Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Mengapa Palestina Layak Dibela?
(Foto: AFP)

Mengapa Palestina Layak Dibela?



Opini : Ahmad Dafit

(Mahasiswa Pascasarjana Anhui University China


Konflik Israel-Palestina kembali memanas. Pada Sabtu 7 Oktober 2023, dunia dikejutkan dengan serangan Hamas atas israel yang menyebabkan lebih dari 700 orang tewas. Pihak Israel kemudian melakukan aksi balasan dengan mengumumkan “pengepungan total” terhadap Gaza, sebuah wilayah sempit dengan penduduk 2,3 juta orang yang terkurung dan menjadi basis dari Hamas, dengan memutus pasokan air, makanan, dan listrik. Lalu Israel menyerang Gaza dari udara dan laut yang telah menewaskan 687 warga Palestina di Gaza.

Peperangan Israel-Palestina sudah berlangsung lebih dari 70 tahun sejak negara itu didirikan Inggris untuk menampung orang-orang Yahudi yang terusir dari Eropa akibat Nazi Jerman. Namun, pendirian negara Israel di atas tanah yang mayoritas dihuni orang-orang Arab (mayoritas muslim) itu menemui ganjalan serius, di mana pada puncaknya menyebabkan perang Arab-Israel 1967. Perang ini merupakan pukulan telak bagi negara-negara Arab sebab Israel semakin mengukuhkan posisinya dan menambah wilayahnya.

Selanjutnya, untuk memutus mata rantai peperangan, PBB memutuskan solusi dua negara, yakni Israel-Palestina. Suatu solusi yang sebenarmya berarti kekalahan Palestina karena harus merelakan banyak tanahnya dicaplok negara baru itu, sehingga masih banyak dari mereka yang tidak terima. Namun, rupanya solusi dua negara itu juga tidak segera terwujud. Israel yang memanfaatkan kedekatan khususnya dengan negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat, tanpa malu-malu terus melajukan pencaplokan-pencaplokan atas wilayah Palestina. Hingga saat ini, pencaplokan-pencaplokan lahan itu masih berlangsung yang akhirnya berhasil mengurung wilayah palestina, baik jalur Gaza maupun Tepi Barat, hingga mirip penjara-kota.

Palestina sendiri terdiri dari berbagai fraksi. Di antaranya yang terbesar adalah Fatah, suatu fraksi politik moderat dengan basis wilayah utama di Tepi Barat, PFLP yang beraliran marxis, hingga Hamas yang radikal dan berbasis di Gaza. Dengan berlangsungnya pencaplokan terus-menerus oleh Israel dan kebuntuan diplomasi internasional karena Israel nyaris selalu dibela Amerika Serikat dan negara-negara Barat, maka saat ini peran Hamas menjadi lebih menguat.

Hamas yang dengan segala keterbatasan kekuatannya, di tengah wilayah yang diblokade penuh laiknya penjara kota, terus melakukan perlawanan atas Israel dari tahun ke tahun, yang selalu dibalas Israel dengan lebih kejam. Suatu spiral kekerasan yang seperti tiada ujung. Sayangnya, dunia Barat sejauh ini lebih memihak Israel. Salah satunya dengan memandang bahwa kedua belah pihak sama-sama melakukan kekerasan, padahal kekerasan antara pihak penjajah dengan pihak terjajah sangat berbeda nilainya. Selain itu, banyak juga negara Barat yang melabeli Hamas, organisasi yang getol melakukan perlawanan bersenjata terhadap pendudukan Israel, sebagai organisasi teroris. Ini salah satu bentuk standar ganda Barat yang memang sudah lama dipertontonkan pada dunia.

Standar Ganda Barat

Dalam pelbagai peperangan di dunia modern pasca PD II, negara-negara Barat memang nyaris selalu menerapkan standar ganda. Pada Abad ke-21, di mana posisi geopolitik yang mulanya unopolar dengan pimpinan AS mulai bergeser pelan-pelan menjadi multipolar, standar ganda Barat makin nampak jelas.

