Sepanjang pemutaran film, kita akan dibombardir oleh kutipan-kutipan yang mungkin menarik untuk dicatat oleh kaum milenial. Seperti kutipan yang terkenal “’seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan“. Namun, pengantar yang melatarbelakangi munculnya pemikiran minim diangkat secara mendalam. Sehingga, seolah-olah kalimat yang terucap hanya sekedar celotehan liar saja.
Tak hanya pergeseran karakter tokoh. Munculnya adegan yang menyebutkan nama asli Mingke sebagai Raden Mas Tirto Adhi Soerjo di dalam film terasa cukup mengganggu. Sosok Minke di dalam buku mungkin memang terinspirasi dari tokoh Tirto Adhie Soerjo, namun Pram sendiri tidak pernah mengungkap dan menulis nama asli dari Mingke di dalam buku Bumi Manusia. Pram hanya menulis bahwa Mingke adalah anak dari Bupati “B”.
Ketidaknyamanan tentang film ini berlanjut pada klimaks cerita yang berkisah saat Mingke dan Nyai Ontosoroh melawan pemerintah kolonial untuk mempertahankan perwalian atas diri Annelies dan mempertahankan perkebunan Herman Mellema yang selama ini dikelola oleh Nyai. Adegan klimaks ini terlihat dikemas cukup serampangan.
Padahal ini adalah salah satu momen inti. Peranan Mingke sebagai seorang penulis yang menggunakan surat kabar sebagai alat perlawanan hanya sebatas pelengkap. Klimaks cerita penuh dengan adegan yang melompat-lompat dan minim penekanan makna. Hanya seperti ingin sesegera mungkin menutup film.
Mungkin memang sebatas inilah penafsiran Hanung atas Buku Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Mengadaptasi memang bukan membuat seperti aslinya, namun sebaik-baiknya film adaptasi adalah yang tidak meninggalkan narasi asli. [Soe]