Etnis Minoritas Myanmar Bentuk Barisan Aksi Melawan Kudeta
Berita Baru, Internasional – Pada hari Sabtu (20/2), kelompok etnis minoritas Myanmar melakukan aksi penentangan kudeta dengan menggelar pertunjukan di kota utama Yangon.
Massa aksi yang terdiri dari barisan kaum muda itu membawa karangan bunga sebagai simbol dukungannya terhadap pimpina terpilih, Aung San Suu Kyi. Meski ada keraguan bahwa Suu Kyi akan mempertimbangkan aspirasi mereka untuk otonomi.
Mereka menuntut pemulihan pemerintahan terpilih, pembebasan Suu Kyi dan tahanan lainnya. Serta penghapusan konstitusi 2008, yang dibuat di bawah pengawasan militer, yang memberi tentara peran utama dalam politik.
Ke Jung, seorang pemimpin pemuda dari minoritas Naga dan penyelenggara protes Sabtu oleh minoritas di Yangon, mengatakan para pengunjuk rasa juga menuntut sistem federal.
“Kami tidak dapat membentuk negara federal di bawah kediktatoran. Kami tidak bisa menerima junta,” katanya kepada Reuters.
Pembreontakan oleh faksi-faksi etnis minoritas Myanmar telah terjadi setelah kemerdekaannya dari Inggris pada tahun 1948, dengan militer memproklamasikan dirinya sebagai satu-satunya lembaga yang mampu menjaga persatuan nasional.
Suu Kyi (75), adalah anggota mayoritas komunitas Burman. Pemerintahnya mempromosikan proses perdamaian dengan kelompok-kelompok pemberontak tetapi dia menghadapi badai kritik internasional atas penderitaan minoritas Muslim Rohingya. Lebih dari 700.000 orang melarikan diri dari tindakan keras militer yang mematikan pada 2017.
Tentara merebut kembali kekuasaan setelah Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang mengusung Suu Kyi menyapu bersih suara pada pemilu 8 November. Militer menuduh terjadi kecurangan dalam pemilu tersebut, namun komisi pemilihan menepis tuduhan tersebut.
Ke Jung mengatakan beberapa partai minoritas tidak berkomitmen pada gerakan melawan kudeta. “Itu cerminan bagaimana Aung San Suu Kyi gagal membangun aliansi dengan partai politik etnis,” ujarnya.
“Namun, kami harus memenangkan laga ini. Kami berdiri bersama dengan orang-orang. Kami akan berjuang sampai akhir kediktatoran.”
Salai Mon Boi, pimpinan pemuda dari minoritas Chin mengatakan saat protes hari Sabtu yang kebetulan jatuh pada Hari Nasional Chin. Protes difokuskan pada empat tuntutan: menghapus konstitusi, mengakhiri kediktatoran, sistem federal dan pembebasan para pemimpin.
“Ada beberapa orang yang tidak menyukai NLD tapi kami tidak membicarakan tentang NLD,” katanya.
Selain protes oleh orang-orang minoritas, beberapa ratus orang meneriakkan slogan-slogan untuk polisi yang menyegel lokasi protes utama Yangon dekat Pagoda Sule.
Di Mandalay, penulis dan penyair mengadakan pawai. Petugas kereta api juga melakukan protes.
Gelombang protes kudeta sejak 1 Februari cenderung lebih damai daripada demonstrasi berdarah selama hampir 50 tahun sejak pemerintahan militer langsung hingga 2011.
Selain protes, kampanye pembangkangan sipil telah melumpuhkan banyak bisnis pemerintah.
Amerika Serikat, Inggris, Kanada, serta Selandia Baru telah mengumumkan sanksi terbatas, dengan fokus pada para pemimpin militer, termasuk melarang perjalanan dan membekukan aset.
Jepang dan India telah bergabung dengan negara-negara Barat dalam menyerukan pemulihan demokrasi.
Junta belum bereaksi terhadap sanksi baru tersebut. Pada hari Selasa, seorang juru bicara militer mengatakan pada konferensi pers bahwa sanksi telah diperkirakan.