Berbagai negara Timur Tengah diterpa campur tangan militer yang sangat keras, atas nama memerangi terorisme dan memaksakan demokrasi, yang hasilnya adalah kehancuran negara-negara itu. Sebut saja Irak yang dipimpin Saddam Hussein, yang dibombardir NATO pada 2003. Libia juga diserang 2011, yang sampai sekarang menjadi negara yang remuk-redam. Kemudian Suriah, Yaman, dan seterusnya. Intinya negara yang tidak sesuai dengan “national interest” negara-negara Barat khususnya AS, pasti akan diserang, yang semuanya mengatasnamakan memerangi terorisme internasional dan mengkampanyekan demokrasi dan HAM.

Namun di sisi lain, ketika negara seperti Tiongkok berurusan dengan kaum separatis Uyghur yang juga ekstrimis teroris, Barat teriak bahwa Tiongkok melakukan pelanggaran HAM. Begitu juga rezim Bashar Assad yang melawan ekstremis yang hendak menggulingkan pemerintahannya, negara-negara Barat sangat gencar mengkampanyekan kebengisan presiden Suriah tersebut.

Dalam urusan pengembangan nuklir misalnya, negara-negara Barat begitu leluasa mengembangkan nuklir. Begitu juga halnya dengan Israel. Namun, ketika Iran mengembangkan reaktor nuklir meski untuk kemaslahatan, bukan untuk membuat senjata, Barat memberi sanksi bertubi-tubi. Logikanya, mengapa Israel dibolehkan sementara Iran tidak?

Dan diantara standar ganda yang paling mencolok adalah soal Israel. Negara zionis itu selalu saja dibela terkait aksi-aksi brutalnya atas nama membela diri. Padahal dalam keseharian, Israel terus saja melakukan pencaplokan wilayah Palestina dengan terus membangun pemukiman-pemumikan ilegal bagi warga Israel di atas tanah palestina. Bukankah wajar jika Palestina terus melawan?

Lucunya lagi, dalam konflik Rusia-Ukraina misalnya, banyak negara Barat mengecam Rusia dan menjuluki milisi Ukraina sebagai hero, tapi pada milisi Palestina yang melawan Israel sebagai teroris, sehingga nyaris setiap yang dilakukan Israel meski sangat tidak manusiawi sekalipun, tetap mereka benarkan atas mama bela diri. Sungguh tidak masuk akal.

Namun, standar ganda yang dipertontonkan banyak negara Barat itu, seiring perubahan geopolitik dunia, akan mengalami penentangan. Negara-negara seperti Tiongkok dan Rusia yang berhasil mendorong geopolitik menjadi multipolar, akan menyibakkan pada dunia bahwa Barat tidak seberadab yang mereka nyatakan sendiri, dan bahwa dunia akan berganti rupa menjadi lebih adil dan manusiawi. Dalam konteks konflik Israel-Palestina, Israel tak bisa lagi semena-mena sebelumnya karena melemahnya pengaruh Amerika Serikat yang selama ini memback-up penuh negara Zionis tersebut. Sehingga, Solusi Dua Negara yang sejauh ini sulit diwujudkan karena kemerdekaan Palestina terus mengalami ganjalan dari dunia yang didominasi Barat, akan lebih dimungkinkan.

Solusi Dua Negara

Ketika negara Barat fokus pada mengutuk aksi Hamas, negara-negara negara seperti Rusia dan China terus mengupayakan terwujudnya kesepakatan PBB yakni solusi dua negara yang dicanangkan pada 1967. Rusia, lewat menteri luar negeri Sergei Lavrov, menyatakan bahwa pembentukan negara Palestina yang berdaulat adalah solusi yang paling tepat. Sebab, sepanjang Palestina tidak diakui secara penuh sebagai negara, konflik akan terus berlangsung.

