Efektifkah Pembatasan Sosial ?
Pemerhati Hukum Kebijakan;
Pengajar di IAIN Ponorogo
Pemerintah akhirnya menerapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam rangka percepatan penanganan wabah Covid-19. Dua peraturan pendukung kebijakan PSBB ini, yaitu Peraturan Pemerintah pengganti Undang-undangn (Perppu) No 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan dan Keputusan Presiden (Keppres) No 11/2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat atau KKM.
Di tengah desakan dari berbagai daerah untuk menerapkan karantina wilayah atau lockdown, pilihan penerapan kebijakan PSBB yang diambil pemerintah pusat ini tentu menarik untuk dicermati. Meski keputusan ini terkesan lamban dan kurang tepat, produk hukum ini setidaknya telah menjadi payung hukum dari berbagai tindakan pemerintah dalam rangka memutus mata rantai penyebaran Covid-19.
Pedoman teknisnya pun baru dirilis oleh Kementerian Kesehatan melalui Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No 9/2020 yang diteken oleh Menkes Terawan Agus Putranto pada 3 April 2020. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah, apakah peraturan tersebut dapat diimplementasikan secara efektif di daerah?
Dalam peraturan ini disebutkan PSBB adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi Covid-19 sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebarannya. Peraturan ini juga menempatkan pemerintah daerah sebagai ujung tombak implementasi.
Selain terkesan birokratis, beberapa pasal menjelaskan poin-poin yang menjadi kebimbangan para kepala daerah terkait dengan teknis implementasi PSBB. Adapun pelaksanaan PSBB dilakukan selama masa inkubasi terpanjang (14 hari). Dan dapat diperpanjang jika masih terdapat bukti penyebaran berupa adanya kasus baru, dalam masa 14 hari sejak ditemukannya kasus terakhir.
Secara normatif, kebijakan ini memberi pembatasan pada sejumlah poin:
- Peliburan sekolah dan tempat kerja;
- Pembatasan kegiatan keagamaan;
- Pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum;
- Pembatasan kegiatan sosial dan budaya;
- Pembatasan moda transportasi; dan
- Pembatasan kegiatan lainnya khusus terkait aspek pertahanan dan keamanan.
Tentu pada aspek tersebut yang menjadi pertanyaan adalah, seperti apa skenario dan penegakan hukumnya agar berjalan efektif ?
Selanjutnya, selain memberikan batasan pada sejumlah poin, peraturan ini memberikan pengecualian pembatasan, yakni berlaku untuk tempat-tempat usaha dengan tetap menjaga jumlah minimum karyawan dan pengaturan jarak orang agar mengutamakan upaya pencegahan penyebaran covid-19 (Pasal 13 Ayat 7).
Jika ditelaah secara menyeluruh, peraturan ini akan berpotensi kontraproduktif dengan tujuan pembuatannya, yakni mempercepat pencegahan Covid-19. Hal ini terlihat dari rumitnya birokrasi yang harus disiapkan pemerintah daerah. Termasuk permohonan yang dilengkapi dengan data rencana aksi dan rencana kesiapan.
Padahal secara teknis Pemerintah Pusat sudah melakukan penghimpunan melalui satgas nasional. Artinya, pada dimensi ini justru berpotensi menimbulkan disharmoni dan ketidakpastian hukum di masyarakat.
Persoalan berikutnya adalah peraturan tersebut tidak menyebutkan sanksi tegas apabila substansi di dalam peraturan itu dilanggar atau tidak terlaksana. Artinya, peraturan tersebut tidak memiliki daya paksa untuk dipatuhi. Hal ini sangat bertolak belakang dengan adanya kebutuhan yang mendesak untuk melaksanakan PSBB.
Kebijakan tanpa disertai sanksi yang jelas tentu akan sulit berjalan efektif. Terlebih tingkat kedisiplinan dan kepatuhan masyarakat kita terhadap peraturan belum terlalu baik. Hal ini terbukti dengan masih banyaknya masyarakat yang tidak mematuhi himbauan pemerintah untuk tidak keluar rumah dan menerapkan physical distancing.
Dalam konteks ini perlu mencermati apa yang dikatakan Anthony Allot (1981), bahwa efektivitas penegakan hukum sangat berkait erat dengan efektivitas hukum. Agar hukum itu efektif, maka diperlukan aparat penegak hukum untuk menegakkan sanksi hukum tersebut.
Suatu sanksi dapat diaktualisasikan kepada masyarakat dalam bentuk ketaatan (compliance), dengan kondisi tersebut menunjukkan adanya indikator bahwa hukum tersebut adalah efektif. Sanksi merupakan aktual dari norma hukum yang mempunyai karakteristik sebagai ancaman atau sebagai sebuah harapan. Sanksi akan memberikan dampak positif atau negatif terhadap lingkungan sosialnya.
Akhirnya, tanpa adanya sanksi yang jelas, kebijakan PSBB akan memiliki banyak kendala dalam impelementasinya. Terlebih tanpa dibarengi dengan sinergitas dengan pemerintah daerah serta tingkat kesadaran hukum yang tinggi dari masyarakat secara kolektif, kebijakan tersebut hanya akan menjadi norma dalam kertas tanpa ada yang mematuhinya.
Penegakan hukum menjadi kunci. Sebagaimana disampaikan Rio Christiawan (2020), bahwa penegakan hukum yang obyektif akan dapat membentuk perilaku masyarakat sebagaimana diharapkan. Perilaku masyarakat akan terbentuk apabila peraturan pelaksana memiliki ukuran yang pasti (tidak multitafsir) dan mengandung sanksi jika dilanggar.
Terlepas dari segala plus minusnya peraturan tersebut, tentu kita harus optimis, bahwa opsi kebijakan PSBB ini adalah pilihan bijak untuk rakyat, dibanding harus menanggung derita rakyat lebih mendalam dengan diterapkanya lockdown.
Efektif atau tidaknya produk hukum ini bergantung pada kesadaran kolektif masyarakat untuk mematuhinya. Untuk tidak mudik, tetap tinggal dirumah, serta menjalankan Physical distancing dengan lebih tegas dan disiplin.
Serta bagaimana membangun sinergi antara pemerintah pusat dan daerah, termasuk mengimplementasikan dampak sosial ekonomi di daerah dengan memberi stimulus bantuan bagi masyarakat terdampak.
Tidak perlu lagi berpolemik antar penyelenggara negara, karena kebaikan rakyat adalah tujuan. Mari bahu-membahu melawan Covid-19. Sebagaimana kaidah hukum dalam Islam, Tasharruful imam ‘ala al-ra‘iyyah manutun bi al-maslahah (kebijakan pemimpin atas rakyatnya adalah untuk mewujudkan kemaslahatan). Semoga !