Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Ekonom: Konflik Geopolitik Sebabkan Inflasi Global Meroket
Ilustrasi resesi global. (Foto: Istimewa)

Ekonom: Konflik Geopolitik Sebabkan Inflasi Global Meroket



Berita Baru, Jakarta – Ekonom Universitas Paramadina Handi Rizsa menyebut bahwa terdapat pergeseran konflik global ke bentuk konflik geopolitik yang menyebabkan terjadinya kenaikan inflasi global yang amat tinggi sejak Februari 2022. 

“Di saat demand mulai pulih dan supply juga beranjak berbenah, tiba-tiba terjadi konflik Rusia vs Ukraina” kata Handi Rizsa’ dalam diskusi publik ‘Evaluasi Akhir Tahun Bidang Ekonomi dan Keuangan Negara’ yang diselenggarakan Universitas Paramadina secara daring, Selasa (20/12).

Menurutnya, krisis global ini menjadikan suku bunga naik tinggi dan menyebabkan munculnya cost of fund di banyak benua. Bahkan sudah terdapat 60 negara yang default karena kegagalan membayar hutang. Sehingga, harus berhadapan dengan adanya ancaman stagflasi ekonomi dunia.

“Inflasi global naik tinggi sekali tetapi pertumbuhan ekonomi melambat sehingga menjadi bentuk stagflasi. dampak bertubi-tubi dari ekonomi global mau tak mau akan berdampak pada perekonomian domestic,” tuturnya.

Lebih lanjut Handi Rizsa menyebut ada beberapa catatan meski pertumbuhan ekonomi Indonesia sampai kuartal terakhir 2022 secara makro nampak baik di tengah inflasi global, yaitu tumbuh 5% sebanding dengan ketika sebelum pandemi.

“Namun yang menjadi catatan, pertumbuhan tersebut berasal dari low base. Ada pada biaya rendah sehingga nanti ketika terdapat aktivitas ekonomi tinggi akan langsung melonjak ke biaya tinggi,” katanya.

Windfall menyebabkan harga komoditas tinggi sekali dari sawit, batubara dan nikel. Hal ini yang mendorong ekspor Indonesia pada awal 2022 meningkat signifikan. Sayangnya investasi belum sepenuhnya pulih seperti sebelum pandemic. Begitu pula daya beli dan konsumsi masyarakat.

“Pertumbuhan ekonomi domestik saat ini lebih didominasi oleh sektor transportasi, pergudangan dan makanan/minuman. Namun sektor manufaktur pengolahan masih belum mencapai titik puncak. Tingkat kontribusi PDB dari sektor manufaktur malah menurun di bawah 20%,” katanya.

Handi Rizsa menilai, perolehan gain signifikan dari neraca dagang surplus dalam setahun terakhir seharusnya menjadi modal besar untuk meningkatkan kinerja ekspor, yang tidak lagi bergantung pada komoditas. Tetapi harus berkembang ke sektor industri/manufaktur yang lain. Sehingga bisa memperkuat fundamental ekonomi Indonesia.

Selain itu, ia juga berpandangan terkait realisasi PDB triw 2/2022 sebesar 5,44% (yoy). Pertumbuhan ekonomi ini masih ditopang oleh tingginya ekspor dan peningkatan permintaan domestic terutama pulihnya konsumsi rumah tangga. 

Sehingga, bagi Handi Risza, Indonesia perlu menjaga tingkat daya beli dan konsumsi masyarakat. Ancaman inflasi berasal dari makanan yang volatile. Laju tahun ini diperkirakan di atas proyeksi BI yang 4%. Komponen volatile food memberikan bobot terhadap inflasi sebesar 16%. 

“Sementara pada September inflasi dari volatile food mencapai 9,02%,” urainya.

Selain itu, Handi Rizsa mengingatkan agar Indonesia harus berhati hati terhadap kebijakan SBN domestic dan nilai tukar. Juga memperhatikan angka Kemiskinan dan pengangguran, karena ICOR Indonesia yang masih tinggi sehingga berisiko keengganan pada investor luar negeri. 

“Di samping itu juga harus mulai kreatif untuk mendekomposisi sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baru, sehingga tidak lagi bergantung pada kenaikan harga komoditas sawit dan batubara. Karena diprediksi pada 2023 harga komoditas akan kembali turun,” pungkasnya.