Begitu pula halnya dengan Tiongkok, lewat Mao Ning, menteri luar negerinya, menyatakan hal yang kurang lebih sama dengan pihak Rusia. Bahwa Palestina merdeka adalah solusinya, sehingga “solusi dua negara” bisa terwujud.

Sejauh ini, solusi ini adalah solusi yang paling populer di kalangan masyarakat internasional. Namun, implementasi solusi ini akan sangat sulit, karena kedua belah pihak masih memiliki perbedaan pandangan yang tajam, yakni Israel menginginkan perbatasan yang aman, sedangkan Palestina menginginkan perbatasan yang didasarkan pada garis perbatasan pra-1967. Selain itu, Israel masih terus memperluas batas-batas wilayahnya yang mencaploki wilayah Palestina, sementara Palestina belum diakui secara penuh sebagai negara merdeka. Kenggotaan Palestina di PBB juga selalu diveto Amerika Serikat dan tidak diakui oleh negara-negara lainnya yang pro AS.

Sementara itu, solusi lain yakni “Solusi Satu Negara” kurang populer di masyarakat internasional, karena dianggap akan melanggar hak-hak Palestina. Meskipun solusi ini bisa menjadi solusi terakhir jika dua negara tidak dimungkinkan lagi. Namun, melihat pergeseran geopolitik global di mana pengaruh negara-negara Barat khususnya AS mulai melemah seiring munculnya kekuatan baru dari Rusia dan Tiongkok yang juga akhir-akhir ini berhasil meningkatkan pengaruhnya di Timur Tengah, kemerdekaan Palestina bisa dimungkinkan dalam koridor “Solusi Dua Negara” tersebut.

Palestina Harus Merdeka

Adalah tidak masuk akal di tengah dunia pada abad 21 masih saja ada negara menjajah yang lain. Dan itulah yang berlangsung antara Israel dengan Palestina, seolah dunia menutup mata. Namun, mengingat perubahan kekuatan dunia saat ini, Palestina punya kemungkinan lebih besar dalam meraih kemerdekaannya.

Palestina memiliki hak yang sah untuk merdeka. Ini didasarkan pada beberapa kriteria sebagai sebuah negara, seperti memiliki pemerintahan yang sah, wilayah yang jelas (Tepi Barat dan Jalur Gaza), penduduk yang tetap (sekitar 5 juta orang), dan kemampuan untuk menjalin hubungan internasional (hubungan dengan 138 negara anggota PBB). Selain itu, Palestina memiliki sejarah panjang sebagai sebuah bangsa yang telah tinggal di wilayah tersebut selama berabad-abad.

Ada beberapa faktor dapat berperan untuk mewujudkan kemerdekaan Palestina menjadi lebih mungkin, misalnya peningkatan pengaruh negara-negara Arab yang menjadi lebih mandiri, dan peningkatan kesadaran internasional akan hak-hak Palestina. Selain itu, kehilangan dukungan internasional untuk kebijakan Israel, peningkatan kematangan politik di Palestina, dan perubahan demografi di Tepi Barat juga dapat mendukung kemerdekaan Palestina. Dalam hal ini, dunia internasional harus memainkan peran aktif dalam mendorong solusi dua negara untuk konflik Israel-Palestina, mendukung upaya negosiasi, mengakui Palestina sebagai negara berdaulat, dan memberikan bantuan untuk pembangunan Palestina.

Terakhir, Indonesia harus terus berperan penting dalam mendukung kemerdekaan Palestina dengan berbagai cara yang dibenarkan dalam koridor hukum internasional dan sesuai dengan konstitusi negara. Hal ini sesuai dengan amanat Bung Karno, “Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel.” Hanya dengan kemerdekaan Palestina, konflik yang tanpa henti sepanjang lebih dari 70 tahun itu akan mereda, meski tetap butuh upaya yang keras untuk mewujudkannya.